lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Dengan Bambu Runcing, Mereka Menolak Tambang di Sungai Saddang

Oleh: Ady Anugrah Pratama

Advokat Publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar

Ratusan warga dari dusun Salipolo menuju pinggir sungai di dusun mereka, mempersenjatai diri dengan bambu runcing dan spanduk berisi penolakan tambang pasir. Mereka berdiri di atas tanggul dan meminta Camat Kecamatan Cempa, Kapolsek dan Kepala Desa agar mengusir eskavator milik perusahaan tambang pasir PT Alam Sumber Rezeki.

***

Matahari sedang panas-panasnya. Halili mengajak saya dan beberapa rekan melihat tanah bekas rumah-rumah warga di Dusun Cilallang, Desa Bababinanga, Kecamatan Duampanua, Pinrang. Hari itu, ia ingin memperlihatkan kepada kami lokasi bekas rumah warga yang telah pindah karena peristiwa banjir besar tahun 2010 silam.

Di siang yang terik, Halili mengenakan baju berkerah berwarna merah marun, celana pendek berwarna abu-abu dan peci beludru di atas kepala bermotif menyerupai sarang laba-laba. Di kantong bajunya, ia menyimpan rokok dan korek. Sementara tangan kanannya memegang tongkat kayu berwarna hitam yang panjangnya melewati setengah tinggi badannya.

“Kayu ini bisa mengalahkan parang,” tuturnya sambil tersenyum.

Tongkat kayu yang ia bawa berfungsi ganda; membantu berjalan dan menjadi senjata jika ada yang menyerang. Setelah peristiwa perkelahian antara warga dan perusahaan, Halili selalu bersikap waspada. 

Hanya butuh sekitar 10 menit berjalan kaki dari Salipolo ke Cilallang. Tanggul yang berupa gundukan tanah adalah jalan utama yang di atas permukaannya terdapat kerikil lepas. Di samping kiri jalan, terhampar kebun-kebun jagung masyarakat yang tumbuh sejengkal dan di kanan jalan sungai Saddang yang letaknya hanya beberapa langkah dari badan jalan.

“Ini dulu lokasi rumah saya,” tangannya menunjuk ke arah sungai. Sebagian lokasi rumahnya kini menjadi tanggul yang menjadi benteng terakhir di Cilallang dari banjir. 

Ia membuka tiga lembar kalender bekas yang tergulung dan diletakkan di jalan. Di bagian belakang kalender berwarna dasar abu, gambar peta kampung Cilallang dan Salipolo sebelum dan sesudah banjir. Peta tersebut digambar dengan menggunakan pulpen bertinta hitam. Halili mencoba menjelaskan Salipolo dan Cilallang berdasarkan peta yang dibuatnya bersama warga Salipolo. Banyak yang sudah berubah.

Selain melihat lokasi bekas rumahnya, Halili mengajak kami melihat bekas rumah yang kini ditinggalkan. Masih kelihatan bekas sumur-sumur warga yang sudah tak digunakan lagi, kamar mandi yang dikelilingi rumput liar, lokasi bekas gedung sekolah yang sudah ditinggalkan yang kini jadi kebun jagung yang berbatasan langsung dengan sungai. 

Tak jauh dari tanggul dan lokasi bekas rumah Halili, berdiri gedung Sekolah Menengah pertama yang sementara diperbaiki. Halili khawatir jika air besar datang lagi, gedung sekolah itu akan terbawa air.

Saat berada di pinggir jalan, empat orang warga datang menghampiri kami. Mereka mengalami hal yang sama dengan Halili, memilih pindah dari Cilallang karena banjir besar yang pernah melanda dusun tersebut. Kepada kami, Mereka juga menunjuk lokasi di mana rumah dan kebun mereka yang sekarang telah menjadi bagian dari sungai.

***

Muhammad Sakir, 53 tahun, sehari-hari bekerja di tambak miliknya yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti biasa setelah sarapan pagi, ia beranjak ke tambak. Sebelum jam makan siang, Sakir kembali ke rumah untuk makan dan beristirahat. Menjelang sore, ia kembali lagi ke tambak dan pulang sebelum matahari tenggelam.

Mengurus tambak adalah pekerjaan sehari-hari Sakir. Profesi ini sudah turun temurun di keluarganya. Ia juga memiliki kebun, namun Sakir lebih banyak menghabiskan waktu di tambak karena hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan mengelola kebun.

