lipunaratif.com
Image default
Stories

Menikmati Ramona Melancholic, Band Folk dari Pohuwato

Penulis: Zulkifli Mangkau

Semua itu bermula dari perjalanan pulang kampung ke Marisa. Angin malam begitu dingin. Teman perjalanan selalu saja mengomel ketika laju motor saya dianggap tak bisa mengimbangi kecepatan mereka. 

“Terlalu lambat!” katanya. 

Bagi mereka jarak Kota Gorontalo-Marisa biasanya ditempuh dengan waktu normal 3,5 jam saja. Sementara saat jarum speedometer saya menunjuk angka 60-70 Km per jam itu, dianggap bisa lebih lama satu sampai satu setengah jam. Teman itu terus saja mengomel.   

Setelah melewati ruas jalan Isimu dan Pulubala, kami memutuskan singgah di Tangkobu; perbatasan antara Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo. Meski hanya sejenak, rokok dan segelas kopi menjadi teman istimewa saat kami merenggangkan badan dan jadi pengusir dinginnya malam. 

Saat-saat istirahat itulah, sebuah jawaban sudah saya siapkan untuk omelan mereka tentang kenapa motor saya melambat. Tanpa sepengetahuan mereka, saya begitu menikmati lambatnya deru ban motor yang menggilas malam itu, karena playlist di smartphone berhasil menjadi teman perjalanan yang mengasyikan.

Banda Neira dengan: “Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti”, “Sampai Jadi Debu”, “Tini dan Yanti”, “Biru”, “Pangeran Kecil”, “Pelukis Langit”, Payung Teduh: “Untuk Perempuan Yang Dalam Pelukan”, “Menuju Senja”, “Berdua Saja”, “Resah”, “Di Ujung Malam”, hingga Fourtwenty: “Puisi Alam”, “Argumentasi Dimensi”, “Aku Tenang”, dan “Fanah Merah Jambu”. Mereka semua ini secara bergantian adalah teman perjalanan pulang saya menuju rumah. 

Namun jawaban itu tidak saya utarakan langsung. Saya biarkan begitu saja hingga mereka tahu dengan sendirinya. Hingga akhirnya, Iki, yang begitu penasaran mendekat ke arah saya; tiba-tiba dengan cepat menyerobot earphone di telinga sebelah kanan. 

“Oh…Banda Naira. Berarti ngana senang dengan musik folk?” 

Iki, teman yang rajin mengomel itu bertanya dengan nada seperti sedang menyiapkan penjelasan berikutnya. Entah dari mana asalnya saya menyukai musik bergenre folk tersebut. Semua mengalir begitu saja. Awalnya hanya mendengar beberapa teman yang memutarnya, terus berlanjut ke story media sosial yang memakai latar musiknya bergenre folk. 

Dari kegandrungan musik ini saya kemudian hanyut dan terbawa arus sampai pada tahap mengganti playlist di gawai dengan seluruh musik-musik folk tersebut.

Iki kembali menyeruput kopi, lalu menarik asap rokok, kemudian membuang asapnya ke udara. Mimik wajahnya seperti sebuah kotak pandora yang menyimpan misteri.

Ngana kurang piknik soal band indie bergenre folk di daerah sendiri.” 

Kata-kata Iki meluncur begitu saja seperti sedang mengisi kekosongan pengetahuan dalam otak saya. Iki memang bukan anak band. Tapi bicara selera musik, saya banyak meminta pendapatnya soal musik-musik hits yang bagus di telinga. 

Ia kemudian menceritakan bagaimana musik bergenre folk itu mulai digandrungi anak-anak muda di Gorontalo. Bahkan ia pernah mencantol perempuan pujaan hatinya dengan musik-musik folk yang saya dengarkan tadi. Salah satu senjatanya adalah lagu milik Payung Teduh “Untuk Perempuan Yang Dalam Pelukan.” 

