Image default
Feature/In-depth

G(K)enangan di Libuo dan Keruhnya Tata Ruang Kota Gorontalo

Ditulis oleh Defri Sofyan


Dahulu, wilayah itu hanyalah pematang sawah dan rumah-rumah warga yang sederhana.

Pada pagi hari yang cerah, mentari akan memancarkan sinarnya seolah menyambut burung-burung dan para petani yang akan turun ke sawah. Pun, jika sedang hujan, tak banyak yang harus dirisaukan, para petani bisa  menunggu hujan reda sambil menikmati kopi di rumahnya.

Kini, semua telah berubah. Satu per satu pematang sawah telah lenyap ditimbuni tanah. Rumah-rumah warga yang sederhana terhimpit oleh pemukiman mewah dan hotel megah. Dan hujan sudah bukan lagi berkah bagi warga, melainkan pertanda mereka harus waspada.

Wilayah itu adalah RT 1/RW 1, Kelurahan Libuo, Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo.


Pertemuan dengan Genangan

Pulu menyaksikan Yusna, istrinya yang sedang hamil enam bulan lebih berjalan di halaman rumahnya yang tergenang. Kedalaman genangan di halaman rumah mereka hingga betis orang dewasa (18-7-2022). Foto oleh Defri Sofyan.

Pulu, sapaan akrab Abdul Wahab Kante (52), adalah salah satu warga Libuo yang rumahnya terhimpit oleh dinding hotel dan pemukiman elit. Tidak ada lagi pemandangan hijau persawahan yang menyehatkan mata, pemandangan di sekeliling rumahnya berganti dengan warna tembok yang monoton serta kelabu bayangannya.

Namun, Pulu tidak sedang mengeluhkan soal pemandangan di sekitar rumahnya, melainkan “bencana” yang seketika membuat ketenteraman di rumahnya hilang. “Bencana” itu adalah genangan air yang mengubah halaman dan rumahnya menjadi kolam. Kedalamannya, bisa setinggi betis orang dewasa, bahkan pada saat hujan deras yang berlangsung lama, genangan itu bisa setinggi paha.

Rumah Pulu layaknya rumah warga lainnya di komplek itu, bukanlah rumah yang adaptif terhadap banjir. Ketinggian muka lantai di dalam rumah Pulu dan banyak rumah warga lainnya, bahkan nyaris sejajar dengan muka tanah. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki pondasi tinggi dan lantai bertingkat.

Karakteristik tanah di lingkungan itu pun memang selalu basah dan susah menyerap air. Kadang, kalau hujan deras yang berlangsung lama, beberapa titik akan terendam air, namun tidak akan sampai masuk ke dalam rumah dengan tingkat kedalaman separah itu, dan akan cepat surut seiring redanya hujan.

Tapi, kali ini, air masuk hingga ke dalam rumah-rumah warga dan akan merendaminya sampai berminggu-minggu lamanya. Tak hanya itu, genangan yang lama surut, bisa dengan cepat datang lagi seiring turunnya hujan. Kondisi ini berlangsung sekira lima bulan lamanya, yakni sejak Maret hingga awal Agustus. Akibatnya, beberapa lantai rumah warga retak dan susut akibat terlalu lama digenangi air. Serta tak ketinggalan, penyakit kulit yang membuat kaki luka, gatal-gatal dan demam. Juga nyamuk yang seketika meningkat drastis populasinya.

