Penulis: Defry Hamid
Awal ramadan 2016. Saya dan seorang teman dari Palu, Musyawir Acox, berencana membuat momen puasa ramadan menjadi pengalaman yang menarik. Di Gorontalo dan sebagaimana tempat lainnya, perjumpaan awal dengan ramadan biasanya ditandai dengan sahur pertama bersama keluarga, potong ayam, berbuka dengan menu lengkap, hingga serangkaian “ritual” dalam menyambut ramadan.
Namun saya punya cara lain untuk mengawali ramadan tahun ini. Ada dua opsi yang sempat saya perdebatkan dengan Awir, panggilan Musyawir: pergi ke Palu bersamanya agar di sana saya berharap bisa anjangsana ke komunitas-komunitas literasi yang digelutinya, atau pergi ke Minahasa untuk melakukan perjalanan jurnalistik, meliput budaya, sejarah, dan orang-orangnya.
Setelah berdebat beberapa hari lamanya,-lebih tepatnya menunggu kepastian,-saya menuturkan cerita bagaimana ketika saya sebelumnya meliput komunitas Yahudi di Tondano bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
“Bagaimana kalau kita menginap di rumah mereka?” usul saya antusias.
“Boleh juga, tapi apa diizinkan yah?” jawabnya masih ragu.
Tanpa menunggu konfirmasi dari Rabbi Yacoov Baruch, seorang pimpinan komunitas Yahudi di Tondano, kami sudah berada di tengah perjalanan dari Gorontalo ke Tondano. Ban mobil melintas di Jalan Trans Sulawesi, Bolaang Mongondow Utara. Di tengah perjalanan itu, saya mendapat pesan via whatsapp dari Rabbi Yacoov bahwa dia sedang berada di Amerika. Namun dia dengan senang hati mempersilahkan kami mengunjungi Shaar Hasyamayim Synagogue di Tondano melalui juru kuncinya Noel.
Lebih dari 8 jam perjalanan di dalam bus yang sering berhenti karena bannya kempes, beberapa kali mogok, dan penumpang yang turun untuk buang air; akhirnya hawa dingin yang selalu saya rindukan dari tanah Minahasa itu terasa. Tampaknya hari telah senja. Kami sampai lupa sedang berpuasa dan waktu berbuka telah tiba. Untunglah ada masjid di terminal kota ini yang mengumandangkan azan. Sebotol air mineral volume satu liter ditambah sewadah kurma menjadi menu pertama buka puasa kami di awal perjalanan ini. Menu ini adalah sebuah keistimewaan utama selama perjalanan.
Usai berbuka puasa itu, kami sempat bingung mau kemana. Saya meminta kontak dari Lulu Ramadhani teman Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Inovasi Universitas Samratulangi, Manado. Akhirnya kami dijemput oleh dua motor berpenumpang empar orang dari LPM Euridice: Iss, Septian Paath, Enjel Sakul dan Tabitha Karundeng. Selanjutnya kami bermalam di sekretariat mereka.
Hari-hari berlalu, beberapa daerah telah kami sambangi mulai dari Manado,-tempat kelahiran Ibu saya,-Bitung tempat saya dilahirkan, Tomohon dan tentu saja Tondano. Kami pun sempat berdiskusi dengan pemuda Minahasa yang juga anggota di salah satu kelompok teater di Universitas Negeri Manado. Kami berbincang soal sejarah Minahasa, budaya, ekonomi, hingga cap tikus,-minuman beralkhol tinggi yang dibuat secara tradisional ala orang Minahasa.
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saatnya mengunjungi Sinagog. Kontak mengontak saya lakukan dengan Noel, salah seorang jemaat Yahudi Tondano. Akhirnya kami berempat, Iss, Septian, Ilona, saya dan Musyawir bertemu pada hari Sabtu di Sinagog. Mereka nampak kaget melihat Noel beribadah. Saya yang sebelumnya sudah pernah melihatnya hanya ikut menambah rasa antusias mereka. Septian meniru gaya Noel. Kami pun tertawa dalam diam melihat tingkah laku Septian. Lambat kami menyadari kalau ternyata hari Sabtu itu adalah hari Sabbath bagi Yahudi. Ada sejumlah aturan yang harus ditaati.
“Ngoni kalau pigi hari lain, saat torang rame-rame ibadah bagus. Itu Gulungan Torah boleh mo kase kaluar,” komentar Noel dengan logat Manado yang kental.
Kami berbincang-bincang hangat, dari persoalan Yahudi hingga terpeleset jauh ke ranah pribadi kami. Noel bercerita tentang dia yang tak tahu berbahasa Inggris namun kerap didatangi turis di Sinagog ini.