“Di Marisa juga sudah ada band folk. Ramona Melancholic nama band itu,” kata Iki sambil mengingat-ingat nama bandnya. 

Setelah beristirahat 30 menit lamanya, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Satu per satu motor mereka melaju, dan saya tetap teguh pada kecepatan semula yang dianggap lambat itu. Dan Iki tak lagi mengoceh. Setelah peristirahatan tadi, ia sudah tahu alasan motor ini melambat sebagaimana perkiraan mereka. 

Pukul 02.00 Wita dini hari saya tiba di rumah. Setelah perjalanan dari Kota Gorontalo yang saya awali ketika jarum jam menunjukan angka 22.35 Wita. Chatting Iki via whatsapp tiba-tiba muncul. Ia memberikan link Instagram dan Youtube Ramona Melancholic. Tanpa pikir panjang, saya segera menuju beranda media sosial dan mendengar lagu-lagu milik mereka. 

Ternyata asik juga. Saya lalu menghubungi adminnya, dan membuat janji untuk ketemuan di warkop tempat tongkrongan anak Ramona Melancholic. Deal!

Keesokan malamnya, saya menuju warkop tempat mereka mangkal di Kota Marisa. Saya tiba duluan pada pukul 20.15. Personel mereka menyusul kemudian. Namun beberapa di antara mereka ada yang bekerja sebagai wedding organizer, dan malam itu sedang mengisi acara perkawinan.

Mulanya Tanpa Nama

Kabupaten Pohuwato di tahun 2017. Pada mulanya tak bernama. Namun berkat sebuah perjumpaan, Ramona Melancholic akhirnya tercipta. Mereka berdiri secara independen; murni atas swadaya dari setiap personel bandnya. Band ini digagas pertama kali oleh Ofri Lantu dan beberapa temannya. 

Personelnya kini adalah Kang Ikhwan, Bayu, Ian Yansans, Ian Mooduto, Torik, dan Ofri sendiri. Mereka sering tampil di setiap event bersama pemusik Gorontalo lainnya; seperti Gorontalo Indie dan beberapa perkumpulan peminat indie atau folk di Gorontalo. 

“Ramona terbentuk pertama kali waktu saya manggung di salah satu Cafe di Kota Gorontalo. Karena tak punya nama, seorang teman menyarankan untuk memakai kata Ramona dan saya hanya menambahkan Melancholic-nya,” ungkap Ofri. 

Awal berdiri, Ofri memulai karir hanya seorang diri. Kala itu Ramona Melancholic masih berpusat di Kota Gorontalo. Sempat mengajak beberapa teman di Gorontalo. Namun seiring berjalannya waktu, band ini ditinggal personelnya. Mereka tidak bertahan lama karena mempunyai kesibukan masing-masing. Saat-saat itulah Ofri memutuskan pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Pohuwato. 

“Di sinilah saya bertemu dengan Kang Ikhwan, serta kawan lama seperti Bayu, Ian, Torik, dan beberapa kawan lainnya, yang memiliki selera musik dan tujuan yang sama pula.”

Pertemuan itu kemudian memutuskan bahwa Ramona Melancholic kegiatannya berpusat di Pohuwato, tepatnya di ibukota Marisa. Silih bergantinya personel tidak serta merta membuat semangatnya hilang. Ramona Melancholic justru menunjukan progres lebih baik dalam bermusik.

“Ramona sendiri tak punya arti. Ia hanya nama orang yang diambil begitu saja. Sedang Melancholic terinspirasi dari melankolis. Dan juga ada beberapa kawan yang ikut membantu band ini,” ujar Ofri.

Mereka kemudian mengusung genre musik folk. Genre folk tersebut tidak ditentukan oleh siapapun. Pemilihan genre tak menghalangi mereka menciptakan karya, karena hal itu adalah masalah kedua. Paling utama, katanya, karya mereka bisa didengar dan dinikmati oleh semua lapisan pendengar.