Suatu saat, pada pagi yang cerah, Yusna Ismail (36), istri Pulu, sedang mencuci baju—sebagaimana aktivitas sehari-harinya sebelum genangan tiba. Di tengah rumahnya yang terendam air setinggi atas mata kaki itu, Yusna berjalan perlahan sambil menenteng loyang berisi baju cucian dengan menyeret-nyeret kakinya agar bisa menembus genangan dengan mulus. Namun tanpa diduga olehnya, kakinya memijak di bagian lantai yang berlumpur, kehilangan keseimbangan, dia pun roboh, pinggulnya dengan keras menghantam lantai. Baju cuciannya mengambang di atas air genangan, pinggulnya nyeri, Yusna reflek menangis. Dia menangis bukan karena baju cuciannya yang baru dicuci sudah kotor lagi, atau karena pinggulnya yang terasa sakit. Tapi, saat itu Yusna sedang mengandung, dia panik, takut, bila bayi yang sedang dikandungnya selama enam bulan itu tidak akan selamat. Apalagi itu terjadi hanya karena perkara cucian dan genangan air yang datang tanpa diminta itu.

“Saya sesak napas [saat dibawa ke rumah sakit], untungnya kata dokter, ‘bayi alhamdulillah sehat, ibu hanya kelelahan.’” kata Yusna meniru dokter yang memeriksanya di RSUD Aloei Saboe.

“Saya sudah keluar dari rumah sakit dari hari Sabtu kemarin (16/7/2022). Kondisi bayi alhamdulillah sehat.”

Pertanyaannya, bagaimana jika bayinya tidak baik-baik saja? Penderitaan macam apa yang akan dirasakan oleh Yusna dan Pulu? Hanya amarah dan pedih di dada yang bisa dirasakan oleh mereka saat membayangkannya. Pun tak perlu dengan skenario terburuk itu, kehidupan Pulu dan Yusna sejak adanya genangan sudah cukup menderita.

Pulu adalah seorang kuli bangunan, yang pendapatannya tak menentu—kalau ingin tidak dikatakan kurang cukup untuk menghidupi keluarganya dengan layak. Sedangkan istrinya, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tak memiliki pendapatan.

Selain dengan Yusna, Pulu tinggal bersama seorang anak perempuan. Anaknyalah yang membantu mencari-cari pendapatan tambahan dengan cara menjual bingkisan untuk berbagai macam acara syukuran.

Sebagai keluarga tak berkecukupan, menyiasati pengeluaran adalah kemampuan wajib yang harus mereka miliki agar tetap bertahan hidup. Kebutuhan primer seperti makan dan minum, sudah bisa terpenuhi dari penghasilan Pulu. Namun mereka  punya mimpi: Mereka ingin merenovasi rumah menjadi lebih layak, agar mereka dan anak-anaknya bisa tinggal dengan aman dan nyaman semasa hidup.

Pulu dan anaknyapun berencana merenovasi rumah mereka dengan menysihkan sedikit demi sedikit dari pendapatan yang mereka dapatkan. Rencana ini sudah mereka cicil dari sebelum genangan tiba. Namun naas, pondasi bangunan baru berdiri, genangan pun tiba. Akibatnya, material bangunan lainnya yang telah dikumpulkan dan baru mau saja digunakan, seperti pasir, semen dan besi, rusak terendam air.

“Ini, kalau sudah seperti ini (sambil menunjuk material yang rusak) hilang sudah usaha yang kami kumpulkan susah payah. Itu kasihan anak saya, dia sampai menangis,” kata Pulu sambil berkaca-kaca.

“Saya ini kalau ada uang, ngapain bertahan di sini. Atau, kalau ada uang, saya akan buat rumah ini tinggi-tinggi.”

Ayam Ternak Mati dan Kebun Kecil yang Terendam

Kadir Kunta (61) sedang memindahkan tanaman-tanamannya agar tidak terendam air (18-7-2022). Foto oleh Defri Sofyan.

Keluarga Pulu bukanlah satu-satunya yang merasakan dampak genangan itu. Menurut data yang dihimpun pemerintah kelurahan, ada kurang lebih 15 rumah, 32 Kepala Keluarga, 110 jiwa yang terdampak genangan air.