Sakir sudah 9 tahun tinggal di Dusun Salipolo. Walaupun lahir di Salipolo, awalnya ia tak tinggal di dusun ini. karena banjir, ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah. Sebelum masuk sekolah dasar ia tinggal di Libukang. Dia dan keluarganya dipindahkan ke oleh pemerintah desa ke Dusun Cilallang karena di Libukang sering terjadi banjir. 

Sakir tinggal di Cilallang dari tahun 1976 sampai 2010. Peristiwa banjir besar tahun 2010 membuatnya memutuskan untuk pindah ke Salipolo. Saat banjir besar itu, terdapat 215 rumah harus dipindahkan. Kebanyakan warga memutuskan pindah ke Salipolo, termasuk keluarganya. Dua ratusan rumah yang memilih pindah itu terdiri dari dusun Cilallang, Bulu-Bulu, dan tanah Ciccak.

Sebagaian besar lokasi rumah di Cilallang kini menjadi bagian dari sungai. Tersisa hanya sekitar 5 meter yang ditumbuhi pohon pisang. Pengalaman bencana banjir yang sering dialami bersama keluarganya membuat ia menolak keberadaan tambang pasir di Salipolo. 

“Tidak ditambang saja sering terjadi banjir, apalagi kalau ditambang,” tegas Sakir. Baginya menolak tambang pasir adalah cara untuk menghindari bencana banjir yang bisa kembali masuk ke kampungnya. 

Sungai Saddang dan dusun Salipolo kini hanya dibatasi dengan tanggul besar yang dibangun setelah peristiwa banjir tahun 2010. Tanggul tersebut adalah pertahanan terakhir warga jika volume air bertambah saat memasuki musim hujan.

Setelah tanggul dibuat, di dusun ini banjir sudah sangat berkurang. Selain itu, pengikisan air berkurang karena ada endapan-endapan pasir yang terbentuk secara alami. Endapan yang membuat pertahanan kampung menjadi sangat kuat. Endapan tempat tumbuhnya pohon kersen.

“Endapan yang di pinggir itulah yang kita jaga, jangan sampai diambil, karena itulah tempat tumbuhnya pohon. Dengan adanya pertambangan itu, kampung akan hilang.”

Sakir ingat betul di tahun 1995 tanggul pernah bobol. Semua tambak gagal panen, termasuk tanggul dusun Salipolo, Cilallang dan Babana.

“Tahun 1998 mulai terjadi pengikisan tapi belum terlalu parah. Puluhan tambak berubah menjadi sungai. 2005 banjir lagi di situ, menyebabkan tanggul di ujung kampung Cilallang Bobol. Bobolnya tanggul disebabkan karena terjadinya pengikisan,” tambahnya.

Sebelum tanggul dibuat, di Salipolo menjadi dusun langganan banjir. Ketika tambang pasir beroperasi, akan terjadi pengikisan sehingga tanggul bisa jebol kembali. Jika itu terjadi, kampung mereka akan terendam dan tambak-tambak warga bisa gagal panen. 

Lokasi tambang di Salipolo. Foto: Aliansi Perjuangan Rakyat Salipolo.

Penolakan Demi Penolakan  

PT Alam Sumber Rezeki (ASR) adalah perusahaan tambang pasir yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Duampanua di Desa Paria dan Bababinanga. Perusahaan ini beralamat di Kompleks Griya Golden Hills Manggala Blok K Nomor 06 Makassar.  Berdasarkan dokumen Izin Usaha Pertambangan, perusahaan ini memiliki wilayah usaha pertambangan 182, 46 hektar.

Perusahaan ini yang datang ke Salipolo dan ditolak oleh warga Salipolo. Sebelum berpindah ke Desa Salipolo, PT Alam Sumber Rezeki ditolak oleh masyarakat di Desa Bababinanga. 

Masyarakat di Dusun Babana Desa Bababinga kaget ketika melihat kapal penyedot pasir berada di sungai. Setelah melihat kapal penyedot pasir, warga ramai-ramai mendatangi rumah kepala desa untuk menyampaiakan penolakan terhadap tambang pasir. Sekitar 300 orang datang dan menyampaikan penolakannya. Hari itu alat penghisap pasir ditarik keluar. Masyarakat mengancam akan membakar kapal penghisap pasir tersebut jika tak ditarik kembali. 

