Oleh: Defri Sofyan
Beberapa detik berlalu dengan keheningan, moderator masih menunggu siapa selanjutnya yang akan bicara. Lalu ada seseorang yang mengangkat tangan, meminta izin untuk berbicara. Moderator mempersilakan.
“Saya ada satu, tadi itu saya lihat banyak yang tidak pakai masker, kan sebelumnya kita sudah sepakat harus itu, harus pakai masker, tidak pakai masker kurang ajar itu. Ke depannya itu harus kita antisipasi,” kata salah seorang dari lingkaran, Dani Wenda, di sela evaluasi.
Dani rupanya belum selesai, “supaya tidak ada lagi yang bilang kita tidak taat protokol kesehatan, walaupun kita tidak percaya corona, setidaknya kita menghargai, sadar diri semua!”
Suaranya bernada tinggi yang membuat suasana menjadi sedikit kaku.
“Kemarin mungkin teman-teman banyak juga yang tidak dengar imbauan,” kata seseorang menimpali, mencoba membela teman-temannya yang kena marah.
“Tidak, pasti sudah dengar!” bantah Dani, membuat semua yang duduk dalam lingkaran malam itu diam, pertanda mafhum atau sekadar ingin menutup perdebatan dan beralih ke topik lainnya.
Perbincangan itu berlangsung pada malam hari, Sabtu, 15 Agustus 2020, di dapur Asrama Cendrawasih, Kelurahan Wongkaditi Barat, Kota Gorontalo, tempat tinggal sekaligus pusat berkegiatannya mahasiswa asal Papua di Provinsi Gorontalo.
Dapur mereka cukup luas, sehingga bisa menampung tungku, lemari, tempat cuci piring, empat toilet, sekaligus puluhan orang yang duduk malam itu. Dindingnya tidak menutup hingga atap, membuat angin malam menerpa kami tanpa tanggung.
Kami duduk melingkar ditemani kopi hitam manis secerek besar yang selalu terisi penuh jika habis, dan berbungkus-bungkus rokok lintingan, menunggu giliran untuk menyampaikan pendapat-pendapat tentang kekurangan dan capaian dari aksi yang telah digelar siang harinya. Aksi peringatan New York Agreement, yakni hari pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia pada 1962 silam atau 58 tahun yang lalu.
Peringatan yang bukan sebuah perayaan bagi mereka, orang-orang Papua, karena dalam momen itu mereka tidak dilibatkan penuh dalam menentukan nasib mereka sendiri, apakah ikut Belanda, Indonesia atau merdeka sebagai negara sendiri. Adapun Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) sebagai bagian dari perjanjian, yang berlangsung 7 tahun setelahnya (1969), hanya melibatkan 1025 orang dari total jumlah penduduk yang pada waktu itu berjumlah hampir 815.906 jiwa (Rycho Korwa, Proses Integrasi Irian Barat ke dalam NKRI, 2013).
Aksi tersebut mereka helat di depan gerbang kampus satu Universitas Negeri Gorontalo, berlangsung dari pukul 14.30 sampai sekira pukul 16.00. Tak ada kendala berarti, aksi selesai dengan damai. Walaupun sempat terjadi perdebatan dengan aparat kepolisian yang mempersoalkan atribut Bendera Bintang Kejora ukuran mini yang mereka kibarkan pada potongan kayu kecil. “Bendera” itu hanya mereka buat dari sobekan kain spanduk putih yang diwarnai dengan spidol.
“Silakan orasi, tetapi dalam hal penggunaan atribut yang menyerupai bendera yang dilarang di Republik Indonesia, tolong, kami dari pihak aparat mengimbau, tolong (jangan digunakan),” kata seorang aparat berpakaian sipil kepada sejumlah penanggung jawab aksi.
Saat akan dibantah, aparat itu tampak tidak ingin lagi mendengar bantahan. Didatangi seperti itu, seseorang lalu berorasi dan menyampaikan dengan pengeras suara alasan mereka menggunakan atribut itu.
“Kami melihat bahwa ukuran bendera di sana (Bendera Merah Putih) tidak seperti ukuran bendera di sini (Bendera Bintang Kejora), juga dikibarkan lebih rendah (dari Bendera Merah Putih), yang kami kibarkan itu bukan bendera, kami juga di sini tidak bawa banyak,” kata orator dengan terbata-bata di hadapan aparat kepolisian.
Seseorang dari peserta aksi mendatanginya. Orang itu menaik-turunkan tangannya kepada orator, menyuruhnya tenang. Mereka lalu berbincang singkat, beberapa saat kemudian tak ada lagi atribut “Bendera Bintang Kejora” yang berkibar, aksi tetap berlanjut tanpa insiden tambahan.
