lipunaratif.com
Image default
Stories

Melintasi Gorontalo-Buol, Membayangkan Amerika-Meksiko

Penulis: Muamar Afdillah

Mobil berhenti tepat di depan Rumah Makan Saronde. Lokasinya persis membelakangi Pulau Diyonumo, destinasi baru bagi para pemburu status tempat-tempat indah di media sosial. Malam itu, waktu menunjukkan pukul 21.45 Wita. Suara ombak terdengar pelan mencumbu pesisir pantai. Akhirnya, perut saya yang dilanda kelaparan mendapatkan solusinya. Di rumah makan ini, pengunjung yang datang melayani diri sendiri. 

“Rumah makan ini milik ibu Popi. Saya hanya bekerja di sini,” kata seorang ibu paruh baya yang datang melayani.

Karena makanan sudah agak dingin, perempuan itu menyanggupi permintaan salah seorang dari kami untuk menggoreng ikan karang segar tiga penggal. Saya memang tak sendirian. Dalam perjalanan ini, saya menemani Christopel Paino, jurnalis lingkungan yang bekerja untuk Mongabay Indonesia, dan juga Sahabudin. Nama terakhir, biasa disapa Pipi. Ia adalah orang dibalik setir mobil yang dengan cekatan menancap pedal mobil bermesin 1300 CC melewati tanjakan dan tikungan tajam, hingga akhirnya kami beristirahat di Desa Deme II Kecamatan Sumalata Timur.

Saya melahap nasi, kangkung, dan ikan goreng itu hingga menambah seporsi piring nasi lagi. Usai makan, kami beristirahat sebentar. Angin laut berhembus seperti mengajak tidur. Setelah kekenyangan, tempat ini bisa saja membius kami untuk bermalas-malasan. Sisi lain dari meja makan ini tepat menghadap penampakan Pulau Diyonumo. Di sebelahnya, sebuah bilik bersifat fungsional; jadi tempat istirahat para sopir dan secara tiba-tiba bisa berubah menjadi musholah.

“Sejak kapan Rumah Makan Saronde ini ada, bu?” tanya saya. 

So lama. Sebelum rumah makan menjamur di Sumalata, rumah makan ini termasuk yang paling awal merintis,” jawab perempuan itu, sembari menyebut satu persatu nama rumah makan yang ia ingat. 

Setelah itu, pertanyaan berlanjut ke apa saja nama-nama kampung yang akan kami lewati setelah Desa Deme II nanti. Perempuan itu dengan cepat menyebut nama-nama kampung di utara Gorontalo, sesuai dengan ingatannya. 

“Kira-kira, berapa jam lagi perjalanan ke Buol, bu?” 

“Wihh. Masih lama!”  

***

Tujuannya kami sebenarnya adalah salah satu desa di Kabupaten Toli-Toli. Di sana, saya menemani Christopel Paino yang akan menulis mengenai maleo, burung endemik Sulawesi yang terancam punah. Namun untuk memudahkan pencarian di peta, titik koordinat yang menjadi acuan adalah Kota Buol. Dari situlah akan dengan mudah menentukan jarak ke desa tujuan di Toli-Toli. 

Malam terus merangkak. Kami segera meninggalkan Rumah Makan Saronde. Pipi kembali dengan semangat menancap pedal. Secara bergantian, lagu-lagu Ambon hingga pop Indonesia 90-an dari Katon Bagaskara, menjadi teman perjalanan sekaligus mengisi kekosongan percakapan dalam mobil. Jalanan kembali mengular. Beruntung aspalnya mulus. Pemandangan di sebelah kiri lebih banyak bukit dan pemukiman. Para penghuninya seperti sedang dibuai oleh mimpinya masing-masing. Di sebelah kanan, lautan menampakkan lampu-lampu dari perahu nelayan, seperti sebuah cahaya yang menerangi lorong yang sunyi. 

