lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Aroma Kopi dan Nestapa Masyarakat Pinogu 

Penulis: Defri Sofyan*

 

Hanya sepeda motor yang telah dimodifikasi ala kendaraan off-road yang bisa menembus Pinogu. Kondisi jalan ekstrem, apalagi saat musim penghujan. Ketika jalan menjadi becek, ban motor bisa terjebak sampai setengah meter. Saat jalan semakin menanjak, jurang curam menanti di bibir jalan. 

Tak heran ongkos ojek ke Pinogu bisa sampai satu juta rupiah pergi pulang jika jalanan becek. Selain menggunakan ojek, bisa juga berjalan kaki, menyusuri hutan selama kurang lebih 12 jam. 

Di penghujung September 2019 saya mengunjungi Pinogu dengan berjalan kaki. Namun perjalanan melewati hutan ini bisa saja terganggu dengan pohon tumbang dan tanah longsor. Gigitan pacet dan kelelahan akibat naik turun pegunungan juga harus ditanggung. Pilihan terakhir, bagi yang mampu, bisa terbang melewati jalur udara menggunakan helikopter. Tentu saja, ini biasanya dilakukan oleh pejabat atau petinggi perusahaan.

Pinogu merupakan daerah terpencil yang ada di Gorontalo. Berjarak sekitar 40 km dari pintu masuk Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di Kecamatan Suwawa Timur. Bukan jarak yang membuatnya terpencil, tapi letaknya yang berada di tengah hutan, membuat kecamatan yang baru diresmikan pada tahun 2012 ini sulit diakses. 

Untuk pembangunan jalan, sampai saat ini masih jadi perdebatan, karena harus menyentuh wilayah “sakral” hutan TNBNW. 

Hutan konservasi ini disahkan menjadi sebuah Taman Nasional setelah bergabungnya Suaka Margasatwa Dumoga (93.500 hektar), Cagar Alam Bulawan (75.200 hektar), dan Suaka Margasatwa Bone (110.000 hektar). Luas terakhir TNBNW adalah 282.008,757 hektar yang memiliki 125 jenis burung, 24 jenis mamalia, 23 jenis amphibi dan reptil, serta 289 jenis pohon.

Di tengah hamparan hutan yang luas itu, Pinogu nyaris berada di tengah-tengahnya, seperti kantung yang menempel pada pakaian, atau biasa disebut dengan kawasan enklave. Luas kantung itu 405,96 km persegi, dan berada di ketinggian 300 hingga 400 Mdpl. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian dan perkebunan, yakni seluas 349 hektar.

Lahan itu ditanami padi sawah, padi ladang, kelapa, kakao, cengkeh, cabai, aren, dan yang terluas adalah kebun kopi 280 hektar. Bahkan menurut warga di sana, hampir di setiap keluarga, pasti ada kebun kopi dengan luas minimal 1 hektar dan paling banyak 3 hektar per keluarga.

Keterpencilan Pinogu ini, sesungguhnya tidak melulu soal dampak buruk. Cifor (Center for International Forestry Research), sebuah lembaga nirlaba berbasis riset mengatakan, walaupun fungsi hutan sering diabaikan dalam penelitian-penelitian, pengambilan kebijakan dan praktik-praktik pertanian, tetapi hutan mempunyai manfaat yang kurang disadari.

Dari penelitian kolaboratif yang mereka lakukan, hutan menyediakan seperlima kebutuhan rumah tangga masyarakat pedesaan secara global atau sekitar seratus miliar orang.

Dalam hal ini, hutan yang mengelilingi Pinogu, bisa menjaga kualitas air dan tanah serta keseimbangan ekosistem. Lahan pertanian menjadi subur. 

Masyarakat Pinogu sendiri sering memuji kesuburan tanah mereka dengan ungkapan: “ampas kopi pun akan tumbuh menjadi pohon kopi”.

Kesuburan tanah Pinogu bahkan sudah dimanfaatkan sejak 1879 oleh pemerintah Hindia Belanda bersamaan dengan mulai dibangunnya perkebunan kopi robusta dan liberika di wilayah lain di Hindia Belanda.