Kadir Kunta (61), seorang warga yang kesehariannya seorang imam di musala, juga ikut merasakan dampak dari genangan air. Musala yang dibangun berdempetan dengan rumahnya memang tidak sampai terendam, karena pondasinya yang tinggi. Namun rumahnyalah yang bernasib sial. Air masuk hingga ke kamar-kamar tidur.

Siang itu (18/7), di halaman rumahnya yang terendam air, Kadir terlihat mondar-mandir sambil mendorong gerobak tangan. Dia rupanya sementara memindahkan tanaman-tanaman cabai dan sayur-sayuran yang ditanaminya pada polybag yang diletakkannya sebagian di rak tanaman bertingkat dan sebagian lainnya langsung bersentuhan dengan tanah.

“Ini tanaman saya harus pindahkan ke tempat yang tinggi dulu, karena kalau terendam, kan, bisa mati,” ujar Kadir sambil menyeka peluh di wajahnya.

Genangan yang merendami tanamannya itu sebenarnya telah surut pada beberapa hari sebelumnya, namun datang lagi karena hujan mengguyur pada malam sebelumnya (17/7). Akibat kondisi seperti itu, Kadir pun sudah mafhum, turunnya hujan adalah pertanda dia harus bergegas mengambil gerobak dorong untuk memindahkan tanaman-tanamannya.

Pada usianya yang tak lagi muda, tak banyak yang bisa dilakukan Kadir. Anak-anaknya pun telah dewasa, sudah bisa mengurusi diri mereka sendiri. Tapi itu bukan berarti Kadir senang menunggu tutup usia dengan ongkang-ongkang kaki. Selain bertani skala rumahan itu, dan imam salat tetap di musala dekat rumahnya, Kadir juga memanfaatkan sepetak tanah di samping rumahnya untuk memelihara ayam.

Namun, sekali lagi, genangan yang datang membuat pola aktivitas keseharian Kadir berantakan.

“Ayam mati. Mati semua. Ada sekitar 50-an ekor. Itu kandang sudah tidak berfungsi lagi,” ucap Kadir sambil menunjuk kandang di samping rumahnya.

Sekilas, kandang itu memang terlihat sepi dan tak ada bunyi kokok atau kepak sayap ayam, yang biasanya hanya berhenti pada waktu-waktu tertentu di malam hari. Yang tampak, hanya pendar cahaya yang bergelombang di dinding papan kandang, cahaya yang dipantulkan dari air cokelat genangan di bawahnya.

“Sudah lima bulan [genangan tiba], dari sebelum puasa. Surut, ya, surut, tapi hujan sedikit naik lagi. Menunggu ia surut dengan sendirinya bisa sebulan [lamanya] mungkin. Saya prediksi, ini mungkin nanti tujuh bulan kemarau baru bisa kering total,” kata Kadir setengah bercanda.

Warung Tutup dan Penyakit Kulit

Onu Bagu (55) mengidap penyakit kulit di kakinya akibat selalu terendam sepanjang hari di air genangan yang kotor (18-7-2022). Foto oleh Defri Sofyan.

Sekira 20 meter di belakang rumah Kadir, rumah Onu Bagu (55) berdiri. Rumah yang juga ikut terendam genangan. Di sekitarnya, berdiri empat rumah tetangganya. Dalam sebuah rumah, umumnya ada lebih dari dua orang yang tinggal. Jadi, pada hari yang normal, komplek itu ramai, banyak orang lalu lalang atau sekadar mengobrol di depan rumah masing-masing. Hal itu yang membuat Onu nekat membangun warung kecil tepat di samping rumahnya. Mungkin pikir Onu, “di mana ada keramaian di situ bisa tercipta pasar”.

Namun pada sore itu, hanya rumah Onu yang pintunya terbuka. Komplek sekitar rumah Onu terlihat sepi, tak ada yang lalu lalang, hanya ada tawa dua orang bocah yang sesekali memecah keheningan. Mereka sedang memancing, dari tawa dan geliat mereka, tampaknya mereka menikmati suasana sepi di tengah genangan yang banyak ikannya. Sebab keheningan dan berlimpahnya ikan, adalah dua paket komplet bagi para pemancing pemula seperti mereka. Mungkin juga, hanya para bocah yang gembira menyambut genangan itu.

