lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Pemulihan Ekosistem Kolaboratif: Jalan Tengah Penyelesaian Konflik Ruang di Hutan TNBNW (Bagian 3)

Ditulis oleh Franco Bravo Dengo


Mereka yang dulunya lawan, kini menjadi relawan untuk berkolaborasi memulihkan ekosistem di hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).


Basri Lamasese, mantan pemburu yang sekarang menjadi pelindung telur maleo. Foto oleh Tomy Pramono.

Basri Lamasese berjalan mengendap-ngendap di bawah pepohonan yang menjulang tinggi, sekilas seperti reptil yang sedang memantau target. Dia melihat sebuah lubang dengan tanah yang berserakan, bekas galian baru. Bagi seseorang yang dulunya menjadi pemburu telur burung maleo (Macrochepalon maleo), dia hafal betul di mana letak lubang-lubang tempat peneluran maleo.

Basri lekas mengangkat sebiji telur yang berukuran besar. Dia membawanya menuju shelter tempat penetasan: Sebuah pondok kecil yang di dalamnya dibuat lubang-lubang serupa dengan galian burung maleo. Hari itu dia beruntung, lebih cepat menemukan telur itu ketimbang predator alami.

“Setiap hari saya harus beradu cepat dengan biawak. Kalau kalah, telur-telur ini akan menjadi santapannya (biawak),” ujar Basri.

Lantaran masifnya perburuan oleh manusia terhadap telur dan burung maleo, orang-orang seperti Basri mau tidak mau harus menyelamatkannya dari predator alami. Ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan populasi burung endemik Sulawesi itu. Dia sendiri adalah seorang mantan pemburu telur maleo.

Basri sudah tidak ingat berapa banyak telur-telur yang dia curi, yang dia gagalkan untuk menetas. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan. Dia mengambil telur-telur maleo sejak masih remaja. Rumah dan kebunnya sangat dekat dengan lokasi peneluran burung maleo di Desa Molibagu, Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

Dia berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah. Telur-telur yang dia ambil dijadikan sebagai lauk bagi istri dan anak-anaknya. Beberapa juga coba dijual untuk kebutuhan hidup mereka. Pendapatan sebagai petani aren tidak cukup, bahkan nihil untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Rona wajah Basri seketika berubah ketika dia mengenang masa-masa itu. Dia tampak sedih mengingat kondisi dilematis itu. Dia mengaku apa yang dilakukannya dulu semata-mata hanya untuk pemenuhan hidup, agar dapur di rumah mereka tetap bisa mengepul. Basri sangat menyesali perbuatannya dulu.

“Saya merasa berdosa. Saya merasa berdosa mengganggu dan menikmati rasa telur dari burung maleo yang dilindungi. Saya merasa berdosa!” ujar Basri sambil meneteskan air mata.

“Saya menyadari akibat dari perbuatan saya (dulu). Mari kita menjaga sama-sama.”

Sekarang Basri menjadi garda terdepan pelindung telur burung maleo. Dia bilang, bahwa dia akan melindungi telur-telur ini di sisa hidupnya.

Basri dan beberapa petani aren di desa kawasan penyangga hutan juga diberikan bantuan alat pengolahan aren menjadi gula semut. Produk gula semut mereka sekarang sudah terdistribusi bahkan hingga ke luar kota.

Ini menjadi salah satu program pengelolaan berbasis tapak. Masyarakat dibantu, dicarikan solusi atas himpitan ekonomi yang mereka alami. Agar tidak ada lagi “Basri Si Pemburu Telur” yang lain.

Kolaborasi: Pemberdayaan Masyarakat Menjadi Kunci

Kelompok petani aren di Desa Molibagu, Bolaang Mongondow Selatan, sedang melakukan pengolahan gula semut. Foto oleh Tomy Pramono.

Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, penting untuk memastikan pengelolaannya betul-betul ditujukan untuk kemakmuran masyarakat, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitarnya.

Sudah banyak program-program pengelolaan hutan bersama yang berlaku di Indonesia. Misalnya , dulu ada yang namanya pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH dan skema perhutanan sosial. Kebijakan ini masih menjadikan manusia atau masyarakat sebagai objek. Ujung-ujungnya dianggap menjadi perusak, pengancam, pengganggu, hama, dan penyebab utama kerusakan hutan.

Dalam pengelolaan berbasis tapak di TNBNW, masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, dan masyarakat juga sebagai “penerima manfaat” yang utama dari hutan. Setiap wilayah yang bermasalah, telah diidentifikasi sesuai potensi dan jalan keluarnya.

