Penulis: Apriyanto Rajak
Seorang gadis tampak menahan sakit. Kaki kanannya terkena anak panah. Ia terbaring di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Dengan cepat fotonya tersebar di media sosial, lalu jadi pemberitaan. Kabar langsung menyebut bahwa gadis itu adalah korban panah wayer di Kota Gorontalo.
Polres Gorontalo Kota juga membenarkan bahwa gadis berusia 17 tahun itu adalah korban dari penembakan panah wayer. Polisi mengungkap kejadian tersebut terjadi pada Selasa 5 November 2019, sekitar pukul 23.00 malam. Lokasinya di Jalan Bali, Kelurahan Pulubala, Kecamatan Kota Tengah. Korban bernama Pinkan Aprilia merupakan warga Kelurahan Siendeng, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo.
Kapolres Gorontalo Kota, Desmont Harjendro Agitson Putra, mengatakan usai kejadian itu pihaknya langsung melakukan penyelidikan di lapangan. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi-saksi polisi berhasil mengindentifikasi identitas pelaku.
“Dari hasil penyelidikan, tim alap-alap Polres Gorontalo Kota mendatangi alamat pelaku di Desa Ayula, Kabupaten Bone Bolango, dan berhasil mengamankan pelaku utama berinisial NG pada hari Rabu 6 November 2019 sekitar pukul 16.00.”
Menurut Kapolres, kejadian yang menimpa Pinkan Aprilia ini memiliki motif balas dendam antar geng. Ia pun menguraikan motif tersebut. Malam itu katanya, pelaku NG sedang berboncengan dengan temannya. Keduanya memiliki terget untuk menembakkan panah wayer itu kepada seorang pria yang berboncengan dengan Pinkan. Akan tetapi yang terkena panah wayer justru adalah pinkan. Ternyata Pinkan adalah korban salah sasaran.
“Kita terus mengembangkan kasus-kasus yang terkait dengan pelaku. Sementara untuk produksi panah wayer di Kota Gorontalo masih dalam penyelidikan. Bila memang mereka memproduksi, kita akan berantas sekalian,” kata Kapolres Gorontalo Kota, saat melakukan konferensi pers, Rabu, 6 November 2019.
Atas peristiwa tersebut pelaku dijerat pasal 2 ayat (1) UU darurat nomor 12 tahun 1951 dan pasal 80 ayat (1) UU RI no 35 tahun 2014 tentang perlidungan anak atau pasal 351 ayat (1) KUHP jo pasal 56 KUHP ancaman maksimal 10 tahun penjara.
Istilah Panah Wayer
Panah wayer adalah senjata yang terdiri dari anak panah dan pelontar. Anak panahnya berupa besi dengan ujung meruncing memiliki kait dan ujung lainnya disematkan tali yang terurai. Anak panah ini memakai pelontar yang menyerupai ketapel. Awalnya istilah panah wayer tidak dikenal di Gorontalo, dan aksi kekerasan menggunakan panah wayer justru banyak terjadi di Kota Manado. Namun di daerah lain, seperti Makassar dan Kota Palu, senjata ini disebut busur, yang bentuknya sama persis.
Belum diketahui persis sejak kapan ada panah wayer dan dari daerah mana senjata ini berasal. Namun banyak yang menyebut bahwa senjata ini banyak digunakan ketika terjadi konflik kemanusiaan. Sebuah buku berjudul “Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar Agama Terpanjang di Indonesia Pasca Reformasi,” yang ditulis oleh Dave McRae (2016), pada beberapa bab menyebutkan bagaimana saling serang yang dilakukan oleh masing-masing kelompok, salah satunya menggunakan senjata busur.
Data dari Polres Gorontalo Kota menyebut, mulai Januari hingga November 2017 sedikitnya telah terjadi 8 kasus penembakan panah wayer di Kota Gorontalo. Baik yang menjadi temuan pihak kepolisian ataupun atas laporan keluarga korban. Dari 8 kasus ini, polisi hanya berhasil mengamankan 5 pelaku. Sedangkan 3 orang pelaku lainnya belum berhasil diungkap. Sementara untuk jumlah korban pada peristiwa penembakan panah wayer di tahun itu mencapai 7 orang.