“Setengah mati [menjalani aktivas sehari-hari]. Ini saja, saya buka warung ini, [pembeli] yang datang biasanya hanya satu hari satu orang. Untungnya, istri saya membuat kue yang nanti akan dijajakan keliling oleh anak saya yang sulung,” cerita Onu.

Kondisi rumah Onu relatif sama saja dengan kondisi rumah warga terdampak genangan yang lain. Genangan masuk hingga ke kamar-kamar tidur, jika ada lantai atau tempat yang lebih tinggi, di situlah mereka menyelematkan barang-barang berharga yang sekaligus menjadi pusat aktivitas sehari-hari.

Di rumah Onu, Tempat yang lebih tinggi itu berada di ruang antara ruang tamu dan dapur. Di situlah barang-barang seperti televisi, sofa, kasur dan dokumen-dokumen berharga diletakkan sekaligus, yang membuat ruang di tempat itu menjadi sempit. Tempat yang sempit itu juga yang menjadi tempat tidur dan makan keluarga. Akibat mengecilnya ruang untuk beraktivitas, anak Onu sampai tidak lagi tidur di rumah.

“Anak saya ini, kasihan, dia memilih tidur di rumah temannya,” kata Onu dengan nada rendah, seolah menyalahkan dirinya sendiri akibat tak mampu menyediakan tempat tidur yang nyaman untuk anaknya.

Genangan yang datang dan pergi selama kurang lebih dua bulan itu, juga membuat lantai dan dinding rumah Onu retak. Selain itu, Onu juga terkena penyakit kulit di kakinya akibat setiap hari terendam air genangan.

“[Kena penyakit] ini kaki [sambil menunjukkan kakinya]. Mulai gatal lagi [sejak pertama kali genangan, lama sembuh karena genangan berikutnya]. Sudah ke dokter, sudah dikasih obat.”

Penyakit kulit di kaki Onu lama sembuh, atau ketika sekalinya sembuh penyakitnya muncul lagi, mengikuti siklus genangan yang datang dan pergi.

Di tengah percakapan, tiba-tiba air genangan di dalam rumah yang tadinya tenang, menjadi bergelombang, sontak mata kami mencari sumber gelombang. Ternyata ada seekor ikan nila yang panik mencari jalan keluar. Kami tertawa, pertama, karena tingkah ikan itu. Kedua, bayangkanlah, kamu sedang ngobrol dengan seorang tamu di rumah, dan tiba-tiba ada ikang berenang di lantai.

Lambatnya Penanganan

Lahan milik si pengusaha yang menjadi biang genangan masih terus ditimbuni (7-7-2022). Foto oleh Defri Sofyan.

Genangan yang melanda RT 1/RW 1 Kelurahaan Libuo sejak Maret hingga awal Agustus itu, bukanlah sebuah bencana alam. Genangan itu muncul diduga kuat oleh warga akibat dari ditutupnya saluran air oleh seorang warga yang juga seorang pengusaha.

Lahan yang dibeli oleh si pengusaha ini dulunya adalah persawahan yang terbelah menjadi dua bagian oleh saluran air. Namun, pada tahun 2016, si pengusaha mengklaim bahwa lahan yang dibelinya itu tidak terdapat saluran air. Dia pun membangun batas-batas tembok untuk memperkuat klaim itu. Pada tahun 2022, bulan Januari, lahan sekaligus saluran air yang telah diklaim itu ditimbuni. Sejak itulah, berselang sebulan kemudian, yakni pada Maret 2022, ketika musim penghujan tiba, genangan menjadi “bencana” baru bagi warga di komplek itu.