Hampir separuh perjalanan kami lalui, hingga akhirnya roda mobil memasuki pintu perbatasan di Tolinggula; batas antara wilayah Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Tak ada penjagaan ketat. Hanya gapura berdiri, sebuah pos jaga, dan portal yang melintang. Satu tahun sebelumnya, di tempat ini, terjadi ketegangan. Pangkalnya tak lain soal perbatasan. Masing-masing daerah,-Pemerintah Gorontalo Utara dan Pemerintah Buol, mempunyai cara pandang tersendiri dalam melihat perbatasan.

Ketegangan itu begitu nampak ketika ratusan warga dari wilayah Tolinggula berunjuk rasa di batas kedua daerah. Mereka membakar ban, berorasi, menuntut tim verifikasi tapal batas Kementerian Dalam Negeri; menolak perubahan tapal batas yang dianggap menguntungkan Kabupaten Buol. Sementara di seberangnya, Pemerintah Buol menganggap wilayah yang sebenarnya harus mengikuti batas alam, yaitu sisi sungai Tolinggula, yang sebelumnya berada di urat gunung di Desa Wumu, Kecamatan Palele. 

Jika mengikuti tapal batas yang disarankan oleh Pemerintah Buol, maka artinya 10 desa yang secara administrasi berada di Kecamatan Tolinggula, Gorontalo Utara, akan berpindah administrasinya ke Pemerintahan Kabupaten Buol. Di sinilah ketegangan perbatasan itu berpangkal.

“Sepanjang jalan di Tolinggula sampai perbatasan aspalnya mulus. Ketika masuk ke wilayah Buol, jalan langsung jelek sekali,” tiba-tiba Pipi berseru. 

Jalanan kembali sepi. Lebih sepi dari kampung-kampung yang kami lewati sepanjang Gorontalo Utara. Pemukimannya pun tampak lebih renggang. Bahkan sebagian besar tak ada lampunya. Barangkali listrik belum masuk ke tempat ini. Juga berbukit, dan beberapa titik ada tanda bekas longsor. Plang rambu lalu lintas pun sebagiannya tertutup oleh rimbunan daun dan rumput liar. Sepertinya, petugas dari Dinas Perhubungan jarang hadir di tempat ini. 

“Kalau dilihat, rumah-rumah warga di daerah ini sepertinya banyak orang susah,” Pipi kembali memberikan komentarnya. 

Analisis awal dari Pipi itu mengingatkan saya pada konflik perbatasan antara Amerika dan Meksiko yang biasa saya nonton pada film-film produksi Hollywood. Mungkin pengandaian ini terlalu berlebihan, atau analogi tepatnya seperti mudah melihat semut di seberang lautan dari pada melihat gajah yang nampak di depan hidung. Namun saya harus akui justru imajinasi tentang perbatasan Amerika dan Meksiko-lah yang banyak menjadi asupan informasi di kepala saya ketimbang daerah lain di Indonesia.    

Dalam batas kedua negara itu, kemiskinan orang-orang Meksiko selalu dianggap sebagai biang masalah bagi tingginya angka kriminal di Amerika. Dimana imigran-imigran dari Meksiko berupaya untuk menyebrang masuk ke negara adikuasa itu demi merajut mimpi kesejahteraan. Pemerintah Amerika menuding, perdagangan obat-obatan terlarang seperti kokain dimainkan oleh kartel-kartel yang berasal dari Meksiko itu ikut diselundupkan bersama imigran-imigran yang akan masuk ke Amerika. 

Untuk mengatasi masalah tersebut, oleh Donald Trump, Presiden Amerika, ia tetap setia pada janji kampanyenya untuk membangun tembok di selatan Amerika yang berbatasan dengan Meksiko itu dari uang pajak rakyatnya. Dalam tahap awal, Trump berniat membangun tembok sepanjang 1.609 km. Banyak yang beranggapan bahwa pembangunan tembok itu sebagai tindakan yang tidak bermoral. Dan seperti watak Trump selama ini, ia beranggapan lain bahwa pembangunan tembok itu bukan karena dirinya benci kepada orang luar, tapi karena cinta kepada orang-orang yang ada di dalam.   