“Saya hanya jawab: yes no, yes no,” kisah Noel.
Tak selang beberapa jam kemudian, benar saja, apa yang ditakutkannya datang. Tiga orang turis asing keluar dari sebuah mobil: lelaki, perempuan dan seorang putri. Nampak seperti sebuah keluarga. Mereka bertanya-tanya dan melihat-lihat isi gedung yang lebarnya tak lebih dari 10 meter itu, dan seperti biasa tak ketinggalan menjepret-jepret dengan kamera.
“Itu kita so bilang apa,” kata Noel dengan raut cemas setelah ketiga turis itu beranjak.
Setelah berbasa-basi kami membuat janji beberapa hari ke depan, kami akan datang lagi ke sini, tak lupa pula saya menuturkan keinginan kami untuk menginap di rumahnya.
“Kita mo hubungi Pak Rabbi Yakoov dulu neh, jangan taru kira, harap maklum,” begitulah kira-kira jawabnya.
Beberapa hari kemudian kami diundang ke rumahnya. Malah ia menawarkan kepada kami bahwa ia akan menjamu sekaligus untuk berbuka puasa di rumahnya. Mendapat tawaran seperti itu, tentu saja dengan senang hati kami langsung mengiyakan.
***

Rumah itu berfungsi sekaligus sebagai warung makan. Berdiri di atas tanah kering, di pinggiran jalan. Tak ada bangunan lain di dekatnya. Posisinya persis di sebuah pojok, dan menjorok ke jurang. Rumah yang sangat sederhana sekali.
“Selamat malam!” kami menyapa saat berdiri di pintu rumah Noel.
“Malam, mari silahkan masuk!” jawab beberapa pasang wajah di dalam dengan senyuman yang begitu ramah.
Di situ ada Noel tentu saja dan seorang perempuan sawo matang dengan potongan rambut pendek. Ia adalah istri Noel. Satu lagi wajah yang sudah saya kenal, Yobbi Hattie Ensel, seorang Imam di komunitas Yahudi itu. Aroma sedap terhirup dari hidangan di atas meja.
“Makan dulu!” pinta tuan rumah.
Mendapat aba-aba demikian, kami langsung saja membumbungi piring dengan nasi, sayur kangkung dan bebek bumbu RW yang sudah tersaji dengan apiknya. Selama perjalanan ramadan, ini adalah menu puasa terlezat yang berhasil menyeberangi kerongkongan saya. Setelah makan, kami ditawari teh manis. Lengkap sudah kegembiraan ini.
“Kalau di Yahudi ada istilah Kosher,” kata Yobbi Ensel seketika.
“Kosher artinya layak, kalau di Islam mungkin halal,” sambungnya lagi.
Mendengar penjelasannya itu, saya hanya bisa membatin penuh tanda tanya. Yobbi kembali bercerita.
“Tapi kalau di Islam melarang anggur (minuman keras). Di Yahudi anggur itu kosher, yang penting tidak ada campuran apa-apa. Atau seperti di Amerika, ada perusahaan khusus makanan dan minuman orang Yahudi, jadi dilabeli kosher.”
Di Islam juga ada pelabelan seperti itu: halal oleh MUI. Yobbi lalu membeberkan sejumlah daftar yang tidak boleh dimakan oleh orang Yahudi, di antara makanan-makanan itu justru ada yang dihalalkan dalam Islam. Ia menyebut makanan yang diharamkan untuk orang Yahudi di antaranya babi, udang, dan kepiting.
“Kosher bagi kami bukan sebatas pelabelan, karena kami yakini sesuai yang diperintahkan Tuhan (sambil melafazkan ayat berbahasa Ibrani), bahwa apa yang kami makan akan menjadi bagian tubuh ini, selanjutnya akan mempengaruhi kebersihan jiwa kami. Bagaimana mungkin jiwa yang bersih berasal dari makanan yang kotor?” paparnya.
Lalu bagaimana dengan orang Islam yang hobi minum oplosan itu? Saya mengambil kesimpulan, ini bukan persoalan perbedaan aturan di kedua agama ini, mana yang boleh dan mana yang tidak di antara keduanya. Tapi hal yang substantif tadi adalah nilai spriritualitas dalam mempertimbangkan apa yang kita makan. Aturan merupakan konteks yang berbeda dengan kesadaran spiritual kita, bahwa walaupun minuman keras haram dalam Islam masih banyak yang mengonsumsinya karena mereka tidak pernah betul-betul mengkaji kandungan dan dampaknya seperti apa.