Setelah menjadi Indonesia, pemerintah melanjutkan budidaya kopi melalui Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) tahun 1970 oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Namun terhambat karena kesulitan akses jalan, dilanjutkan lagi oleh pemerintah Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2012.

Kopi Pinogu kemudian menjadi komoditi unggulan Provinsi Gorontalo saat bersaing dengan kopi-kopi lain di Indonesia. Pada tahun 2017, Kopi Pinogu mendapatkan pengakuan sebagai kopi yang berkualitas dan mempunyai kekhasan melalui sertifikasi indikasi geografis. 

Cita rasa Kopi Pinogu diuji oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, mendapatkan nilai antara 80,75 – 81,75 atau berkategori excelent dengan rasa khas cokelat.

Buah Kopi masyarakat Pinogu kini menghadapi ancaman akibat dampak perubahan iklim. Foto: Defri Sofyan.

 

Terdampak Perubahan Iklim

Perhatian terhadap kopi Pinogu terbilang serius, terutama pada aspek promosi. Namun, yang belum pernah dibahas oleh pemerintah atau pihak-pihak yang mendampingi petani, adalah soal keberlanjutan perkebunan kopi di tengah masalah perubahan iklim.

Djudin, salah seorang petani Kopi Pinogu, pada panen kedua di tahun ini, harus menanggung kerugian. Sekitar 70 persen kopinya rusak, atau berjumlah sekitar 375 kg dari 500 kg hasil panen di dua hektare lahan kopi miliknya. 

Kulit buah kopi matang di kebunnya berlubang, biji kopi berubah hitam dan keropos. Djudin menduga penyebabnya adalah hama penggerek buah dan kemarau yang melanda hampir sepanjang tahun.

Djudin bukan petani biasa, dia juga menjabat Wakil Ketua dari Masyarakat Indikasi Geografis Kopi Robusta Pinogu Bone Bolango (MIG-KRPBB). Tak seperti petani lain, dia punya beban memperdagangkan kopinya dengan standar yang telah ditentukan. Buah kopi yang dipetik harus bebas dari cacat. Kondisi seperti ini justru, membuatnya menyiasati pemasaran kopinya. 

Sejak Kopi Pinogu mendapatkan indikasi geografis, para petani yang menggunakan jalur itu dibebankan dengan standar. Menjual dengan kopi rusak ke tengkulak, sebenarnya bertentangan dengan tujuan indikasi geografis, terutama dalam hal menjaga kualitas dan reputasi.

“Kopi yang bagus saya jual dengan jalur yang ada, yakni menggunakan label indikasi geografis, sedangkan yang sedikit rusak saya tidak buang, tetap saya jual ke tengkulak dengan harga rendah, biasanya 20 ribu rupiah dalam bentuk bubuk atau tergantung permintaan,” kata Djudin berterus terang.

Dibanding komoditi lain, kopi di Pinogu adalah yang termahal untuk dijual. Harga per kilogram terendah 20 ribu rupiah yang dijual ke tengkulak dengan kualitas buruk, tertinggi bisa sampai 90 ribu hingga 100 ribu rupiah dalam bentuk green bean dengan kualitas terbaik.

Tidak banyak memang yang memesan biji kopi kualitas premium itu, biasanya hanya warung-warung kopi yang menyediakan menu single origin. Tak banyak juga petani yang menjual biji kopi di level itu.

Yengki Galib adalah salah satu petani yang kerap mendapat pesanan biji kopi kuaitas premium. Dia akan mengantar langsung dari Pinogu ke pemesan di wilayah sekitar Kota Gorontalo, dengan syarat pesanan harus di atas 10 kg.

“Bahkan dulu pernah ada pembeli dari Bali yang akan mengajukan kontrak berdasarkan contoh biji kopi yang saya kirim. Harga 100 ribu per kilogram disetujui, yang penting konsisten setiap bulan dengan kualitas biji seperti itu,” ujar Yengki.

“Hanya saja saya tidak menerima, karena takut dengan jumlah yang akan dipesannya sampai berton-ton. Saya tidak mampu.” 

Yengki mengungkapkan itu sambil tertawa. Dia memiliki lahan sekitar tiga hektar dengan jumlah pohon 3000. Setiap 1 hektar bisa menghasilkan sampai satu ton biji kopi. Cukup besar untuk dikelola sendiri olehnya.