Di Gorontalo, kasus peredaran obat-obatan terlarang atau narkoba meningkat setiap tahun. Gorontalo disebut-sebut sebagai salah satu daerah zona merah dalam peredaran narkoba. Dari mana narkoba itu berasal? Petugas Kepolisian dari Polres Gorontalo menyebut, hampir 100 persen narkoba yang beredar di Gorontalo berasal dari Sulawesi Tengah. Dan pintu masuknya, tentu saja lewat perbatasan. 

***

Kurang lebih lima jam lamanya mobil membawa kami. Tubuh terasa pegal. Dan Pipi nampak menahan kantuk. Matanya seperti memiliki kantung. Kami lalu bersepakat mencari tempat istirahat. Jarum jam menunjuk angka 01.53 dini hari. Pada sebuah tikungan kecil, usai menurun bukit dengan jalanan yang bolong, mobil berlabuh di depan Rumah Makan Airlangga Boulevard. 

“Daerah apa ini?” tanya Chris. 

“Kita sekarang berada di Kecamatan Palele Barat,” jawab saya sembari menunjuk plang rumah makan yang bertuliskan alamatnya. 

Rumah makan itu sudah tutup. Di seberang jalan nampak pemandangan laut lepas di malam hari. Di sampingnya terdapat kios. Pada halaman kios itu, 5-6 orang pengendara motor yang tak tahan kantuk juga sedang beristirahat. Mereka asyik terlelap sampai-sampai tak mengetahui kedatangan kami. Tiba-tiba suara tangisan anak kecil terdengar. Sempat terpikir kalau-kalau ini adalah tempat horor. Mengerikan. Namun jika terlalu dini mengambil kesimpulan juga adalah sebuah kekeliruan. Ternyata suara tangisan anak itu berasal dari dalam kamar di rumah makan itu. 

Tempat istirahat di Kecamatan Palele Barat saat tengah malam. Foto: Muamar Afdillah.

Kami segera istirahat meski hanya sekedar memejamkan mata. Masing-masing mencari tempat terbaik; meluruskan kaki pada papan yang membujur dekat aspal. Pipi mendapatkan sebuah gubuk kecil berukuran 2X2 meter dengan berbantalkan sleeping bag. Ia langsung rebah ditemani suara ombak yang hanya beberapa langkah dari tempatnya.

Tapi sial. Saat mata hendak meredup, tiba-tiba suara aneh datang dari perut saya. Mules. Bisa jadi penyebabnya karena terlalu bersemangat melahap makanan tadi di Rumah Makan Saronde hingga dua piring banyaknya. Saya berharap toilet Airlangga Boulevard ini berada di luar agar mudah diakses. Sayang, harapan saya pupus. Perut kembali meronta. Isi yang ada didalamnya ingin segera keluar. Dalam keadaan terjepit itu, suara ombak seolah memanggil saya. Dengan cepat saya segara menyahutinya, dan membuang hajat di toilet terbesar dan terpanjang selama perjalanan kami malam itu. 

Lega. Akhirnya saya bisa tidur menyusul dua rekan saya yang sudah terlelap duluan dalam buaian angin malam dan suara ombak. Pukul 05.39, kami terjaga. Di kaki langit mulai nampak garis terangnya. Semuanya sudah bersiap. Kami langsung bertolak meninggalkan Rumah Makan Airlangga Boulevard di Palele Barat. Jalanan terus meliuk. Matahari pagi perlahan-lahan muncul. Pantai dan lautan yang membiru memperlihatkan keasliannya. Saya membuka kaca mobil memperhatikan manusia-manusia yang mulai beraktifitas di pagi hari. Anak-anak berjalan kaki ke sekolah, dan orang-orang dewasa menjemur cengkeh di kiri dan kanan jalan. 