“Tidak pernah ada sosialisasi, warga tahu ada aktifitas tambang setelah ada alat yang datang,” ungkap Nawir, 61 tahun. Ia adalah salah satu perwakilan warga yang menolak tambang pasir. Di Desa Bababinanga, ia adalah ketua Badan Perwakilan Desa. 

Setelah kapal penyedot itu ditarik keluar, tanggal 24 Oktober warga datang demonstrasi ke kantor Bupati. Warga yang datang antara lain; warga dusun Cilallang, Babana dan dusun Tanroe. Kedatangan mereka untuk menyampaikan penolakan terhadap masuknya tambang pasir di desa Mereka. Saat aksi di kantor bupati, warga bertemu langsung dengan Bupati Pinrang saat itu; Aslam Patonangi.

“Dari pertemuan itu, Pak Bupati mengirim surat ke Balai Besar Pompengan untuk peninjauan ulang izin tambang. Setalah itu tidak ada lagi aktifitas pertambangan,” tutur Nawir.

Tak jauh berbeda dengan Salipolo, dusun Babana tempat tinggal Nawir juga merupakan kampung yang menjadi langganan banjir.

“Dulu kalau banjir, di kampung kita pake perahu,” ujarnya lagi, “setiap musim hujan, air sungai masuk ke kampung dan itu bisa berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

Tahun 2013 dibangun tanggul sepanjang satu kilometer dan batu gajah yang disusun di pinggir sungai sepanjang 300 meter. Tanggul inilah yang menghalangi air masuk ke Babana. Setelah tanggul dibangun, banjir tak pernah masuk ke Babana. 

“Kami juga mengusulkan ke pemerintah agar ada penambahan batu gajah, hanya dikasi sekitar 250 meter dan sekarang kami tunggu realisasinya,” ungkap Nawir.

Di Babana, selain sering terjadi banjir, masyarakat juga mengalami kerugian ekonomi setiap banjir datang. Sebagian besar masyarakat di Babana bekerja sebagai petambak, pencari balacang (udang sungai) dan petani jagung. Di Babana, 147 hektar tambak berubah menjadi sungai setelah banjir. Tambak tersebut menjadi bagian sungai setelah mengalami pengikisan saat volume air sungai bertambah. Tambak yang kini ini jadi sungai itu masih terbit SPPT yang tiap tahunnya dibayar oleh warga.

Setelah ditolak oleh warga di desa Bababinanga, PT ASR berpindah ke ke Desa Salipolo. Namun hal yang sama terjadi, warga di Desa Salipolo menolak tambang pasir yang datang ke desa mereka.

Eskavator pertama kali datang di Salipolo pada tanggal 27 Agustus 2019. Kedatangan alat tersebut dikawal oleh salah seorang anggota Kepolisian (Kantibmas) yang diketahui bernama Tajuddin. Saat datang sore hari, Tajuddin mengatakan kepada warga, jangan ada yang menghalangi tambang pasir, jika ada yang melakukan penghalangan, maka akan diproses hukum.

Malamnya, Tajuddin kembali datang ke Salipolo, ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa tidak akan ada aktifitas tambang pasir di Salipolo. Mendengar pernyataan Tajuddin, keesokan harinya, masyarakat tak curiga dengan adanya eskavator. 

“Awalnya kami tak curiga karena eskavator membuat jalan tani,” ungkap Abdul Hakim.

Namun setelah membuat jalan tani, eskavator berada di pinggir sungai dan mengeruk pasir. Melihat aktifitas pengerukan pasir, warga berkumpul dan membicarakan aktifitas eskavator milik perusahaan. Setelah berbincang-bincang, warga mendatangi eskavator dan meminta alat tersebut berhenti dan dikeluarkan dari pinggir sungai.  

Aksi penolakan pertama kali dilakukan oleh warga Salipolo tanggal 28 Agustus 2019. Hari itu juga warga beramai-ramai mendatangi kantor camat untuk menyampaikan penolakan tersebut kepada camat Cempa. Saat itu, eskavator berhenti beraktifitas.

Aksi penolakan warga Salipolo. Foto: Aliansi Perjuangan Rakyat Salipolo.

 

Abdul Hakim sudah tiga kali ikut melakukan pengusiran bersama warga di Desa Salipolo. Ia bersama dengan warga lain melakukan aksi pengusiran itu karena khawatir kampung mereka rusak karena banjir yang bisa muncul kalau pasir sungai di tambang. Warga meminta para penambang pasir agar membawa pulang eskavator. Bahkan banyak warga yang ingin membakar eskavator karena jengkel dengan tindakan penambang yang terus datang ke Salipolo.