Walaupun ada serangan hama dan kemarau, dia tidak terlalu memusingkannya. Dengan jumlah panen yang besar, dia bisa memasok cadangan satu ton untuk sekali panen yang bisa dijualnya ketika tak memetik kopi atau kopi sedang rusak, seperti saat panen kedua di tahun ini.

“Kalau kemarau itu biasa kopi rusak, mengerut. Bisa sampai separuh dari hasil panen,” tutur Yengki.

Berbeda dengan Ansar Anwar, lahan kopi warisan keluarga miliknya tak terlalu luas, tidak cukup satu hektar. Setiap panen paling banyak yang dia dapatkan 100 kg. Kopi yang dia jual, tidak memakai label MIG, tetapi langsung ke tengkulak. Setiap kilogram dia hanya mendapatkan kurang lebih 20 ribu rupiah.

Beda juga dengan Djudin, Ansar adalah petani biasa yang tak terlalu tahu soal standarisasi atau masalah indikasi geografis. Hal yang dia tahu adalah memelihara pohon kopi dengan memotong cabang air, meremajakan pohon, membersihkan gulma dan memetik buah yang berwarna merah.

Namun dia mengakui, sesekali ketika panen, dia tetap akan memetik buah berwarna hijau agar jumlah kopi yang dijualnya tetap banyak.

Tanpa beban yang sama dengan Djudin, Ansar tetap merasa rugi saat panen di tahun ini. Lebih dari setengah hasil panennya rusak dengan kondisi yang sama dengan yang dialami Djudin. 

“Tak hanya kopi Pak, padi di sawah saya juga banyak mati akibat kemarau kemarin,” ungkap Ansar.

Dia memang tidak hanya mengurus kopi, bahkan lebih memilih mengurus serius sawah miliknya. Karena menurutnya, padi adalah kebutuhan pokok, sedangkan kopi bukan. Untuk menambah penghasilan, sesekali dia menjadi pengojek dan penambang emas, yang oleh pemerintah mendapat stigma sebagai Penambang Emas Tanpa Izin (PETI). Menurutnya hampir semua warga di Pinogu tidak menggantungkan hidupnya pada kopi saja. 

“Orang Pinogu ini, masa tidak mau ojek?” katanya mengisyaratkan kegemaran orang-orang Pinogu bekerja menjadi pengojek, karena keuntungannya yang cukup tinggi dan cepat.

Seorang petani kopi Pinogu memperlihatkan hasil panennya. Foto: Defri Sofyan.

Dibanding daerah lain, pertanian di Pinogu memang sangat bergantung pada alam. Hal ini karena petani di Pinogu tak mengenal pengolahan lahan dengan teknologi tinggi dan penggunaan bahan-bahan kimiawi. 

Tidak ada pupuk kimiawi, pestisida dan herbisida. Pupuk yang digunakan hanya yang berbahan organik, lalu gulma hanya dibasmi dengan parang atau alat pemotong rumput. Praktik tradisional dalam mengolah lahan pertanian ini, telah berlangsung turun temurun. 

Nurdin Maini, petani sekaligus Ketua MIG Kopi Pinogu, menuturkan bahwa masyarakat Pinogu terbiasa mengelola pertanian dengan cara tradisional. Menurutnya, hutan yang rimbun di sekeliling Pinogu, membuat ekosistem bisa seimbang. Tidak akan ada dominasi satu spesies tertentu, dalam hal ini hama tidak akan menyerang secara masif. 

Ada satu praktik yang mereka amalkan dalam membuka lahan pertanian, yaitu lahan yang akan dibuka, tidak bisa bersih sama sekali.

“Seperti jika ada sarang serangga, contohnya anai-anai, itu kata orang tua tidak bisa dibakar, biarkan saja. Terbukti juga, panen akan berlimpah,” kata Nurdin.

Namun apa yang sudah terjadi di lahan pertanian dan perkebunan di Pinogu sekarang, membuatnya mempertanyakan kembali kepercayaan itu. Dia juga menuturkan selama pengalamannya bertani, musim yang tidak seimbang, akan berdampak pada tanaman kopi. 