Di tahun berikutnya pada tahun 2018, fenomena panah wayer tidak separah tahun sebelumnya. Bahkan hanya ada 4 kasus yang terjadi dalam kurun waktu Februari hingga November. Dan dari kasus itu, pihak kepolisian pun berhasil menangkap 4 pelaku.
Sementara di tahun 2019, merupakan puncak maraknya kasus penembakan panah wayer di Kota Gorontalo. Polres Gorontalo Kota mencatat terjadi 9 kasus, dari bulan Februari hingga November. Namun jumlah korban masih sedikit bila dibandingkan dengan data 2017. Di mana di tahun itu korbannya mencapai 7 orang, sementara untuk tahun ini adalah 6 orang.
Bila dihitung dari data yang ada selama periode 2017 hingga 2019, maka korban selama dua tahun terakhir mencapai 14 orang. Sementara pelaku yang mampu diungkap oleh pihak kepolisian hanyalah 19 orang; sedangkan 5 pelaku lainnya masih dalam tahap penyelidikan lebih lanjut.
Pelaku Didominasi Remaja
Dari sejumlah peristiwa panah wayer yang telah meresahkan masyarakat Kota Gorontalo itu, sejumlah pelaku merupakan anak-anak yang masih berusia remaja. Dari 19 pelaku yang berhasil dibekuk Polres Gorontalo Kota, 12 pelaku di antaranya memiliki usia di bawah dari 20 tahun.
Nunung Unayah dan Muslim Sabarisman, peneliti dari Puslitbang Kementerian Sosial, dalam sebuah jurnal mengatakan, untuk menyikapi fenomena kriminalitas yang dilakukan remaja pada saat ini yang semakin nekat, berani tanpa rasa takut dan terus meningkat, harus dilihat sisi psikologis individual pelaku, pola asuh keluarga, komunitas dan masyarakat secara luas. Kriminalitas remaja tidak hanya merugikan pihak secara individu dan keluarganya, namun semua elemen masyarakat sangat dirugikan dengan banyaknya kerusakan fasilitas umum, kehilangan harta benda, bahkan sampai kehilangan nyawa.
Menurut keduanya, segala penyimpangan yang terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor internal, yaitu krisis identitas dalam diri si remaja dan kontrol diri yang lemah. Serta faktor eksternal dari keluarganya serta masyarakat atau lingkungan sosialnya seperti lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat yang kurang kondusif, kemudian juga pengaruh dari teman sebaya.
“Kemudian diperparah dengan minimnya pengawasan lembaga atau institusi sekolah dan kepolisian untuk menanggulangi dan menindak pelaku kriminalitas di kalangan remaja tersebut,” tulis Nunung Unayah dan Muslim Sabarisman.
Untuk mendapatkan perspektif dari psikolog di Gorontalo, saya membuat janji dengan Sukma Nurilawati Botutihe. Dia adalah Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Cabang Gorontalo. Sayangnya, Sukma sedang tugas di luar daerah. Ketika saya mewawancarainya via whatsapp, Sukma mengungkapkan, ada banyak alasan yang bisa diasumsikan sebagai penyebab mengapa remaja lebih banyak terlibat pada setiap kasus panah wayer di Kota Gorontalo. Katanya, perubahan zaman atau kemajuan teknologi akan berdampak terhadap perubahan sosial.
“Secara luas perubahan sosial berdampak pada perubahan perilaku termasuk perilaku agresi.”
Menurutnya, intensitas relasi yang kuat antara manusia dengan teknologi tersebut akan menjadikan teknologi ini sebagai role model yang begitu penting: terutama bagi anak maupun remaja. Sebab, segala apa yang ditangkap dari teknologi, misalnya melalui gadget, media sosial, dan sebagainya itu menjadi model yang jitu bagi remaja untuk mengimitasi perilaku.
