Oleh: Defri Sofyan
Sore itu saya sedikit kesal karena harus menunggu lama Vania yang beralasan masih melayani tamu. Saya sendiri tak tahu siapa tamunya itu, apakah pelanggan atau seseorang dengan maksud tertentu, seperti petugas survei atau penjual obat. Sebab saya sudah bosan terlalu lama menunggunya di luar. Ketika saya sudah tak tahan ingin buang hajat kecil, saya nekat masuk dan menginterupsi dengan maksud meminjam toilet. Barulah saya bisa melihat siapa tamunya yang membuat wawancara saya harus tertunda sejaman lebih itu. Mereka ternyata “hanyalah” ibu-ibu komplek yang datang untuk sekedar bergunjing dengan Vania.
***
Vania bukanlah teman sebaya para ibu-ibu tadi, dia masih muda dan bukan wanita, melainkan waria atau transpuan. Tetapi perbedaan di antara mereka itu seperti tak berarti bagi ibu-ibu yang mengunjunginya hampir tiap hari untuk sekadar bergunjing.
Vania juga bukanlah perantau yang tinggal indekos, membuat salon kecantikan, lalu mendapat teman-teman baru di sekitar lingkungannya. Salon miliknya dibangun tidak terpisah dengan rumah keluarganya, rumah yang sejak kecil dia tinggali. Ibu-ibu tadi juga mungkin orang-orang dewasa yang tadinya memperhatikan bagaimana Vania kecil tumbuh menjadi dewasa dan menjadi teman mereka.
Sesekali saat saya menunggu di depan salon Vania, orang-orang lalu lalang di atas motor berteriak memanggil nama Vania. Vania memang cukup populer di lingkungan tempat tinggalnya.
Sementara itu, saat saya mewawancarai Vania di dalam salonnya, saudara lelakinya yang dewasa berulang kali memotong wawancara untuk sekadar menyampaikan sebuah informasi keluarga lalu menunggu tanggapan Vania. Vania sekadar saja menanggapinya. Tak berapa lama, ibunya datang menanyakan di mana kunci mobil, karena ibunya akan membeli ikan di pasar.
Sebelum wawancara dimulai, Vania meminta kepada saya untuk menunggu beberapa menit lagi karena dia akan melaksanakan salat magrib.
Belum lama saya bersama Vania, saya mendapat kesan awal dia cukup terterima bahkan berpengaruh di lingkungan tempat tinggalnya itu, baik keluarga maupun para tetangga. Kondisi ini cukup luar biasa jika dibandingkan dengan umumnya kondisi para waria di Indonesia yang hidup dalam keterasingan. Seperti yang disebutkan dalam Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup sebagai LGBT di Asia yang diterbitkan oleh USAID 2014 silam, bahwa waria di Indonesia pada umumnya walaupun terterima dalam pergaulan tapi belum tentu terterima oleh orang tua, keluarga dan tetangga.
“Waria itu kan memang di mata masyarakat negatif, sering kena bully, karena laki-laki tapi bergaya seperti perempuan. Tapi saya sendiri tampakkan di lingkungan saya, bahwa saya bisa menjadi waria yang bermanfaat, terutama kepada keluarga inti saya dulu. Sekarang saya merasa terterima di keluarga maupun lingkungan sekitar. Rambut panjang atau pendek it’s fine,” ujar Vania.
Perjalanan Vania sampai terterima memang panjang. Dia menceritakan bagaimana bisa sampai di titik sekarang. Sejak lulus kuliah di Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Negeri Gorontalo pada 2011 dia bekerja di beberapa bank swasta, merasa tidak cocok bekerja di bank dan karena mempunyai sedikit keterampilan tata rias, dia lalu bekerja di salon-salon.
“Awalnya karena saya punya dasar pencatatan keuangan, saya disuruh bekerja di pembukuan salon, pernah juga cuci-cuci rambut, jasa peminjaman baju-baju pengantin. Pokoknya banyak yang saya kerja. Tapi saya berpikir, masa seperti ini terus? Untungnya sementara bekerja saya menabung, dari situ modal saya terkumpul.”
Tahun 2015 dia mendirikan salonnya sendiri, dan secara bertahap membuat satu set puade (atribut perkawinan Gorontalo) untuk disewakan, beragam baju pengantin, aksesoris pesta serta lengkap dengan jasa dokumentasi pesta perkawinan. Sehingga bisa menjadi satu paket pada sebuah pesta perkawinan. Harga satu paket perkawinan Vania ini mencapai 20 juta rupiah. Sementara dalam kondisi normal, ada empat sampai lima pesta dalam dua minggu yang menyewa usaha Vania.
Usahanya itu tidak hanya dinikmati sendiri olehnya, Vania turut mempekerjakan orang lain yang juga tidak hanya sesama waria. Ada 10 orang yang menjadi “karyawan” pada usaha Vania. Dua orang pekerja salon, lima orang untuk dekorasi pengantin, dan penata rias tiga orang. Selain para karyawan yang menjadi pekerja tetap usahanya itu, dia juga sering menyewa pekerja lepas untuk melengkapi urusan perpestaan yang menjadi usahanya itu.
