Penulis: Apriyanto Rajak
Di zaman kolonial belanda, bendi adalah transportasi para saudagar kaya pun para petinggi. Bendi seperti melawan zaman. Mulai dari angkot, becak, bentor, dan kini ojek online. Bagaimana nasib bendi di Kota Gorontalo?
***
Shalat magrib baru saja berakhir. Orang-orang keluar masuk di Gorontalo Mall. Syaiful Gani memperhatikannya. Matanya penuh harap. Jika satu dua orang saja mendekat, ia akan menawarkan jasa. Tangan kanan masih memegang dua utas tali yang terikat rapi di kepala kuda. Sesekali kuda itu mempermainkan ekornya ke kiri dan ke kanan.
Malam mulai merangkak. Kota memperdengarkan suaranya yang bising. Bunyi klakson di sana-sini. Syaiful masih setia menunggu penumpang pertamanya yang tak kunjung datang. Kadang-kadang, pria 55 tahun itu duduk terdiam di antara deretan bentor yang terparkir ramai. Mereka seolah bersaing memikat calon penumpangnya. Tak hanya bentor, saingannya juga adalah ojek online.
Syaiful Gani, warga Desa Hulawa, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, memulai karirnya sebagai kusir bendi sejak tahun 1997. Meski di tengah gempuran ojek online, ia masih setia: bertahan dengan bendi dan kudanya.
Warna bendinya dipadu antara merah, putih, dan biru. Ia sengaja mendesign bendinya semenarik mungkin untuk menarik penumpang datang mendekat. Bendi bagi sebagian orang, kini disebut sebagai warisan budaya. Sebentar lagi diprediksikan punah. Dengan cat yang berwarna itu, ia seolah ingin mempertegas anggapan orang bahwa bendinya bukanlah artefak yang berjalan.
“Dulu, pengemudi bendi di Gorontalo banyak. Sekarang kalau dihitung yang ada di Kota Gorontalo mencari penumpang ini hanya delapan saja, termasuk saya,” ujar Syaiful Gani.
Berkurangnya minat masyarakat terhadap moda transportasi tradisional ini membuatnya harus mengatur waktu tertentu untuk menarik minat penumpang. Biasanya, Syaiful memulai aktifitas bendinya selepas magrib hingga pukul 22.00 malam. Pagi, siang, dan sore ia gunakan untuk merawat kuda: memandikan dan menyiapkan makanan. Kudanya diberi makanan seperti rumput, jagung, dan juga konga (sejenis dedak yang merupakan serbuk halus dari kulit padi). Jika persiapan itu sudah lengkap, ia akan mengais rezeki dengan mangkal di depan Gorontalo Mall.
Di depan pusat perbelanjaan itu, ia ditemani tiga kawannya yang berprofesi serupa. Empat bendi mereka berjejer rapi. Sementara empat bendi lainnya memilih berjalur mencari penumpang di depan toko Karsa Utama. Mereka seperti membuat kesepakatan yang tidak tertulis untuk mencari rezeki dengan membagi wilayah mangkal.
“Jadi kusir bendi ini merupakan kesenangan tersendiri bagi saya,” kata Syaiful.
***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 malam. Syaiful tak kunjung mendapatkan penumpang. Sementara pengunjung Gorontalo Mall datang silih berganti. Agar tak bosan menunggu, sesekali bapak beranak dua dan sudah mempunyai cucu ini, berbincang-bincang dengan tiga temannya. Sesekali mereka tertawa. Seperti menertawakan nasib masing-masing.
Salah seorang teman, mengelus kepala kuda miliknya. Lainnya, tenggelam dengan obrolan sembari mata tetap fokus bila ada yang menyahut membutuhkan tumpangan.
“Pendapatan kami sebagai kusir bendi tidak menentu. Adakalanya, hasil semalam itu bisa sampai Rp 50.000. Kadang juga Rp 20.000. Bahkan pernah, tidak ada hasil sama sekali,” ucapnya sambil tertawa.
Di sela-sela perbincangan, seorang kawan Syaiful sudah mendapatkan penumpang. Dengan sigap temannya itu mengemudikan bendi. Suara kaki kuda terdengar menghentak. Perlahan dengan cepat bendi itu menghilang di antara puluhan kendaraan yang melintas.