Keberadaan saluran air yang disangkal oleh si pengusaha pemilik lahan itu, tentu saja dibantah oleh warga yang telah lama tinggal di situ. Begitupun dengan pihak kelurahan yang mengantongi salinan dokumen kepemilikan lahan. Namun, persoalan menjadi panjang ketika si pengusaha memberikan dokumen kepemilikan lahan dengan data yang berbeda, bahwa tidak ada saluran air di lahan itu.

Pemerintah, pihak yang dipercayakan warga untuk menyelesaikan ini pun entah apa alasannya, terlalu hati-hati untuk mengambil tindakan. Beberapa kali pertemuan antara warga, pemerintah dan si pengusaha dibuat, memohon agar si pengusaha secara sukarela membongkar saluran air yang telah ditimbuni.

Di sisi lain, warga sendiri tidak membawa sengketa ini ke ranah hukum. Sebabnya, warga merasa tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk melalui proses itu. Saat itu, bahkan tidak ada seorang pengacara pun atau lembaga bantuan hukum manapun yang datang untuk membantu.

“Tidak ada uang buat sewa pengacara, Pak. Kan butuh banyak uang buat sewa pengacara?” kata seorang warga menjelaskan kenapa mereka tidak menggunakan jalur hukum.

Alasan lainnya, pihak pemerintahlah yang membujuk agar masalah ini diselesaikan dengan mediasi saja.

“Sebenarnya bisa saja saya perintahkan Satpol PP untuk bongkar, tapi saya melakukannya dengan persuasif. Semua kita libatkan, jadi dari dinas saya, kemudian dari BPN, kemudian kelurahan, kecamatan dan para pemilik lahan sekitar. [Yang dihindari adalah] benturan antarmasyarakat. Masyarakat yang terkena genangan karena penutupan, mereka akan serang yang menutup ini, itu yang saya tidak mau. Jadi saya pakai cara humanis,” kata Marten Taha, Wali Kota Gorontalo saat diwawancarai (2/8/2022).

Bagi warga terdampak, pernyataan Wali Kota ini seolah mengabaikan kenyataan, bahwa sudah empat bulan lebih mereka menderita. Sebaliknya, justru yang menjadi kekhawatiran pemerintah adalah keselamatan si penimbun saluran air, bukan warga terdampak seperti Pulu, Kadir dan Onu yang telah menderita akibat ulah si penimbun.

Selain alasan paripurna dari Wali Kota yang secara otoritatif mewakili banyak dinas terkait, alasan lainnya adalah pemerintah kota masih menunggu kepastian data batas tanah dari Kantor Pertanahan Kota Gorontalo (instansi vertikal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) untuk menjadi bukti apakah menurut dokumen legal, di sana terdapat saluran air atau tidak.

Permintaan data batas tanah ke Kantor Pertanahan Kota Gorontalo ini sudah sejak tanggal 1 Maret 2022 diajukan secara tertulis oleh Kantor Kelurahan Libuo, namun tak kunjung diperoleh. Menurut Kantor Pertanahan Kota Gorontalo, ada prosedur untuk membuka dokumen tersebut, harus melalui izin dari Kantor Wilayah atau untuk proses hukum oleh pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Selain itu mereka mengaku kesulitan untuk mencari data itu karena belum terdigitalisasi.

Tidak Tinggal Diam

Posko yang dibangun warga untuk dijadikan sebagai tempat berkumpul sekaligus protes terhadap masalah genangan yang sudah sekira empat bulan tak kunjung ditindaki oleh pemerintah (18-7-2022). Foto oleh Defri Sofyan.

Menghadapi kenyataan bahwa genangan kian hari kian menambah derita, sementara pemerintah terjebak dengan hambatan-hambatan birokratis, warga tidak tinggal diam. Mereka mendirikan posko sebagai tempat komunikasi dan protes. Posko itu tepat bersebelahan dengan pintu keluar Hotel Aston, tempat banyak pejabat berkunjung. Spanduk-spanduk bernada protes dibentangkan, harapannya, ada setidaknya satu dua pejabat yang tergannggu melihat pemandangan itu.