Khanis Suvianita, seorang peneliti waria dan agama di kawasan Indonesia Timur, mendapat kesan serupa saat menyambangi Gorontalo pada tahun 2019 untuk melakukan observasi dan wawancara guna penelitiannya tentang kondisi waria di Indonesia Timur. Menurut Khanis, kondisi waria di Gorontalo, cenderung terterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Berbeda dengan kondisi waria yang ada di Pulau Jawa dan Indonesia bagian barat pada umumnya, yang mendapat penolakan secara masif oleh masyarakat sehigga mempersempit kesempatan mereka untuk berdiri sebagai individu yang merdeka.
“Waria di Gorontalo itu terterima, kalau tidak terterima bagaimana mungkin orang-orang datang ke salon-salon mereka? Itu satu. Kedua, sebenarnya kan dia (LGBT) tidak menjadi satu isu yang mengganggu, yah. Sampai tahun 2016 ketika isu LGBT itu diributkan oleh kelompok menengah dan kelompok agama tertentu yang menganggap bahwa LGBT sebagai serangan terhadap keluarga Indonesia,” kata Khanis menjelaskan.
Tahun 2016 yang dimaksud Khanis adalah saat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyatakan melarang keberadaan LGBT di semua kampus yang ada di Indonesia. Sejak itu kemudian topik LGBT ramai diperbincangkan publik, banyak di antaranya yang hanya berbekal ketidaktahuan dan prasangka buruk. Kelompok LGBT jarang diundang untuk duduk bersama dan berdiskusi dengan posisi yang setara.
Kisah Vania yang terterima oleh keluarga dan lingkungan sekitar memang umum dialami oleh banyak waria lainnya di Gorontalo. Seperti Vania, beberapa orang waria “beruntung” secara ekonomi, usaha mereka mampu membiayai kehidupan pribadi dan keluarga mereka. Tak jarang kita akan menemukan waria yang menjadi tulang punggung keluarga.
Adapun beberapa kasus yang diketahui oleh masyarakat Gorontalo tentang perundungan yang dialami waria di Gorontalo, menurut Khanis tidak secara signifikan mempengaruhi kondisi harmonis yang telah tercipta.
***

Menghadapi Pandemi
Lantas bagaimana kondisi waria di Gorontalo saat pandemi mulai masuk April 2020 kemarin?
“Saya ingat sekali itu dua minggu sebelum puasa sudah tidak boleh sama sekali membuat pesta. Padahal beberapa tahun lalu berturut-turut itu, sampai dua hari sebelum puasa pasti masih ada pesta. Saya juga masih ingat dua minggu sebelum puasa memang sudah tidak ada pesta, padahal seharusnya masih ada beberapa pesta yang harus saya tangani. Tepaksa semuanya cancel,” keluh Vania.
Memasuki bulan puasa memang pada kondisi normal pesta sudah jarang ada. Biasanya mereka akan berharap pendapatan di salon, karena gunting rambut biasanya ramai selama puasa. Tapi sekali lagi, pandemi membatalkan harapan itu. Tidak ada yang berani menggunting rambut di salon walaupun tidak ada larangan khusus dari pemerintah untuk menunda gunting rambut di salon, selama mematuhi protokol kesehatan.
Jika dihitung, ada sekira seratus juta rupiah yang batal diterima Vania bersama 10 orang karyawannya. Dua minggu sebelum puasa, selama puasa, dan beberapa bulan setelahnya tak ada sama sekali pesta yang bisa mereka garap.
“Saya tidak bilang itu kerugian, karena memang sudah seperti itu. Rugi itu kalau dalam kondisi normal kemudian ada masalah. Saya juga tidak menyalahkan pemerintah (karena pembatasan-pembatasan), Tuhan pun kan tidak mungkin disalahkan, jadi saya menerima takdir saja,” kata Vania.
Namun Vania tidak berpangku tangan begitu saja sembari berharap pandemi akan segera berakhir. Selama puasa dia menjual beragam kue dan minuman yang dijajakan di gerobak kecil depan rumahnya, selain itu juga mempromosikannya lewat akun media sosialnya.
“Saya jual pancake buat buka puasa, minuman parsel dan kue kering untuk hari raya. Saya promosikan lewat Instagram dengan packaging kekinian, hasilnya seperti yang ada di Jakarta sana,” katanya sambil tertawa.
“Selain itu saya juga menjual tili aya (makanan khas Gorontalo). Kemarin juga kan ramai orang-orang cari jahe merah, itu juga saya jual. Tapi pokoknya saya akan percantik packaging-nya”
Vania menuturkan, dia memang tipe orang yang perfeksionis saat memulai sebuah usaha. Produk yang diunggahnya di Instagram itu dia harus menyewa fotografer dulu, soal kemasan dia mempercayai kreativitasnya yang dia nilai sendiri sudah cukup bagus.