Jika tetap bersikukuh, mungkin para pengibar “bendera” itu akan bernasib sama dengan delapan orang yang ditangkap di Jakarta, September 2019 yang lalu. Kedelapan orang itu terancam Pasal 106 jo Pasal 87 dan/atau Pasal 110 KUHP dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Perihal pengibaran Bendera Bintang Kejora saat ini memang menuai perdebatan, dalam UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua pada pasal 2 ayat 2 tertulis: Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
UU ini disahkan pada saat periode Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada periode Gus Dur, sebelum UU ini ada, pengibaran Bendera Bintang Kejora diperbolehkan, dengan syarat harus dikibarkan lebih rendah dari Bendera Merah Putih. Gus Dur memandang bendera tersebut hanyalah simbol kultural, bukan kedaulatan.
Bahkan orang seperti Freddy Numberi, purnawirawan TNI AL dan mantan menteri perhubungan, berpendapat sama, bahwa Bendera Bintang Kejora itu hanyalah bendera budaya, saat dia merespon ditangkapnya delapan orang pengibar Bendera Bintang Kejora di Jakarta.
Namun, perdebatan itu seolah tertutup oleh PP No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Negara yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada penjelasan pasal 6 ayat 4 secara eksplisit melarang dikibarkannya Bendera Bintang Kejora di wilayah NKRI.
“Tadi kritik dari intel (aparat berpakaian sipil) itu, harus kita telusuri lagi di UU atau peraturan lain,” kata seseorang menyadari insiden “bendera” belum dibahas dalam evaluasi malam itu. Banyak yang mengangguk, tapi tidak ada bahasan lebih lanjut selain pujian dari beberapa orang atas usulan itu.
Saya menyadari, evaluasi malam itu akan memakan waktu yang lama, karena: pertama, sejauh waktu yang telah dihabiskan, nyaris tak ada orang yang pasif, kebanyakan mengambil kesempatan untuk memberikan pendapat, dan belum ada tanda-tanda moderator membatasi jumlah pembicara; kedua, seseorang dari luar lingkaran tiba-tiba menghentikan pembicaraan, dia memanggil beberapa orang ke ruangan lain, lalu datanglah mereka dengan piring-piring penuh nasi dan daging ayam.
Benar saja, setelah makan dengan porsi luar biasa, orang-orang tanpa sadar mengubah cara duduknya, kaki diselonjorkan dan tangan menyangga di belakang. Tak hanya cara duduk, pembahasan inti terlupakan sejenak, berganti ke topik lain yang tak bisa saya sebut remeh temeh, walaupun mungkin bagi mereka demikian.
“Saya sering di kampus itu, ada teman-teman mahasiswa yang mau tanya-tanya ke saya, tapi masalahnya, dong tanya baru dong sendiri yang jawab. Dong tanya, ‘bagaimana, mau dukung kami atau OPM?’ baru dong yang jawab lagi, ‘Jokowi sudah bangun jalan tol begini begini, masa mau dukung OPM’ mereka sendiri yang jawab. Jadi saya diam-diam saja lihat dia. Dianggap primitif mungkin,” kata Dani yang telah selesai makan, membuka pembicaraan tanpa menunggu yang lainnya juga selesai makan.
Saya sendiri yang saat itu masih kesulitan menghabiskan makanan, harus memperhatikan dan mencatat apa saja yang mereka bicarakan.
Dani melanjutkan ceritanya.
“Jujur saya pernah marah tapi tidak pernah sampai memukul. Saya ingat itu waktu di salah satu hotel di Bekasi, saya dengan Magen mau mandi, terus ada satu teman saya dari Sulawesi Tengah, pas saya mau mandi kan buka baju, kan bau, berkeringat dari bandara ke lokasi, langsung dia lihat kami baru dia bilang ‘ba bulu kamu e’, langsung Magen krak (cekik) di leher, lalu saya bilang, Magen lempar di jendela sudah!”
Beberapa detik kembali hening setelah kami tertawa mendengar cerita Dani yang marah karena dikatakan berbulu. Seseorang lalu menyambung,
“Saya bingung juga dengan negara ini. Itu sama deng Veronica Koman, yang sekolah tinggi-tinggi sampai Australia, tapi hanya karena dia bersolidaritas untuk Papua, beasiswanya diminta dibalikkan, ini negara sudah miskin atau bagaimana?”
Kami tertawa lagi mendengarnya. Seseorang yang tergelitik humornya, lalu menyambut.
“Saya jadi ingat itu kata seorang pendeta di Papua: kalau kita selama penjajahan Indonesia ini kemudian meninggal, pasti Tuhan akan masukkan kita ke surga, tapi kalau sudah di surga ada orang Indonesia, mending kita pindah ke neraka saja.”
Setelah tertawa-tawa dengan berbagai humor ironi itu, moderator lalu memotong untuk melanjutkan lagi ke pokok pembahasan evaluasi aksi peringatan New York Agreement. Aksi jalanan pertama mereka tentang peringatan New York Agreement. Pada tahun-tahun sebelumnya mereka hanya memperingatinya dengan membuat ibadah dan diskusi terbatas di dalam asrama.