Ini berbeda dengan konteks haramnya daging babi, bukan karena kesadaran spritualitas, tapi hanya karena pikiran mereka terasosiasi dengan makanan babi yang berlumpur, habitat babi di lumpur, dan konon katanya ada cacing pita di dalamnya. Babi menimbulkan rasa jijik dan minuman keras menimbulkan rasa ketagihan. Tak lebih dari itu. Tidak ada hubungannya dengan apakah jika mereka mabuk karena minuman akan terjadi kecelakaan saat berkendara, atau apakah daging babi bisa tertelan dan rasanya enak.
Percakapan kami semakin dalam, saya hanya bisa tercengang mendapati bahwa begitu banyaknya persamaan di antara ajaran kami. Waktu ibadah diatur berdasarkan waktu; pagi, siang, malam. Kitab suci yang harus ditulis dengan hati-hati agar tidak keliru; membaca kitab suci harus perlahan dan dilagukan; kedudukan ilmu yang ditinggikan; adanya imam; aturan halal haram pada makanan dan minuman; hari raya, dan lain-lain.
Saya tercengang mungkin karena kebodohan saya selama ini, sebagaimana mayoritas umat Islam di Indonesia yang saat menyebut Yahudi selalu dengan penuh kebencian, prasangka dan tuduhan. Untunglah saya bisa berada di lingkungan orang berpikiran terbuka, jika tidak saya pasti senasib dengan katak dalam tempurung.
Kami kemudian membahas soal ketuhanan dan surga-neraka. Pembahasan ini membuat saya terguncang. Ini adalah sesuatu yang luar biasa, yang belum pernah saya dengar selama enam tahun saya menimba ilmu di pesantren.
“Tuhan bagi kami milik semua orang, semua umat. Karena sesuai firmannya (bahasa Ibrani), tujuan Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai golongan itu ibarat jalan yang banyak dan akan bertemu pada satu titik, satu tujuan, yaitu menuju kepada-Nya. Jika kami memaksa orang masuk Yahudi atau mengklaim mereka salah dan kami benar, maka kami melanggar ketentuan Tuhan.”
Saat Yobbi menjelaskan konsep ketuhanan Yahudi itu, saya membayangkan seandainya ada seorang Ustad atau Imam dalam Islam bisa berkata demikian.
“Dan bagi kami tidak ada yang namanya surga atau neraka, tempat kembali hanya kepada-Nya,” katanya lagi.
Suasana mulai cair, karena Yobbi dan Noel mulai bernostalgia dengan masa lalu mereka. Yobbi adalah seorang pendeta di Pantekosta dan Noel berasal dari keluarga Kristen yang toleran. Noel punya saudara muslim, demikian juga Istrinya. Mereka semua memilih Yahudi atas dasar keinginan pribadi.
Noel juga bercerita masa-masa mudanya yang hobi naik gunung dan melancong. Ia adalah seorang tipe lelaki romantis dalam hal berjuang meminang istrinya. Sementara Yobbi selain seorang pendeta juga adalah sosok yang disegani di tempat tinggalnya.
“Soal kalian ingin menginap di sini, belum bisa kayaknya. Tadi saya telepon Rabbi Yakoov. Katanya, jangan dulu menerima tamu yang ingin menginap karena pergerakan anti-semit sedang marak-maraknya,” kata Noel dengan sangat hati-hati.
Ternyata mereka juga korban dari terorisme.
“Namun bukan berarti kami orang baik semuanya. Torang sama seperti orang lain, bisa saja berbuat salah. Bahkan lebih banyak yang jahat. Sama seperti manusia di bumi ini, sedikit yang benar-benar baik,” Yobbi berkata sambil tertawa kecil.
Apa yang diucapkan oleh Yobbi itu seolah menjadi kesimpulan. Karena tidak lama kemudian kami harus pamit pulang. Kalimatnya seperti menghentak dan mengandung kebijaksanaan. Saya pun merenung. Tanpa perjalanan di bulan ramadan, bulan suci bagi para pemeluk Islam seperti saya, saya tak bisa mengenal apa-apa tentang-Nya. Setelah perjumpaan itu, saya membatin dalam hati; sungguh Tuhan tak sesempit halal-haram dan surga-neraka. Dia ada saat kita bisa menampung semua perbedaan seisi bumi di batok kepala kita.
Malam semakin beranjak. Perlahan-lahan, saya mulai semakin jauh meninggalkan rumah Noel dan Yobbi, sang Imam Yahudi.***