Hasil jualan itu bagi Vania sudah bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari walaupun memang tidak sebanyak ketika usaha pestanya laris saat sebelum pandemi datang.
“Waria itu kan memang imajinasinya tinggi, cuma hanya bagaimana imajinasinya itu bisa selaras dengan tindakan yang dia buat,” kata Vania menjelaskan kenapa dia dan banyak waria berbakat di bidang tata menatai sesuatu dan kenapa seharusnya bakat itu tidak disia-siakan terlebih pada masa krisis seperti sekarang.
Apa yang dikatakan Vania juga sekali lagi senada dengan apa yang dilihat Khanis dari waria pada umumnya. Khanis melihat waria punya keterampilan yang mirip dengan keterampilan perempuan pada umumnya, seperti memasak dan tata menatai.
“Sebenarnya waria itu kan punya beberapa keterampilan yang agak mirip dengan perempuan gitu, misalnya jago masak, kemudian … femininity-lah. Saya pikir yang bisa dilakukan waria (pada masa pandemi) salah satunya mungkin jasa salon panggilan gitu lewat online karena orang bisa merasa aman jika didatangi di rumahnya langsung. Kedua mungkin bisa makanan bagi yang jago masak lalu dijual lewat online dengan menu harian yang berbeda biar orang tidak bosan.
***

Tantangan yang Tersisa
Vania mungkin menjadi contoh sukses bagaimana waria di Gorontalo beradaptasi selama pandemi Covid-19 ini. Tapi tentu mungkin ada juga contoh lain yang tidak sebagus kisah Vania. Karena memang tidak semua waria di Gorontalo mempunyai salon atau usaha puade seperti yang dimiliki Vania.
Binte Pelangi Hulontalo (BPH), komunitas LGBT di Gorontalo, mencatat ada 841 orang dengan identitas gender berbeda yang tersebar di lima kabupaten dan satu kota di Provinsi Gorontalo. Ditambah dengan yang tidak tercatat. Ada begitu banyak individu tapi tidak ada yang bisa menjamin mereka dengan kondisi yang baik saat ini.
Melki Hardi, Ketua BPG, menuturkan BPG bersama beberapa organisasi lainnya yang tergabung dalam Posko Masyarakat Sipil Lawan Covid-19 Gorontalo telah melakukan beberapa usaha untuk memberikan bantuan kepada waria, gay dan orang dengan identitas gender berbeda lainnya yang sedang kesulitan akibat pandemi namun susah mendapatkan bantuan.
“Kami memilih berdasarkan kondisi mereka, hanya punya salon kecil lalu karena pandemi salon mereka selama sebulan hanya mendapat satu pelanggan, bahkan kadang tidak ada sama sekali. Bantuan yang kami berikan pun hanya sembako, alat kesehatan dan sedikit uang tunai,” kata Melki.
Sementara itu menurut Khanis proses adaptasi yang dilakukan waria akan semakin sulit dilakukan jika waria masih dipandang sebagai sebuah identitas yang bermasalah alih-alih identitas yang sama saja dengan identitas gender lainnya.
“Di beberapa daerah ada yang mengatakan Covid-19 ini gara-gara LGBT, mereka menjadi kambing hitam. Kegilaan-kegilaan itu terjadi karena kebencian. Kemudian diskriminasi bisa saja terjadi misalnya dari Depsos (Dinas sosial), mereka tidak melihat waria sebagai sebuah identitas tersendiri yang perlu menerima bantuan, karena dia tidak diakui sebagai identitas yang biasa-biasa saja tetapi dia diakui sebagai identitas yang bermasalah, itu kan Permensos Nomor 8 Tahun 2012 masih membuat kategori itu kepada waria,” kata Khanis.
Permensos Nomor 8 Tahun 2012 itu adalah tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Dalam pasal 14 waria bersama gay dan lesbian dikategorikan sebagai kelompok minoritas yang memiliki kriteria gangguan keberfungsian sosial, diskriminasi, marginalisasi dan berperilaku seks menyimpang.
Usaha Vania dan banyak waria lainnya sampai mereka terterima oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya menjadi contoh kegigihan yang susah dicari tandingannya. Begitupun dengan keluarga, tetangga dan orang-orang yang memandang waria semata karena mereka berbeda. Namun, saat ini masih saja banyak orang dan bahkan negara masih memandang waria dan identitas gender berbeda lainnya sebagai sebuah bentuk penyimpangan seksual.
“Ada semacam ketidakmengertian terkait dengan LGBT, persepsi yang buruk, praduga yang buruk, lalu semuanya disamaratakan. Kalau kita pergi menanyakan ke teman-teman waria, apakah orang-orang di kampung memusuhinya? Jelas tidak. Apakah teman-teman waria beribadah? Ya, beribadah. Apakah teman-teman waria mengikuti tradisi-tradisi yang ada? Lah, iya mereka mengikutinya,” kata Khanis.***
2 comments