lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Kisah Tambak Garam di Cagar Alam Tanjung Panjang

Oleh: Renal Husa

Siang sungguh terik, tidak ada pohon untuk berteduh, hanya ada semak dan hamparan tambak terbentang luas sepanjang mata memandang. Tambak-tambak itu berkilauan memantulkan matahari, cahayanya terlihat seperti pecahan kaca yang ditebarkan, begitu menyilaukan mata. 

Sepuluh meter dari jalan tempat saya berdiri, terlihat delapan tambak-tambak kecil berukuran 8×3 meter sedalam 30 sentimeter. Selain itu ada beberapa dangau kecil yang dipenuhi tumpukan karung putih yang berjejer di pinggiran jalan.

Seluruh bagian tambak-tambak itu tertutup dengan plastik hitam, setengahnya terisi air. Dari dasar tambak terlihat gumpalan kristal berwarna putih kecoklatan, memenuhi seluruh dasar tambak-tambak itu.

Di saat yang sama, delapan orang pekerja sedang mengeruk dasar tambak. Mereka bergotong royong mengeruk kristal yang ada di dasar tambak, menggunakan bilah bambu panjang, yang dimodifikasi hingga terlihat seperti cangkul. Tubuh mereka dibaluti dengan kain untuk mematahkan terik matahari siang itu. 

***

Waktu menunjukan pukul 13.20 Wita. Matahari dengan gagah memancarkan sinarnya, namun mereka tetap sibuk mengeruk dasar kolam. Mengumpulkan kristal yang ada, hingga terlihat seperti deretan bukit, lalu mengemasnya ke dalam karung.

“Itu adalah tambak garam,” ujar lelaki paruh baya yang menyambangi saya, saat sedang mengamati aktivitas mereka. 

Hanya dia yang tidak membebat tubuhnya dengan kain. Dia mengenakan celana denim pendek dan kaos oblong coklat berlengan pendek. Membiarkan wajah, tangan dan kakinya terbuka, terpapar sinar matahari siang itu. 

Saya menjulurkan tangan memulai perkenalan, terdengar dari suaranya mengucapkan namanya sebagai Ruslan. Usianya 46 tahun. Lelaki ini adalah pemilik tambak garam yang sedang dikeruk orang-orang itu.

“Mereka sedang memanen garam,” katanya.

Menurutnya jika pada musim kemarau seperti sekarang, tambak-tambak garam itu lebih produktif. Bisa dilihat juga dari deretan puluhan karung garam yang mereka kumpulkan siang itu.

Tambak garam di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Renal Husa.

Rezeki di Tengah Paceklik

Saat itu Kamis, 10 Oktober 2019. Musim paceklik telah berlangsung selama beberapa bulan melanda setiap daerah yang ada di Gorontalo. Tidak terkecuali Kabupaten Pohuwato. 

Dari catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pohuwato, terdapat 54 desa dari 13 kecamatan yang ada di Pohuwato, terdampak kekeringan tahun itu. Akibatnya ada sekitar 15.614 jiwa dari 4.685 kepala keluarga yang mengalami krisis air bersih. Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato pun mengeluarkan status darurat tanggap bencana selama 49 hari, melalui Surat Pernyataan Bupati No. 358/29/IX/Tahun 2019, tertanggal 19 September 2019. 

Isi dari surat pernyataan itu adalah, memerintahkan tiga instansi pemerintah untuk menangani krisis air yang melanda. Tiga instansi pemerintah yang ditunjuk untuk menangani situasi tanggap darurat tersebut ialah, BPBD sebagai koordinator, Dinas Sosial dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai anggotanya.

“Sepanjang masa tanggap darurat yang ditetapkan itu, kami telah mendistribusikan air bersih sebanyak 6.295.900 liter kepada masyarakat terdampak,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, BPBD Pohuwato, Rusly R. Umar, saat ditemui 20 Januari 2020 lalu.

Pada bulan yang sama, tepatnya di tanggal 17 September 2019, BPBD Provinsi Gorontalo, Sumarwoto, mengatakan, sebanyak 32.624 jiwa warga yang terdampak kekeringan di Provinsi Gorontalo tahun itu. Serta ada sekitar 330 hektare lahan sawah dan 1.850 hektare lahan jagung yang terancam gagal panen.