Dampak perubahan iklim itu ikut dirasakan dan berpengaruh pada perkebunan kopi milik masyarakat Pinogu. 

“Selain hama, setiap kalau ada kemarau, biji kopi akan mengerut, dan saat hujan panjang, buah kopi akan gugur,” ungkapnya.

Di tempat terpisah, saya menemui Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bone Bolango, Roswaty Agus, di kantornya. Roswaty justru meragukan jika ada serangan hama yang masif di Pinogu, dan adanya dampak kemarau yang bisa merusak buah kopi. 

Dia menduga, jika benar apa yang terjadi di perkebunan kopi di Pinogu, penyebabnya adalah tuanya umur tanaman kopi dan kurangnya perawatan oleh petani.

“Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, katanya tanaman kopi di Pinogu sudah berumur 40 sampai 50 tahun. Berdasarkan hal tersebut, dinas kami sudah mengimbau kepada petani untuk meremajakan tanaman kopi,” kata Roswaty.

Pihaknya sendiri mengaku telah memberikan bantuan pupuk organik ke petani Pinogu. Namun apa yang dialami oleh para petani kopi di Pinogu terkait dugaan serangan hama ini, belum ada tindakan apapun yang dilakukan.

Padahal apa yang diduga oleh petani di Pinogu, dibenarkan oleh banyak penelitian. Salah satu penelitian yang membahas itu adalah jurnal yang ditulis oleh Joel Iscaro pada tahun 2014.

Dalam penelitian yang berjudul The Impact of Climate Change on Coffee Production in Colombia and Ethiopia” ini, Iscaro menemukan serangga penggerek kopi Hypothenemous hampei yang merupakan spesies predator utama kopi, akan bereproduksi berlipat ganda saat suhu udara naik.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Institut Pertanian Bogor, menyatakan musim kemarau dan penghujan yang berkepanjangan akan berpengaruh terhadap produktivitas kopi.

Kemarau panjang atau El-Nino, akan mengakibatkan produktivitas kopi turun 34 – 79 persen. Sedangkan saat musim penghujan panjang atau La-Nina, produktivitas kopi akan turun sampai sebesar 98,5 persen.

Lambatnya para pihak terkait menyadari hal ini, akan menurunkan kemungkinan keberlanjutan perkebunan kopi di Pinogu. Para petani bisa saja akan beralih ke komoditi lain atau justru profesi lain.

Proses penjemuran kopi Pinogu. Jika di musim kemarau dan penghujan, hasil panen banyak yang rusak. Foto: Defri Sofyan.

Kehadiran Pertambangan Emas

Seperti yang dituturkan Anas, masyarakat Pinogu tidak bertumpu pada satu profesi sebagai petani kopi saja. Djudin bahkan sebelum fokus mengurusi perkebunan kopi, dia adalah seorang pencari rotan. Hanya karena usia tak lagi muda, dan menilai kopi bisa lebih menguntungkan, dia beralih profesi. Padahal menurutnya perkebunan kopi saat itu juga sudah ada di Pinogu.

Anas sendiri merupakan pekerja musiman di tambang emas. Dia akan turun saat ada titik bor baru yang digali. Saat tambang baru terbuka, emas masih berlimpah, membuat banyak orang berbondong-bondong datang ke tambang.

Profesi yang kedua ini memang kontradiktif dengan upaya penekanan kerusakan hutan yang menjadi penjaga keberlanjutan pertanian kopi di Pinogu. Melejitnya nama Kopi Pinogu ke kancah nasional hingga internasional, tidak berbanding lurus dengan upaya keberlanjutan pertanian kopi.

Menurut data dari Dinas Penanaman Modal, Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Transmigrasi Provinsi Gorontalo, tambang emas rakyat di Kabupaten Bone Bolango di Kecamatan Suwawa Timur pada 2018 mempunyai dua lokasi di Desa Tulabolo dengan estimasi luasan 100 hektar dan Desa Mohulango dengan estimasi luasan 15 hektar.