“Siapa remaja yang tidak pernah main game dengan konten kekerasan? Rasanya makin langka remaja yang belum terpapar soal itu. Sehingga sangat masuk akal apabila remaja dengan mudah mengimitasi atau mengikuti perilaku kekerasan dengan melihatnya melalui gadget,” tutur Sukma.
Di sisi lain, katanya, dalam tahapan tugas perkembangannya, kecenderungan remaja untuk mengikuti perilaku orang lain atau model memang tinggi. Di mana pada tahap ini remaja memiliki tugas perkembangan menjalin relasi sosial dengan teman sebaya, atau orang lain di luar lingkungan sosialnya secara lebih intens dibanding tahap sebelumnya.
Pada tahap ini, ketergantungan remaja berubah dari orang tua menjadi lebih tergantung pada teman. Yang jadi soal jika remaja terjebak pada teman bergaul atau lingkungan sosial yang agresif dan terbiasa melakukan perilaku kekerasan, maka sangat besar kemungkinan remaja ini akan ikut terbawa pada perilaku kekerasan tersebut.
“Ada sebuah penelitian yang membuktikan bahwa sering terpapar gadget akan menyerang jaringan pituitari (kelenjar berukuran sebesar kacang polong yang terletak di bagian bawah otak), yaitu salah satu jaringan otak yang berhubungan dengan kelenjar yang merangsang emosi dan perilaku agresi.”
Selain itu ia menjelaskan, remaja yang tumbuh dan dibesarkan dengan lingkungan dan pola asuh yang terbiasa menjadikan kekerasan sebagai cara mengatasi masalah, maka akan mudah menjadikan kekerasan sebagai perilaku yang lazim dilakukan tidak hanya mengatasi masalah, tapi bahkan sekadar untuk memberi kepuasan pribadi.
“Remaja yang berada pada tahap transisi dalam perkembangannya, sarat dengan kondisi kritis sehingga menjadikan mereka sebagai generasi yang rentan. Hal ini membuat remaja mudah dipengaruhi. Termasuk pengaruh untuk melakukan perilaku kekerasan panah wayer,” ungkapnya.
Pola Demokratis
Sukma Nurilawati Botutihe, yang juga dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mengatakan, karena rata-rata pelaku ini didominasi oleh anak yang usianya di bawah 20 tahun maka pola asuh orang tua yang perlu dibenahi. Misal katanya, pola asuh harus menjadi lebih demkoratis.
“Pola demokratis bisa membiasakan anak bersikap asertif, yaitu mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan, alami, dan pikirkan dengan cara yang baik.”
Dengan begitu, ketika gejolak dan dorongan yang mengarahkan remaja ke arah perilaku kekerasan itu muncul, orang tua bisa mengarahkan dan meyakinkan anak untuk tidak melakukan itu. Ia menuturkan, anak yang dididik dengan pola demokratis akan lebih terbuka dibanding anak yang dididik dengan cara yang otoriter, permisif, dan negleted (mengabaikan).
Pola asuh demokratis juga membuat anak percaya dan nyaman. Sehingga tidak ada alasan baginya untuk lebih memilih menggantungkan diri, terutama secara psikologis dengan dunia luar (pergaulan) yang berpotensi menjerumuskannya pada perilaku negatif.
“Oleh karena itu anak akan tetap menjadikan orang tua sebagai sosok yang memiliki pengaruh yang paling kuat bagi dirinya,” kata Sukma.
Sukma mengungkapkan, dukungan lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh. Sebab kemampuan dan energi remaja yang berkembang membuatnya butuh wadah untuk menyalurkannya. Sehingga penting untuk memperhatikan kondisi lingkungan yang memungkinkan bagi remaja untuk bisa mengeskplorasi potensi, energi, dan fokus perhatiannya ke arah yang positif.
“Remaja harus diarahkan meyakini bahwa dirinya adalah sosok yang positif dan mampu melakukan hal-hal positif. Ini penting untuk menguatkan karakter remaja, agar mereka tidak mudah terbawa pada pengaruh yang negatif,” ujarnya.***
Keterangan foto utama: Ilustrasi tawuran antar remaja. Sumber: Okezone.com