Pukul 09.25 pagi. Setelah melintasi jembatan dengan rangka besi, kami akhirnya tiba di Biau, pusat kota Kabupaten Buol. Nama Biau mirip dengan kampung yang kami lewati setelah Kecamatan Sumalata, dekat dengan Tolinggula, di perbatasan. Bentor nampak sibuk lalu lalang mengantarkan penumpang. Toko-toko satu persatu mulai membuka pintunya. Dan Pipi melambatkan laju mobilnya. 

Kami lalu memutuskan untuk sarapan pagi dan mencari nasi kuning. Nasi kuning di sini ternyata berbeda dengan Gorontalo. Mereka mencampurnya dengan mie goreng dan juga sayur. Lalu kami ditawari apakah memakai daging sapi, ayam goreng, atau ikan tude.  

“Dari sini hanya dua jam ke lokasi yang bapak tuju.” 

Disela-sela menyantap nasi kuning, perempuan pemilik rumah makan nasi kuning itu menjawab pertanyaan kami tentang desa yang menjadi tujuan akhir. Ketika dipastikan di google map, durasinya memang hampir dua jam. Usai membayar makanan, kami bersegera pergi. Aktifitas pagi di pusat Kota Buol mulai berjalan. 

Plang papan informasi di jalan yang bergambar rusa. Foto: Sahabudin.

Matahari semakin meninggi. Pipi kembali menancap pedal mobil, melaju meninggalkan jalanan Kota Buol. Perkampungan pesisir dan berbukit perlahan berganti dengan hijaunya pepohonan. Bus-bus antar kabupaten hilir mudik hingga membuat mata saya menjadi ngantuk. Saya tertidur. Dan baru sadar ketika mobil berkelok-kelok. Lalu kami mulai memasuki kawasan berbukit yang juga dipenuhi rerimbunan pohon. Tempat ini adalah Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, sebuah kawasan konservasi di Kabupaten Toli-Toli. 

Sebelum melintasi punggung Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, mata kami tertuju pada sebuah plang rambu lalu lintas. Gambarnya terbilang di luar kebiasaan. Bukan tentang tanda larangan atau petunjuk arah jalan. Melainkan sebuah gambar rusa yang hendak lari. Besar kemungkinan, populasi hewan ini sangat banyak di kawasan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. Gambar itu menjadi pengingat bagi pengguna jalan agar memperlambat laju kenderaan dan berhati-hati, sebab sewaktu-waktu rusa akan melintas. 

Kami pun berharap dalam perjalanan ini bisa bertemu dengan rusa yang hendak menyeberang jalan. Namun ketika mobil mulai menanjak di kawasan konservasi itu, di sebelah kanan yang ada justru hewan lainnya. Yaitu seekor monyet yang berjalan sendirian dan nampak kebingungan. 

“Bisa jadi monyet itu terpisah dari rombongannya,” ungkap Chris yang duduk di belakang saya. 

***

 

Seorang perempuan memperbaiki jemuran cengkeh dengan sapu lidi di Desa Pinjan, Kecamatan Toli Toli Utara, Sulawesi Tengah. Foto: Muamar Afdillah.

Hampir setengah jam mobil meliuk-liuk di punggung Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. Akhirnya, tujuan akhir kami mulai terlihat dari puncak. Namanya Desa Pinjan, Kecamatan Toli-Toli Utara, Kabupaten Toli-Toli, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa yang mirip lembah dan dikelilingi oleh bukit.

Rumah-rumah saling berdempet dan jalan berubah menjadi tempat jemuran cengkeh. Kehidupan seperti berjalan lambat di sini. Tak ada signal telepon. Sinar matahari begitu menyengat. Angin bertiup sepoi. Gadis-gadis desa memakai bedak alami dari campuran tumbukan beras dan buah pala. Seorang perempuan tua memperbaiki letak jemuran cengkeh dengan sapu lidi. Berada di tempat seperti ini, sepertinya tidur siang adalah sebuah keistimewaan.***  

  

Related posts

Dua Malam di Asrama Papua

Admin

Matinya Pohon Kami

Admin

Menikmati Ramona Melancholic, Band Folk dari Pohuwato

Admin

Leave a Comment