Masing-masing lokasi mempunyai 500 orang pekerja tambang. Tambang emas ini berstatus ilegal atau dikenal dengan istilah PETI tadi. Tidak ada prosedur ramah lingkungan dan minimnya pengawasan, membuat aktivitas penambang berstatus tanpa izin di kawasan penyangga TNBNW dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone mencemari lingkungan.

Bahkan sejak tahun 2010, sungai Bone ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango telah tercemar merkuri. Tercemarnya sungai itu akan berdampak pada ikan, menambah volume endapan, dan kesehatan manusia sekitar. 

Selain berdampak ke sungai, menurut peneliti tambang dari Universitas Negeri Gorontalo, Yayu Indriati Arifin, dampak tambang juga akan mengurangi tutupan hutan, merusak tanah, dan penyakit bagi manusia. 

“Pencemaran limbah tambang itu bisa dari udara, kontak dengan kulit dan mengkonsumsi makanan yang tercemar. Saya menemukan, banyak penambang yang terkontaminasi merkuri di hampir semua lokasi pertambangan di Gorontalo,” kata Yayu.

Tak hanya tambang rakyat yang ilegal, pada tahun 2022 nanti, sebuah pertambangan legal, yakni anak perusahaan PT Bumi Resourcers Minerals Tbk (BRMS), PT Gorontalo Minerals, akan mulai beroperasi dengan target produksi satu juta ton per tahun biji emas dan tembaga. Izin produksi tambang ini berlangsung sampai 2052 atau selama 30 tahun.

Perusahaan tambang besar ini, beroperasi tak begitu jauh dari Pinogu. Masih berada di sekitar kawasan TNBNW. Bahkan dulunya, sebagian area operasi PT Gorontalo Minerals masih masuk hutan konservasi TNBNW, namun pada tahun 2010, ketika Gorontalo dijabat oleh Gubernur Fadel Muhammad, hutan seluas 22.605 hektar dialihfungsikan menjadi hutan produksi.

Akibat pembukaan lahan yang besar oleh perusahaan tersebut, pada September 2011 terjadi banjir besar di Kabupaten Bone Bolango. Banjir ini membuat sejumlah infrastruktur rusak, jalan, jembatan, sekolah, dan rumah-rumah warga hancur. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bone Bolango mengalkulasikan kerugian mencapai lebih dari 36 milyar rupiah.

Menghadapi tekanan tambang ini, Yayu sebagai akademisi, berharap masyarakat Pinogu bisa bertahan. Terutama jika ada alternatif mata pencaharian yang lebih baik, seperti mengolah perkebunan kopi yang adaptif terhadap perubahan iklim.

“Memang background kemiskinan menjadi alasan dari permasalahan tambang ilegal sulit untuk diselesaikan. Tapi di sisi lainnya, jika ini terus berlanjut maka lingkungan terdegradasi,” kata Yayu.

Di tengah dampak perubahan iklim dan ancaman tambang emas, usaha dari pihak-pihak terkait, terutama Dinas Pertanian, baru sebatas memberikan persediaan pupuk organik, dan pembudidayaan kopi tanpa asas keberlanjutan.

“Ada 10.000 bibit yang kami berikan ke petani, namun sayang karena kemarau petani pun tidak sempat menanam tanaman pelindung, akibatnya bibit kopi yang ditanam banyak yang mati dan sisanya malah dimakan sapi,” kata Rosmiyati Rahman, penyuluh pertanian di Pinogu.

Jika dampak perubahan iklim ini tidak diseriusi, maka masyarakat Pinogu justru semakin diperhadapkan pada pilihan yang sulit. Petani semakin beresiko. Nasib mereka semakin suram. Yang tersisa hanyalah aroma kopi dan nestapa orang-orang Pinogu.(*)

*** 

*Liputan ini didukung oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). Sebagian artikelnya terbit di The Jakarta Post berjudul “Pinogu Its soil and its famous coffee” terbit 29 Oktober 2019.

Related posts

Pemulihan Ekosistem Kolaboratif: Jalan Tengah Konflik Pemanfaatan Ruang di Hutan TNBNW (Bagian 1)

Admin

Dengan Bambu Runcing, Mereka Menolak Tambang di Sungai Saddang

Admin

Bendi, Bertahan di Tengah Gempuran Ojek Online

Admin

Leave a Comment