Dingin mulai terasa. Sementara Syaiful dan dua kawannya masih tetap setia menunggu penumpang. Saya lalu memutuskan naik bendi milik Syaiful dan mengajak berkeliling. Dengan segera ia menarik kuda dan bendi mulai berjalan. Kami keliling dari depan Gorontalo Mall melewati ruas jalan depan Hotel Grand Q, menuju lapangan Taruna, melewati pertokoan, dan tembus kembali ke Masjid Besar Baiturrahim, hingga berakhir di titik awal depan Gorontalo Mall.
“Bapak ada pekerjaan lain selain sebagai kusir bendi?” tanya saya.
“Pekerjaan ini adalah satu-satunya yang saya jalani,” jawab Syaiful.
Bagi Syaiful, menjadi kusir bendi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meski di tengah gempuran ojek online, ia tetap teguh bertahan dengan pekerjaan yang ia jalani selama 22 tahun itu. Tak hanya kebutuhan keluarga, dengan penghasilan minim itu, Syaiful juga mampu merawat kudanya agar tetap sehat untuk membantunya mengais rezeki. Bahkan untuk membeli kebutuhan segala pernak-pernik yang melekat di bendi miliknya.
“Kalau cari rumput untuk makanan kuda gampang sebenarnya. Tinggal diperoleh di depan rumahnya. Kalau konga dan jagung saya biasanya beli di pasar.”
Malam semakin larut. Setelah saya naik bendinya, Syaiful akhirnya mendapatkan penumpang berikutnya. Mereka adalah seorang lelaki dan seorang perempuan. Mimik wajahnya terlihat bahagia dan penuh semangat. Setelah sedikit bercakap-cakap, ia kemudian mempersilahkan naik dua penumpangnya itu. Tujuan mereka adalah pusat perbelanjaan di toko Karsa Utama. Hanya butuh waktu 15 menit, Syaiful tiba lagi di depan Gorontalo Mall.
“Sewanya tergantung jarak. Biasanya, kalau dari Mall ke Karsa Utama itu, satu orang bisa sampai Rp 5.000,” ujarnya.
Memang tidak ada tarif khusus yang mengatur bagi setiap kurir bendi di Gorontalo. Namun, bukan berarti Syaiful dan beberapa kawannya itu, dengan sesuka hati menetapkan harga.
“Berapapun yang dikasih penumpang itu saya ambil. Alhamdulillah, ada yang membayar lebih meski jaraknya dekat.”
Bel bendi yang berfungsi sebagai klakson tiba-tiba berbunyi. Ternyata dua teman Syaiful kembali mendapat penumpang. Sementara Syaiful kembali memarkir bendi miliknya sesuai aturan jalur. Ia sesekali memeriksa kondisi fisik kudanya.
“Pernah ada bule naik bendi saya. Waktu itu, mereka minta untuk jalan-jalan keliling kota,” cerita Syaiful sembari mengelus punggung kuda. “Padahal, saya tidak mengerti bahasa mereka.”
Di Kota Gorontalo, pada tahun 2017, pemerintah Kota Gorontalo mengatakan akan menjadikan bendi sebagai alat transportasi pariwisata. Wali Kota Gorontalo Marten Taha, seperti dilansir Republika.co.id, menjelaskan bahwa jumlah bendi akan dibatasi dan hanya melayani penumpang di seputaran Lapangan Taruna Remaja.
“Hanya untuk kebutuhan orang-orang yang ingin jalan-jalan mengelilingi kota dengan naik kuda bendi, bukan sebagai alat transportasi umum,” kata Marten Taha.
“Setahu saya, belum ada perhatian dari pemerintah kepada kusir bendi seperti kami,” ungkap Syaiful.
Malam itu, Syaiful mengenakan baju kerah berwarna coklat dan putih. Ia sesekali berinteraksi dengan pengemudi bentor yang juga berjalur depan Gorontalo Mall. Menurutnya, meski bendi adalah alat transportasi tradisional, namun status kendaraannya sama dengan transportasi publik pada umumnya. Di mana bendi kepunyaan mereka, harus juga dilengkapi dengan surar-surat kendaraan.
“Saya juga membayar pajak setiap satu tahun seharga Rp 20.000,” kata Saiful.
Tak terasa jarum jam menunjuk pukul 22.00. Sudah waktunya Syaiful pulang menemui keluarga. Hampir lima jam lamanya ia mangkal di depan Gorontalo Mall. Meski hanya memperoleh pendapatan yang tidak lebih dari Rp 50.000. Pelan-pelan Syaiful dan bendinya meninggalkan pusat perbelanjaan modern itu menuju rumah. Bunyi bel bendi dan sentakan kaki kuda beradu dengan bisingnya kota. Syaiful dan bendinya ditelan malam, seperti melawan gempuran zaman.***