“Ketika masyarakat tahu kalau ada eskavator beroperasi, mereka akan datang sendiri dan berkumpul sebelum melakukan pengusiran. Kami sudah komitmen, kalau ada eskavator beroperasi, kita usir bersama-sama. Jadi wajar kalau banyak yang berkumpul.”

Dua kali pengisiran yang dilakukan oleh warga, mereka hanya berdiri di atas tanggul dan meminta agar pihak perusahaan berhenti melakukan penambangan dan menarik eskavator dari pinggir sungai. Pengusiran terakhir tanggal 5 November 2019. Saat melihat eskavator kembali berada di sungai, warga datang dan berkumpul di pos ronda pada jam delapan pagi. Setelah shalat dzuhur warga beramai-ramai mendatangi pihak penambang yang berada dipinggir sungai.

Pengusiran yang ketiga kalinya itu diikuti oleh warga dari Jawi-Jawi, Salipolo, Tanah Cicak dan Wakka. Sementara di sebrang sungai, warga dusun Babana menuggu untuk bergerak. Kebanyakan warga membawa bambu runcing saat mendatangi pihak perusahaan. 

“Pas di dekat eskavator, beberapa warga naik semua mi di eskavator. Di situ ada Tommi juga Kapolsek Cempa. Warga sudah sempat siram bensin itu eskavator. Karena masih ada Kapolsek di lokasi, dan meminta warga agar tidak membakar eskavator tersebut,” cerita Abdul Hakim, “kami warga mendengar perkataan Kapolsek, eskavator tidak jadi dibakar karena kami menghargai Kapolsek.”

Setelah tak jadi membakar eskavator, warga berjalan ke arah gubuk tempat penambang. Kedatangan warga beramai-ramai untuk berbicara dengan penambang agar menarik kembali eskavator. Sebelum sampai ke rumah rumah itu, tiba-tiba ada lima orang dari pihak penambang menghadang warga. Kelimanya terlihat sudah mengeluarkan parang dari sarungnya. 

Hingga akhirnya hari itu terjadi perkelahian antara karyawan perusahaan tambang dan warga yang datang beramai-ramai untuk mengusir para penambang. Setelah dua kali diusir oleh warga, perusahaan tambang pasir tetap memaksa melakukan aktifitas pengerukan pasir di Salipolo. Peristiwa itu mengakibatkan tiga orang mengalami luka. Dua orang dari perusahaan dan satu orang dari pihak warga. Korban-korban akan masih tetap bermunculan ketika perusahaan tambang memaksa untuk melakukan aktifitas pertambangan.

***

Melihat lima orang melepaskan parang dan mengayungkannya, Hasbullah berlari ke tengah dan mencoba menghalau kedua kelompok yang akan bertemu.

“Saya lihat lima orang, kasi keluar parangnya terus diayunkan. Saya bilang pada lima orang itu untuk pulang, dia tak mau pulang dan terus mengayunkan parangnya,” ungkap Hasbullah

Hari itu, Habsullah sedang menanam jagung di salah satu kebun milik warga. Letaknya tak terlalu jauh dari lokasi penambangan pasir. Ia kaget tiba-tiba banyak orang datang ke lokasi tambang.

Usahanya menghadang dua kelompok tersebut, justru menjadikan dirinya korban. Pergelangan tangan kanan dan paha kiri terkena sabetan parang, ia tersungkur.

Setelah itu, ratusan warga marah dan mulai menyerang balik kelima orang dari pihak perusahaan tersebut. Dari kelima orang itu, tiga orang lari dan dua orang tertinggal. Dua orang itulah yang menjadi sasaran kemarahan warga.

Setelah mengalami luka, Hasbullah tetap mencoba melerai warga. Di dekatnya juga ada Kapolsek Cempa. Sambil terus menenangkan warga, ia memegang pergelangan tangan kanannya yang terus mengeluarkan darah. Hasbullah kenal dengan orang yang melukainya.

“Dia itu teman SD saya dulu, sampai sekarang saya juga masih bersama dia.”

Ia mengaku tak dendam dengan peristiwa yang dialaminya. Namun ia berharap pelaku kekerasan padanya meminta maaf atas tindakan yang dilakukan padanya.

“Waktu itu saya lihat itu fotonya saya mau menangis, kenapa begini kejadianya, seandainya bisa ditarik seperti biasa lagi,” tambahnya.