Lion Linggula yang dulunya marah dan mencabut tapal batas kawasan hutan, kini menjadi bagian dari kelompok ekowisata Hungayono Maleo. Kelompok itu diberi pelatihan tentang bagaimana mengelola ekowisata Hungayono yang berada di dalam kawasan hutan.

Lion menyatakan, pihak taman nasional sudah membuat sebuah kesepakatan dengan kelompok masyarakat. Bahwa masyarakat, khususnya petani yang terlanjur menggunakan kawasan hutan untuk perkebunan, diberikan kesempatan untuk berorientasi dalam kawasan hutan, dengan catatan tidak menebang.

“Sekarang masyarakat yang tidak punya pekerjaan, sudah ada kegiatan positif di kelompok,” ujar Lion.

Dia sudah tidak menganggap pihak Balai TNBNW sebagai penjajah. Sebaliknya, pihak TNBNW tidak lagi mengatakan mereka sebagai perusak hutan. Dua unsur ini berkolaborasi untuk memanfaatkan dan menjaga kelestarian hutan.

“Istilahnya, melarang anak kecil memanjat pohon, sediakan satu mainan buat dia, supaya dia tidak memanjat pohon lagi. Itulah yang dilakukan oleh Balai TNBNW, ekowisata inilah adalah jawabannya,” kata Lion.

Lantaran hampir seluruh wilayah punya masalah keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan, maka inti dari pengelolaannya adalah pemulihan hutan itu sendiri. Namun, metode agroforestri mulanya mendapat penolakan dari para petani.

Alham Tumondo, petani yang membuka lahan perkebunan di kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Foto oleh Tomy Pramono.

Alham Tumondo, seorang petani di kawasan hutan mengaku ragu dengan program pemulihan ekosistem kolaboratif. Dia masih menyimpan ketakutan dengan Balai TNBNW. Konflik selama berpuluh-puluh tahun memang meninggalkan trauma bagi para petani.

“Ketakutan masih ada. Saya pikir-pikir apakah saya akan ditangkap lantaran berkebun di kawasan (hutan),” terang Alham.

Alham merupakan petani coklat. Dia dan beberapa petani lain sudah membuka lahan untuk berkebun di Desa Tapadaka, Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mereka akhirnya masuk berkebun di kawasan hutan karena tidak punya pilihan lain: lahan di luar kawasan hutan sudah tidak ada, penduduk semakin padat.

Pertumbuhan penduduk berdampak signifikan atas alih fungsi kawasan hutan. Kasus ini terjadi hampir di semua hutan hujan yang ada di Indonesia.

“Setelah dijelaskan dan sosialisasi, baru kita paham. Kami sadar salah, kami akhirnya bersedia untuk menanam pohon,” kata Alham.

Perkebunan menjadi satu-satunya pendapatan Alham. Kadangkala, dalam banyak periode, dia sama sekali tidak mendapatkan apa-apa ketika gagal panen, atau tanaman-tanaman musiman yang dia tanam rusak. Keberadaan tanaman tahunan seperti kemiri dan pala memberikan para petani pendapatan alternatif.

Penanaman pohon-pohon di perkebunan masyarakat sudah dilakukan sejak tahun 2019. Para petani diajak bersama-sama melakukan penyemaian hingga penanaman. Total ada puluhan ribu pohon yang telah tersebar di perkebunan-perkebunan yang berada di kawasan hutan TNBNW.

Alham menanam 700 pohon pala dan puluhan pohon kemiri. Pohon-pohon yang dia tanam beberapa tahun yang lalu itu sekarang sudah memberikan dia penghidupan. Dia berharap dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang yang paling tinggi dari hasil kebun campur ini.

“Sekarang kalau anak minta jajan tinggal saya suruh ambil kemiri di pohon, terus jual di pasar,” ujar Alham

Kelompok petani di sekitar kawasan hutan saat melakukan penanaman jagung. Foto oleh Franco Bravo Dengo.

Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang pada umumnya miskin, apabila diberikan legalitas akses hak kelola maupun hak milik serta diberdayakan kemampuannya, maka akan dapat mewujudkan peningkatan ekonomi mereka.

Kondisi masyarakat yang sejahtera, lebih peka terhadap isu lingkungan dan dapat membantu mewujudkan keberadaan lahan dan hutan secara lestari dan ramah lingkungan.

Catatan: Laporan serial ini atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) bekerja sama dengan Pulitzer Center.

Related posts

Pemulihan Ekosistem Kolaboratif: Jalan Tengah Konflik Pemanfaatan Ruang di Hutan TNBNW (Bagian 2)

Admin

Banjir dan Kerusakan Hutan Gorontalo

Admin

Petani Bualemo Memungut Asa di Kerak Lahan Perkebunan Sawit

Defri

15 comments

Leave a Comment