Hampir setiap malam warga berkumpul di posko, membahas kabar terbaru dari langkah pemerintah dan merencanakan langkah apa yang bisa mereka ambil. Lalu, pada suatu malam, mereka mendapatkan satu rencana, mungkin bukan rencana yang cerdik, tapi mungkin, itu adalah rencana yang berani: Mereka akan membobol tembok yang menutupi saluran air.

Ada sekitar empat orang warga termasuk Lurah yang melakukan langkah berani itu, Pulu salah satunya, membobol tembok bukanlah pekerjaan sulit bagi Pulu yang seorang kuli bangunan, apalagi dibantu oleh kawan-kawannya. Tembok pun bobol dengan mudah.

Namun seperti banyak kisah tentang keberanian warga, mereka akhirnya berurusan dengan polisi. Si pengusaha melaporkan mereka dengan tuduhan pengrusakan properti pribadi. Mereka semua dipanggil untuk diperiksa di Polda Gorontalo.

“Dia (si pengusaha) lapor dengan tuduhan pengrusakan pondasi sepanjang enam meter. Padahal yang kita bobol itu sepenggal saja, mungkin hanya sekitar satu setengah meter, hanya sepanjang saluran air yang ditutupinya itu. Polisi datang ke sini, foto-foto, kami pun diperiksa, tapi hanya sekali. Kami tunggu-tunggu pemanggilan kedua, tapi tidak ada,” kata Fahmid Said Alamri (47) setengah tertawa.

Bagi Fahmi dan kawan-kawannya yang melakukan pembobolan, mereka tidak gentar, karena mereka hanya melakukan apa yang semestinya mereka lakukan. Bahwa merekalah saksi keberadaan saluran air itu sejak dulu, dan jika saluran air itu hilang, kehidupan mereka juga terancam.

Kenangan yang Tertinggal

RT 1/RW 1, Kelurahan Libuo, di mana kasus ini terjadi, menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Gorontalo Tahun 2019—2039, khususnya dalam lampiran Peta Rencana Pola Ruang, adalah Zona Perumahan dan Zona Perdagangan dan Jasa. Tapi, kenyataannya kondisi penggunaan lahan di tempat itu, tidak hanya pemukiman warga, perumahan elit, hotel dan penginapan yang dibangun belakangan. Penggunaan lahan di tempat itu sebelum dibangunnya sektor jasa tadi, adalah empang dan sebagian besar persawahan.

Perubahan tata ruang ini tentu saja mempunyai konsekuensi, dalam hal ini, persawahan dan empang yang memiliki fungsi sebagai area tangkapan air akan kehilangan fungsinya. Belum lagi di wilayah itu di lampiran yang berbeda, yakni pada Peta Rawan Bencana Banjir, komplek itu masuk ke kawasan rawan banjir dengan tingkat kerawanan yang tinggi.

“Sawah itu mempunyai fungsi konservasi, yakni sebagai daerah tangkapan air. Pada saat ia dialihfungsikan menjadi pemukiman, atau sekadar ditimbun, maka air yang ada di situ akan lari ke tempat lain pada saat debit air tinggi, misalnya genangan,” kata Sri Sutarni Arifin, Peneliti Tata Ruang dari Universitas Negeri Gorontalo.

Menurut Sri, walaupun akhirnya suatu wilayah dialihfungsikan melalui revisi pada Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah, namun dalam hal ini, sawah yang memiliki fungsi sebagai resapan air, harus dicarikan penggantinya.

“Sama dengan orang yang menebang satu pohon, bukan [serta merta] diganti dengan menanam satu pohon lagi, tapi [yang lebih penting] diganti dengan fungsi yang sama dengan satu pohon yang telah ditebang tadi,” ujar Sri menambahkan.