Hanya saja bagi Ruslan, bisa jadi kekeringan adalah anugerah. Sebagai petani garam, di saat sebagian orang merasakan paceklik, justru ia merasakan rezeki pada musim kemarau. 

Pada musim-musim seperti itu, biasanya dia bisa memanen garam satu atau dua hari sekali.  Dalam sekali panen dia bisa mengumpulkan sepuluh karung garam kasar siap jual. Dalam seminggu dia bisa mengumpulkan hingga 150 karung garam. Garam-garam yang dikumpulkan tersebut, selanjutnya akan disusun rapi di dangau yang ada di pinggir jalan, yang tak jauh dari tambak garam miliknya. 

Dangau sederhana dengan luas sekitar 4×4 meter itu, beratapkan rumbia dan berdindingkan beberapa bilah papan. Sengaja dibangun di pinggir jalan, untuk memudahkan penjemputan oleh pengepul yang datang membeli hasil panen garamnya. Oleh pengepul, garam-garam miliknya biasa dihargai dengan 50 ribu rupiah hingga 150 ribu rupiah setiap karungnya.

“Harga garam tidak menentu,” keluh Ruslan.

Jika stok sedang banyak seperti sekarang, garam-garam miliknya dihargai 50 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah setiap karungnya. 

“Harga garam baru akan naik setelah musim penghujan,” katanya lagi. 

Karena stok garam yang kurang saat musim penghujan, pengepul biasanya memberi harga yang tinggi untuk setiap karung garam miliknya. Tetapi, menurut Ruslan, tidak mudah untuk memproduksi garam pada saat-saat seperti itu. Alasannya, jika air garam yang diendapkan akan rusak jika bercampur dengan air hujan.

“Kalaupun garamnya jadi, kualitasnya akan turun. Warnanya akan berubah putih kemerahan atau putih kecoklatan. Tidak putih bersih seperti yang dihasilkan sekarang,” ujarnya.

Hal tersebut membuat garam-garam yang diproduksi tidak bisa dikirimkan ke luar daerah dan hanya beredar di sekitar desa saja, dengan harga kurang dari 50 ribu rupiah per karungnya. Biasanya dia menjual kepada para penambak, untuk digunakan sebagai bahan campuran es.

“Untungnya memproduksi garam tidak membutuhkan biaya yang banyak,” tuturnya.

Dalam sekali produksi misalnya, dia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar mesin pompa air sebanyak satu atau dua liter dan konsumsi untuk pekerja yang mengeruk tambak garam miliknya. Meskipun begitu, Ruslan mengaku mengeluarkan biaya awal sebesar empat puluh juta rupiah, sebagai modal awal untuk membeli tambak garam yang dikelolanya sekarang.

“Tetapi, modal itu telah kembali dalam beberapa bulan saja, sepanjang kemarau panjang yang berlangsung tahun ini,” katanya dengan nada lega.

Ruslan juga membandingkan antara mengolah tambak garam dan mengolah tambak udang atau bandeng. Menurutnya, mengolah tambak udang dan bandeng membutuhkan biaya besar. Mulai dari membuat pematang, membeli pupuk dan pestisida hingga menyediakan bibit udang dan bandeng membutuhkan uang dalam jumlah banyak.

Selain itu, bertambak udang dan bandeng resikonya cukup besar. Terkadang saat pemeliharaan berlangsung dan perubahan musim yang tidak menentu, ikan atau udang yang ada di tambak akan mati. 

“Petani tambak di sini sudah pernah merasakan itu, karena itu saya memilih untuk bertani garam saja,” tutupnya.

Garam dan Awal Mula Alih Fungsi

Tambak garam yang dikelola Ruslan tersebut, terletak di Dusun Simanagi, Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Sampai saat ini, desa itu memang dikenal sebagai sentra penghasil garam terbesar yang ada di Kabupaten Pohuwato. Pada tahun 2018 saja, dari catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pohuwato, terdapat 1.405.250 kilogram garam kasar yang di produksi di desa itu. Meningkat di tahun 2019, menjadi 2.365.500 kilogram. 

Sementara untuk produksi garam tahun 2019 di Kabupaten Pohuwato mencapai 2.435.500 kilogram. Atau sebesar 97 % garam kasar yang diproduksi di Kabupaten Pohuwato, berasal dari Desa Siduwonge.