Selama mereka di Gorontalo, sepengetahuan Dani yang mulai kuliah di Gorontalo sejak 2015, total baru tiga kali mereka melakukan aksi jalanan.
“Pertama aksi untuk menuntut empat mahasiswa Unkhair, Ternate yang demo tanggal 2 Desember kemarin, terus menuntut pembebasan tapol Papua pada 26 Maret kemarin, dan terakhir ini Perjanjian New York,” kata Dani.
Minimnya aksi jalanan yang mereka lakukan karena mempertimbangkan kondisi. Menurut Dani, faktor pertama adalah tekanan senior-senior mereka yang tak ingin ada masalah yang menimpa mereka.
“Senior-senior itu berpikiran karena orang-orang sudah terlanjur pikir kita orang Papua ini agresif dan suka main fisik, jadi dilarang demo-demo, nanti bentrok.”
Faktor kedua, mereka belum banyak kenalan atau jaringan komunitas orang-orang lokal untuk bersolidaritas. Dani mengakui hal ini dikarenakan mereka mahasiswa Papua di Gorontalo masih menutup diri karena berkaca dari daerah-daerah lain, jika ada suara referendum atau sejenisnya, pasti akan terjadi represi dan diteror. Maka untuk kenyamanan dan keamanan selama di Gorontalo, mereka membangun jarak dengan orang-orang lokal.
“Pernah 2016 polisi datang dengan alasan kami menyimpan bendera Papua, senjata-senjata tajam dan sebagainya, kami tidak izinkan masuk, karena bagi kami itu tuduhan yang tidak logis, kalau memang kami membawa bendera kami kan ke sini lewat jalur laut atau udara, bisa diperiksa di bandara, kalaupun kami membuatnya di sini, kan bisa dilacak di tukang jahit atau di mana. Kami ancam kalau polisi tetap masuk, kami akan bakar asrama,” kata Dani.
“Ada juga media, datang-datang hanya sampai pagar baru foto-foto, baru muncul berita miring. Atau foto-foto kami di medsos diedit sedemikian rupa, baru dikasih caption miring.”
Tak hanya aksi peringatan New York Agreement, mereka masih mempunyai agenda lagi besok harinya, 16 Agustus 2020, hari yang mereka tetapkan sebagai Hari Rasis bagi bangsa Papua, di mana, pada hari yang sama tahun sebelumnya, tahun 2019, di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya terjadi insiden Bendera Merah Putih nyaris jatuh ke got di depan asrama mereka. Para aparat yang diduga TNI, Satpol-PP dan anggota ormas memaki mereka dengan kata-kata rasis (monyet), peristiwa-peristiwa selanjutnya terjadi, kerusuhan pecah di enam wilayah di Papua dan Papua Barat. Sekira 33 orang lebih warga sipil dan satu orang aparat TNI tewas dalam rentetan kerusuhan yang terjadi akibat perilaku rasisme dan hoaks kepada orang-orang Papua.
Sejak itulah, 16 Agustus, menjadi tambahan hari duka bagi mereka, dan monyet menjadi ikon perlawanan. Bagi Hengki Boma, Ketua Sementara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Gorontalo, kejadian 16 Agustus itu hanyalah pemicu dari tindakan rasisme terhadap bangsanya yang telah lama dipelihara.
“Tindakan rasis itu banyak sekali, dari sejak tahun 1961 itu banyak tindakan rasis dan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang mereka lakukan kepada kami bangsa Papua. Kata-kata ‘monyet’ itu seakan mengatakan kepada kami bahwa mereka menindas dan menyuruh kami segera bangkit melawan,” kata Hengki.
Minggu malam itu, 16 Agustus 2020, lampu depan asrama dimatikan, beberapa orang mahasiswa Papua berjaga di gerbang masuk. Entah apa maksudnya, apakah untuk kehati-hatian atau sekadar menciptakan keheningan, sebab malam itu mereka sedang berduka, mengenang kembali oma-opa, mama-papa, saudara-saudara, atau bahkan diri mereka sendiri yang menjadi korban diskriminasi dan rasisme.
Mereka tak bisa berbuat banyak, setidaknya malam itu mereka bisa membakar lilin, berkumpul, beribadah, bernyanyi dan berbagi cerita, menangis dan tertawa.
Rasa haru saya rasakan setelah sepasang lelaki dan perempuan bernyanyi diiringi petikan gitar akustik:
Satu tambah satu tambah satu
Mereka terus, terus, terus bertambah
Satu kurang satu kurang satu
Kami terus, terus, terus berkurang
Mati, mati, mati, mati, mati
Orang Papua mati di mana-mana
***
3 comments