Yansans, personel lainnya ikut menambahkan, bahwa mereka tetap fokus pada folk. Jika suatu ketika folk tidak diminati, maka mereka tetap pada jalan folk itu sendiri. Lagu Ramona Melancholic murni dikerjakan dari ide sendiri dan dari hati, tanpa ada intervensi atau naungan dari manapun.

Ramona Melancholic telah memiliki lagu yang dibuat sendiri. Di antaranya: “Ku Menyata”, “Ku Kira Waktu Diam”, “Reuni Dengan Ingatan”, dan masih ada beberapa lagu lainnya yang sedang digarap. Band ini belum tampil dengan membawakan lagu ciptaan mereka sendiri, terhitung sejak band folk mereka mulai aktif meluncurkan album perdananya.. 

“Ramona Melancholic awalnya memang tak ada personel tetap. Kalau bicara tampil untuk membawakan lagu sendiri belum pernah, di tahun (2017) kemarin Ramona sering tampil tapi hanya membawakan lagu orang saja bersama anak-anak Gorontalo indie,” ujar Ofri.

Dalam perbincangan itu, Ofri sesekali memainkan gitar yang ia pegang. Ia menuturkan penciptaan lagu paling banyak dari Kang Ikhwan, puisi sebagian dari temannya, dan beberapa di antaranya adalah ciptaannya sendiri. 

“Saya sangat bersyukur karena beberapa lagu ciptaan saya dan Kang Ikhwan, mulai kami garap sama-sama dan memulainya dari bawah lagi,” terang Ofri.  

Meskipun punya kendala di pendanaan, Ofri dan kawan bandnya terus bersemangat membangun Ramona Melancholic menjadi band folk yang diminati akan karya-karyanya, bukan karena eksistensi dari band itu sendiri. 

“Lagu-lagu yang kami buat murni dari hasil sendiri, begitupun dengan biaya operasional yang dikeluarkan saat proses perekaman hingga produksi, kami lakukan secara swadaya.” 

Menurut Ofri, Ramona Melancholic sudah dipatenkan di Pohuwato, sebagai upaya mendorong anak muda Pohuwato bisa berkarya. Meskipun dengan keterbatasan yang melanda, semangat berkarya akan terus terjaga.  

“Meski keterbatasan dana, kami terus berkarya dan tak mau di intervensi dari pihak apapun. Murni dari hati dan di kerjakan sama-sama. Kami saat ini sedang mengerjakan album. Tentunya album yang digarap selalu berkorelasi dengan lagu satu dan lagu lainnya,” tambah Yansans.

Mereka menyadari, Ramona Melancholic belum seperti band papan atas atau band top lokal lainnya di Gorontalo yang lebih bagus. Para personelnya memegang prinsip bahwa dalam berkarya harus saling support, saling mendorong satu sama lainnya, dan bersimbiosis mutualisme.

Malam itu, Kang Ikhwan, personel lainnya ikut menimpali. Menurutnya, mendirikan dan menjaga sebuah band apalagi bergenre folk seperti yang mereka usung, memang tak memiliki keuntungan yang bisa diperhitungkan. Ramona Melancholic berawal dari semangat, kerja keras, serta berkarya dengan sepenuh hati.

“Ke depan nanti saya berharap Ramona Melancholic masih terus berkarya dengan idenya. Kalau suatu saat nanti bisa terkenal itu adalah akibat dari proses yang kita kerjakan. Tujuannya hanya satu: berkarya dan terus menginspirasi.”

Jika penasaran dengan Ramona Melancholic, Anda bisa mampir dan nikmatilah setiap liriknya di akun resmi mereka di Youtube. Dan jangan lupa sembari menikmati kopi hangat.*** 

Related posts

Peristiwa Budaya yang Langka Itu Bernama Maa Ledungga

Admin

Suara Leni Husain di Hari Kemerdekaan

Admin

Melintasi Gorontalo-Buol, Membayangkan Amerika-Meksiko

Admin

2 comments

Leave a Comment