Oleh: Eko Rusdianto
Jurnalis, tinggal di Sulawesi Selatan
Kampanye moralitas bangsa dimulai dari Kota. Desa yang menjadi pondasi ikut-ikutan, tapi terlupakan.
Masih ingat ide lembaga Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kantin kejujuran? Ide ini dikenalkan tahun 2007. Ide untuk membangun rasa percaya yang diyakini ampuh, dalam menciptakan prilaku jujur sejak dini. Akhirnya sekolah, membuat kantin. Instansi pemerintah pun ikutan.
Adakah yang bertahan?
Pertanyaan ini menerkam saya sejak beberapa tahun lalu. Kantin-kantin jujur di sekolah-sekolah dan di kabupaten, hingga dalam wilayah administrasi desa rupaya tak bertahan. Kantin itu, hanya bertahan beberapa tahun, lalu mendapat sanjungan. Perlombaan dan biyurr; lenyap. Siapa yang membicarakannya sekarang?
Secara umum, kantin kejujuran yang kemudian dijalankan oleh Kejaksaan Agung telah meresmikan sekitar 10.000 kantin kejujuran. Namun yang berjalan baik hanya sekitar 675 kantin di sekolah. Namun itu hanya data tertulis, di beberapa sekolah di Sulawesi Selatan, kantin kejujuran berhenti, atau beralih menjadi kantin konvensional.
Pada 26 Agustus 2019, ketika mengunjungi Kecamatan Kalumpang di Sulawesi Barat, hati saya tersentak kembali dengan pemandangan di pinggir jalan. Ada tiga buah ikat durian. Di gantung di sebuah kayu dan diberikan tulisan Rp20.000 per ikat. Siapa yang menjaga jualan itu. Tidak ada.
Durian itu, mudah saja terlihat, karena berada di pinggir jalan utama menuju pusat kecamatan. Tapi ironisnya tak pernah ada pencurian. Rekan perjalanan saya, Asfriyanto, seorang ahli peta kawasan dari Sekolah Rakyat Payo-payo, bilang, kalau praktek seperti itu jauh sudah ada di masyarakat desa.
Akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an ketika masih mengenyam pendidikan Arkeologi di Unversitas Hasanuddin, dia mengunjungi Kalumpang. Sebuah kampung yang dijadikan pusat data masa neolotik terbesar di Indonesia. Temuannya tersebar dari pesisir sungai, hingga puncak bukit.
Kalumpang adalah kampung tua yang dianggap sebagai awal mula peradaban migrasi manusia Autronesia dari ras Mongoloid. Mereka memiliki sistem pertanian yang handal, tenunan sekomandi yang tersohor dan pembuatan gerabah yang bertahan hingga sekarang.
Tahun 2000, ketika Asfriyanto menjajaki Kalumpang dengan lama perjalanan dua hari dua malam, dia mengingat-ngingat masa itu. Dia mencari tempat peristirahatan, mobil ketika menunggu rakit. Sudah tak ada, jembatan beton sudah berdiri kokoh.
Dia juga ikut mencari kedai minuman lokal di pinggir jalan, pun ikut lenyap.
“Dulu disitu, kau bisa ballo berapa pun. Setelah itu ukur sendiri berapa kau minum, terus bayar, sudah ada harga yang ditulis,” katanya.
“Oh itu mi kantin paling jujur,” lanjutnya.
Saya menyepakati itu. Saya menyaksikannya sendiri melalui tiga ikat buah durian itu. Sebenarnya bisa saja saya membawa lari buah itu, lalu menikmatinya di tempat lain tanpa membayar. Tapi orang-orang desa tahu, makan yang bukan hak milik itu akan membuat seseorang merasa terbebani.
Apakah sikap ini yang ditargetkan oleh KPK dalam menginisasi kantin kejujuran? Jika iya, maka orang-orang memang penting mempelajarinya.
Saat sekolah SMP dan SMA, para tahun 1998 dan 2000, menjadi korup dalam praktek kecil memang sudah kami lakukan. Biasanya saya dan kawan makan kue empat menyebutnya dua. Di kampung saya, di Luwu, gorengan belum tersohor.
Saat SMA, berangkat sekolah menggunakan kendaraan umum mikrolet. Disebutnya sebagai pete-pete. Ketika jadi penumpang, maka trik bayar belakang menjadi andalan. Walaupun ketika teman yang terkahir turun, akan tetap membayar satu orang.
Tak hanya itu, saat siswa sudah berembuk turun dari pete-pete di depan sekolah, kami akan berjalan cepat ke belakang mobil lalu menghilang. Tapi prilaku ini, sebenarnya bukan sebagai upaya mengibuli sopir dan pedagang kue. Melainkan untuk gagah-gagah-an di depan teman sebagai orang jago trik.
Trik ini bagi saya seperti menghadiri acara jamuan makan di pesta pernikahan yang tidak dikenal. Pura-pura masuk sebagai tamu meskipun, tak ada undangan. Pura-pura ramah dan makan sepuasnya. Itu juga capaian yang menyenangkan, meskipun sekarang saya tak pernah melakukannya lagi.
Lalu mengapa kantin kejujuran yang digadang KPK sebagai upaya pendidikan moral usia dini banyak yang gagal?
Tentu saja karena kelembagaan. Praktek hidup di banyak warga di Indonesia memahami konsep saling membantu sejak awal sudah terjadi. Meskipun di beberapa komunitas warga, kejujuran dibungkus dalam sebuah mitos.
“Jika kamu meminum tuak dan tidak membayar, maka perutmu bisa sakit dan kau akan mencret-mencret sepanjang hari.”***