Penyuluh perikanan, Alfiah, mengatakan jika hasil produksi garam itu, sebagian dipasarkan ke Kabupaten Boalemo, Kota Gorontalo dan Kota Bitung, Sulawesi Utara. 

“Pemasarannya tidak menentu dan beberapa diantaranya tidak tercatat,” ujarnya.

***

Wajah hutan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang yang sebagian besar hilan akibat alih fungsi. Foto: Renal Husa.

Banyak yang menyebut tambak garam di Desa Siduwonge telah ada sejak tahun 1976, tetapi produksi garam di tempat itu terhenti di tahun 1977. Imbas dari implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 110/Men.Kes/Per/XI/76 tentang yodisasi garam konsumsi yang mulai dikampanyekan. Pemerintah pun menerapkan peraturan, tentang garam yang beredar harus beryodium dan berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) atau Standar Industri Indonesia.

“Akibatnya produksi garam terhenti, karena petani tidak memiliki cukup modal untuk mengolah garam yang beryodium,” ungkap Yunus. 

Kemarau panjang yang melanda selama hampir 12 bulan pada tahun 1982 di tempat itu, membuat daratan yang ada di pesisir Desa Motolohu (saat ini Desa Siduwonge) mengering dan mengeristal. 

Bahkan danau Siduwonge Daa dan Danau Siduwonge Kiki yang ada di desa itu surut dan meninggalkan kadar garam yang cukup tinggi.

“Bahkan kayu yang dijatuhkan di danau itu, jika diangkat akan menempel kristal garam,” ungkap Yunus Iyone (68), saat ditemui di rumahnya, Jumat 28 Februari 2020.

Yunus adalah tokoh masyarakat yang pernah menjabat sebagai pemerintah desa dari tahun 1970-an hingga tahun 1990-an. Dia melanjutkan, jika beberapa nelayan mengumpulkan garam-garam itu dan membawanya ke rumah untuk dikonsumsi.

Beberapa orang dan pengusaha melihat peluang industri garam di tempat itu. Pada tahun itu mereka mulai membuka tambak garam, dengan membuat parit-parit tambak dan meja-meja garam agar lebih mudah saat melakukan pemanenan garam. Semua itu mereka kerjakan secara manual.

Setelah itu, lanjut Yunus, pada bulan Mei tahun 1986, kelompok usaha garam rakyat yang beranggotakan 30 orang menyurati Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Gorontalo. Dalam surat itu mereka bermohon penguasaan lahan untuk pembangunan tambak garam rakyat di Desa Motolohu, Kecamatan Marisa (saat ini Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan). Dalam suratnya, mereka mengusulkan 150 hektare tanah untuk dijadikan tambak garam dan masing-masing anggota kelompok akan menguasai 5 hektare lahan garapan untuk tambak garam.

Awal bulan Desember tahun 1987, kelompok tersebut menerima surat balasan dengan Nomor 530/278/Ekon/87 tentang realisasi pembangunan tambak garam dan akan mengirimkan tim untuk melakukan peninjauan. Sejak saat itu pemerintah mulai menyoroti industri garam yang ada di Desa Siduwonge.

“Mereka mulai memberikan beragam bantuan, berupa alat untuk yodisasi garam dan penguatan kapasitas untuk menunjang produksi garam di tempat ini,” kata Yunus.

Bahkan pada tahun 2002 dan 2017-2018 dibangun gudang garam ditempat itu, untuk menyimpan garam-garam hasil panen milik petani.

“Tetapi gudang garam itu belum diresmikan hingga saat ini,” ujar Yunus.

Upaya pemerintah untuk mengembangkan industri garam di tempat itu sia-sia. Karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Faktor lainnya harga garam yang tidak menentu.

Melihat hal itu, sekitar tahun 1990-an, salah satu pengusaha mengajak warga Sulawesi Selatan yang dikenal mahir dalam mengolah garam dan meminta mereka untuk mengolah tambak garam di tempat itu.

“Pengusaha itu berhasil mengajak orang yang berasal dari Ujung Pandang (sebutan lama untuk Makassar), untuk mengelola tambak garam dan akan menjadi contoh untuk warga,” lanjutnya. 