Setelah mengalami luka di pergelangan tangan dan paha, Hasbullah menghentikan aktifitas hariannya. Ia memilih di rumah saja dan menunggu luka sembuh. Hasbullah termasuk warga yang menolak tambang pasir. Tempat tinggalnya di kampung baru menjadi langganan banjir. Tak jauh berbeda dengan warga lain, ia berharap tambang pasir tak melakukan penambangan di desanya.

Berujung Panggilan Polisi

Penolakannya bersama warga terhadap tambang pasir, membuat Nawir harus berurusan dengan Kepolisian. Ia dua kali dipanggil oleh Polres Pinrang karena dituduh menghalangi aktifitas pertambangan. Dua kali surat panggilan yang dikirimkan padanya selalu dihadiri.

“Saya datang terus, saya bilang saya taat hukum. Jadi saya datang.”

Panggilan pertama tanggal 12 September 2018 dan panggilan kedua 24 oktober 2018. Dari dua kali panggilan itu, Nawir dituduh menghalangi tambang masuk. Saat ditanya penyidik kenapa ia menghalangi tambang, Nawir balik tanya ke Polisi 

“Perusahaan tambang mana yang saya halangi? Terus Polisi bilang PT ASR. Saya bilang saya tak pernah halangi. Yang saya lakukan adalah menolak.” 

Nawir mengaku diancam ketika berada di kantor Polisi. 

“Kalau kamu menghalangi, kamu bisa ditangkap karena menghalangi penambangan. Beda itu menolak sama menghalangi. Kalau menolak sebelum bekerja kita sudah tolak. Kalau menghalangi orang sudah bekerja baru kita minta berhenti,” ujar Penyidik, seperti diungkapkan Nawir.

Tak hanya Nawir, tanggal 11 Oktober 2019, dua orang warga dusun Salipolo bernama Tahang dan Akkas,  mendapat panggilan dari Polres Pinrang. Dua orang warga ini kemudian diminta memberi klarifikasi terkait penolakan mereka terhadap perusahaan tambang pasir. 

Berselang seminggu, Muhammad Sakir, Abdul Hakim dan Abdul Latif, juga mendapatkan surat panggilan dari Polres Pinrang. Perihal panggilan ketiganya, mereka juga diminta menjelaskan alasan penolakan dan pengusiran aktifitas perusahaan tambang pasir tersebut.

“Kamu tahu kalau kamu menghalangi tambang, kamu tahu kalau itu ada ancaman pidananya?” tanya penyidik seperti diceritakan Abdul Hakim.

“Iya saya tahu, tapi saya tetap menolak!”

Pemanggilan beberapa warga oleh Polres Pinrang tak menyurutkan penolakan warga terhadap tambang pasir. Setelah dipanggil mereka tetap melakukan pengusiran jika eskavator perusahaan tambang kembali beroperasi di Salipolo. 

“Setiap ada warga yang dipanggil kami selalu dampingi. Kami tidak akan membiarkan warga dipanggil sendiri, kalau ada yang ditangkap, kami semua juga harus ditangkap,” ujar Abuld Hakim dengan tegas.

Setelah tiga kali warga Salipolo melakukan pengusiran penambang PT ASR, digelar pertemuan parapihak di Kantor Dinas Penanaman Modal dan PTSP di Makassar, 3 November 2019. Mereka yang hadir adalah perwakilan warga, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas ESDM, Inspektorat Provinsi, Dinas Penanaman Modal, Pemerintah Kabupaten Pinrang, anggota DPRD Pinrang dan juga dari perusahaan tambang pasir.

Pertemuan yang berlangsung sejam lebih itu menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan sementara aktifitas pertambangan di Salipolo. Selain itu, akan dibentuk tim evaluasi izin dan dampak sosial, ekonomi serta lingkungan yang bisa timbul jika terjadi aktifitas pertambangan. Masyarakat berharap proses evaluasi yang akan dilakukan melibatkan masyarakat secara aktif sehingga hasilnya bisa benar-benar maksimal dan sesuai dengan harapan masyarakat.(*)

 

Related posts

Petani Bualemo Memungut Asa di Kerak Lahan Perkebunan Sawit

Defri

Diskriminasi Pakaian pada Perempuan: Aku Ingin Lari Jauh

Admin

Melepas Subsistensi: Potret Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Torosiaje

Defri

Leave a Comment