Sri ingin mengatakan bahwa dalam kasus genangan ini, tidak apa-apa jika sawah dan saluran air ditimbuni, tapi harus dibangun lagi sesuatu yang memiliki fungsi yang sama dengan sawah dan saluran air tadi, yakni resapan dan jalur air.

Hal lainnya juga ditegaskan oleh Dianto Bachriadi, seorang peneliti agraria senior di Indonesia, bahwa ketidaksesuaian antara kondisi riil dan peraturan soal tata ruang ini, juga mengandung indikasi yang lain, yakni perancangan peraturan tata ruang yang tidak didasari dengan penelitian yang mendalam.

“Kita tahu, bahwa proses pembentukan tata ruang itu lebih banyak tidak didasarkan pada hasil riset yang baik. Tapi lebih kepada kepentingan ekonomi. Misalnya, mereka [pemerintah] ingin mengadakan tanah di areal bekas rawa, agar di situ menjadi perhotelan, pemukiman mewah dan lain sebagainya. Jadi pertimbangan bahwa daerah di situ bekas rawa, mungkin dikesempingkan,” kata Dianto.

Dianto kemudian menjelaskan lebih lanjut, bahwa yang dia maksudkan perkembangan ekonomi itu semata hanyalah bertambahnya angka-angka dalam buku pencatatan ekonomi pemerintah, sehingga belum tentu berdampak baik bagi kesejahteraan warga sekitar. Bahwa ketika tanah-tanah di situ berubah fungsi dari sawah ke pemukiman dan sektor jasa, maka proses perhitungan nilai atas tanah-tanah itu juga berubah.

Contoh paling sederhana adalah besaran pajak yang akan diterima pemerintah akan naik. Contoh yang lebih kompleks adalah bagaimana roda ekonomi akan berputar dan berkembang melalui hotel dan pemukiman elit, dibanding melalui persawahan tradisional yang terhimpit oleh bangunan-bangunan khas perkotaan.

Hal kedua itu bisa terbaca dengan jelas pada data distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Gorontalo, bahwa pada kurun tahun 2019 sampai tahun 2021, ada lebih dari 90 persen PDRB Kota Gorontalo yang diperoleh dari sektor non-pertanian. Artinya, sektor non-pertanianlah yang menjadi pilihan ekonomis Pemerintah Kota Gorontalo selama ini, setidaknya dalam kurun waktu tersebut.

Sementara, warga sekitar, para petani, penggarap atau sekadar pemukim yang tinggal dan memanfaatkan fungsi ekologis dan ekonomis dari sawah dan saluran air, menjadi rentan akan dampak dari perencanaan tata ruang yang demikian itu. Berkaca dari kisah warga Libuo ini, kita mungkin bisa bertanya, apakah ke depan kisah yang sama dengan apa yang dialami warga Libuo ini akan terulang? Apakah perubahan dan pelaksanaan dari rencana tata ruang akan terus mengesampingkan dampak ekologis dan ekonomi warga miskin kota?

Walaupun, pada akhirnya saluran air yang ditimbuni oleh si pengusaha telah dibuka kembali pada awal bulan Agustus, namun waktu empat bulan—sejak Maret—bukanlah waktu yang singkat bagi Pulu, Kadir, Onu dan para warga terdampak lainnya. Di rentang waktu itu ada memori: Tentang seorang perempuan yang hampir kehilangan anak yang dikandungnya; tentang seorang kuli bangunan yang batal membangun rumahnya sendiri;  atau sekadar kisah tentang seorang lelaki yang terganggu rutinitas hari tuanya. Mereka tak akan pernah lupa.


Catatan: Si pengusaha menolak untuk diwawancarai.

 

Related posts

Kisah Waria di Gorontalo Melawan Corona

Defri

Panah Wayer dan Anomali Kenakalan Remaja

Admin

Potret Sekolah Pedalaman pada Masa Pandemi

Defri

Leave a Comment