Sejak saat itulah, pelan-pelan warga dari selatan yang diajak pengusaha itu melihat ada potensi lain selain tambak garam, yaitu tambak udang dan ikan bandeng. Sekitar tahun 1990-an, seorang bernama Haji Anwar membeli 20 hektare lahan dari warga lokal untuk dijadikan percobaan tambak ikan dan udang. Percobaan yang dilakukannya pun berhasil dan beroleh banyak rupiah. 

“Sejak saat itu, sudah mulai banyak warga Sulawesi Selatan yang datang untuk bertambak di desa ini (Desa Siduwonge),” kata Yunus.

Menurut Yunus, orang-orang yang datang tersebut masih merupakan kerabat dari Haji Anwar. Mereka mulai membeli lahan dari warga lokal yang akan dijadikan tambak ikan dan udang. Belakangan Haji Anwar menjadi pemilik tambak terbesar di Desa Siduwonge.

“Setiap hektare tanah, biasanya dihargai 500 ribu rupiah hingga 5 juta rupiah oleh mereka,” katanya.

Harga tanah yang dipatok, lanjut Yunus, tergantung pada kesiapan lahan yang akan dikelola. Jika lahannya hanya sebatas rintisan, harganya hanya berada pada kisaran 500 ribu rupiah – 1 juta rupiah. Jika telah memiliki pematang, harganya berada pada kisaran 1 juta rupiah – 5 juta rupiah.

“Belakangan harga tambak di sini berkisar puluhan hingga ratusan juta setiap petaknya,” ujar Yunus. 

***

Ikan bandeng yang diproduksi dari tambak yang bereda dalam kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Renal Husa.

Selain garam, Desa Siduwonge juga adalah salah satu penghasil ikan dan udang yang ada di Kabupaten Pohuwato. Pada tahun 2019 saja, Alfiah mencatat ada 93,55 ton udang vaname dan 669,18 ton ikan bandeng yang diproduksi di desa itu.

“Jumlah itu hanya dari kelompok binaan saya saja, dari enam kelompok yang terdiri dari 72 penambak,” ujar Alfiah melalui pesan singkat whatsapp, 20 Januari 2020.

Selain penghasil garam, Desa Siduwonge juga dikenal dengan luasan tambaknya. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XV Gorontalo mencatat, dari 2.721,80 hektare luas desanya, 1.592,32 hektare di desa itu merupakan kawasan tambak. 

Di sisi lain Desa Siduwonge masuk pada kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang (CATP). Hutan Konservasi yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Nomor 9612 MENLHK-PKTL/KUH/2015 tersebut, memiliki luasan 3.174,10 hektare dan tersebar di beberapa desa yang ada di Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Terbesar terdapat di Desa Siduwonge, dengan luasan 1.167.1 hektare. Sisanya tersebar di Desa Patuhu dan Desa Palambane. Kondisi CATP pun kini sedang kritis, hanya tersisa beberapa deratan mangrove yang dijumpai di sana. 

Dari hasil pengolahan citra satelit oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Per tahun 2019, telah terdapat bukaan lahan sebesar 93,31% yang ada di kawasan CATP.

Bukaan lahan yang ada di sana sebagian besar disumbang oleh tambak udang dan ikan oleh warga. Tambak garam sendiri, menjadi cerita awal tentang alih fungsi hutan konservasi yang ada disana. 

Sementara Cagar Alam adalah wilayah konservasi tertinggi yang diatur dalam undang-undang. Seperti yang terpatri dalam UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem. Dalam undang-undang itu dijelaskan, jika aktivitas pada cagar alam hanya terbatas pada penelitian, pendidikan dan wisata terbatas serta kegiatan lainnya yang menunjang budidaya (konservasi).

Namun sayangnya, kondisi di lapangan bertolak belakang dengan semangat undang-undang tersebut. Wajah Cagar Alam Tanjung Panjang justru semakin buruk karena rupa alih fungsi yang masif terjadi di tempat itu.***

(Bersambung)

Related posts

Minimnya Peran Disabilitas pada Pemilu di Gorontalo

Admin

Kisah Waria di Gorontalo Melawan Corona

Defri

Panah Wayer dan Anomali Kenakalan Remaja

Admin

1 comment

Kisah Tambak Garam di Cagar Alam Tanjung Panjang [Bagian 1] - March 24, 2020 at 6:09 pm

[…] Kisah Tambak Garam di Cagar Alam Tanjung Panjang [Bagian 1] […]

Reply

Leave a Comment