Ditulis oleh Zulkifli Mangkau
Dinding cakrawala belum lama menyala di ufuk timur. Sepeda motor saya melesat menuju Bualemo, Banggai. Setelah sampai di Desa Toiba, hamparan tanaman sawit terlihat. Perkebunan sawit ini berada dalam konsesi PT Wira Mas Permai (WMP), anak dari perusahaan Kencana Agri.
Kebun itu sudah ada sejak tahun 2009. WMP mengantongi izin lokasi seluas 17.500 hektare dari Pemerintah Banggai dengan nomor surat 525.26/15/Disbun/2009. Izin usaha perkebunan (IUP) pada 2011 dengan Nomor 525.26/1922/Disbun, lalu tahun yang sama keluar izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 8.773,38 hektare.
Desa Toiba, adalah salah satu dari 10 desa yang masuk dalam izin HGU WMP di Kecamatan Bualemo. Pusat perkebunan sawitnya terletak di Desa Malik.
Selain di Bualemo, kaki-kaki bisnis Kencana Agri juga bersemayam di dataran Banggai lain. Ada PT Sawindo Cemerlang (Scem) dan PT Delta Subur Permai (DSP) tersebar di dua kecamatan, Batui dan Batui Selatan.
Dari dua anak perusahaan Kencana Agri ini, PT Delta Subur Permai berperan sebagai pabrik pengolahan yang resmi beroperasi pada Januari 2020. Pabrik DSP berada di Desa Seseba, Batui Selatan.
DSP menerima hasil panen tandan buah segar (TBS) baik dari Sawindo dan WMP untuk jadi minyak sawit mentah (crude palm oil [CPO]). Hasil CPO oleh Kencana Agri dikirim melalui Pelabuhan Tangkiang, di Kecamatan Kintom, Banggai. Dari Tangkiang, Kencana Agri mengirim hasil CPO-nya ke Kalimantan.
Isal Khan, Ketua Forum Petani Bualemo Bersatu, terlibat langsung dalam pengawasan aktivitas WMP. Menurut kesaksiannya banyak masalah yang dialami petani, terutama di sepuluh desa lingkar kebun yang masuk dalam HGU perusahaan, dari masalah sengketa tanah, janji plasma, hingga pelanggaran ketenagakerjaan.
Sepuluh desa itu, yakni Desa Toiba, Desa Lembah Tompotika (Samaku), Desa Longkoga Barat (Salu), Desa Sampaka, Desa Nipa Kalemoa, Desa Malik Makmur, Desa Malik, Desa Bima Karya, Desa Binsil Bersaudara (Binsil K dan Binsil Padang).
“Sudah lama masyarakat dan petani menderita akibat masuknya perusahaan sawit di daerah kami,” kata sala satu warga Desa Bualemo A, Kecamatan Bualemo, membenarkan perkataan Isal.
Kata Isal, kesepakatan Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) yang disepakati oleh petani dan pihak perusahaan merupakan permulaan masalah. Mekanisme GRTT pelaksanaannya tak sesuai kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan. Hal itu, yang menjadi titik awal permasalahan antara perusahaan dan warga di Bualemo.
“GRTT yang diterima masyarakat itu bervariasi, ada yang menerima 750.000 per hektare dan ada juga yang menerima 1 juta rupiah. Masyarakat memahami GRTT adalah tanah mereka dipinjamkan ke perusahaan dan saat panen mereka dapat keuntungan. Tapi kenyataan berbicara lain.”
Saat panen tiba, para petani tidak pernah merasakan sepersen pun hasil panen dari sawit yang tumbuh di tanah mereka sendiri. Melihat permasalahan itu, para petani mulai berinisiatif melakukan panen mandiri, alhasil, mereka mendapati masalah karena dituduh mengambil sawit milik perusahaan.
“Makanya ketika GRTT terjalin, petani sudah tidak bisa mengolah kembali tanah mereka. Mereka kehilangan pekerjaan dan ada yang harus melamar jadi buruh lepas di perusahaan,” ujar Isal.
“Andai masyarakat dulu tidak tergiur dengan tawaran perusahaan saat mulai sosialisasi ke desa-desa, kini kehidupan mereka aman-aman saja. Warga desa yang dulunya petani, tak perlu banting setir menjadi buruh di tanahnya sendiri.”
Akibat dari masalah ini, petani kemudian mempertanyakan soal kejelasan tanah mereka yang ditanami sawit dan menghentikan aktivitas panen perusahaan di lahan-lahan mereka sebagai protes. Pasalnya, lahan-lahan sertifikat milik warga transmigran yang diberikan oleh negara dalam program transmigrasi masuk dalam kawasan HGU.
“Kebanyakan lahan-lahan dua[1] milik masyarakat transmigran yang berada di Desa Nipa Kalemoa dan Desa Malik Makmur yang bermasalah dengan perusahaan. Masa di tanah bersertifikat bisa masuk HGU?”
Aliran Sungai Menyempit dan Sawah Menghilang
Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Bualemo mencatat, sejak tahun 1990-an hingga tahun 2008, masyarakat Bualemo, khususnya yang berada di Desa Malik, Desa Nipa Kalemoa, dan Desa Malik Makmur, menanam tanaman palawija sebagai kebutuhan pangan mereka.
“Kedelai menjadi komoditas paling unggul masyarakat Malik dan Malik Makmur. Posisi keduanya adalah jagung, lalu padi. Tiga komoditas ini yang menghidupi masyarakat di Bualemo,” ujar Sahbudin Anwar Eny, Koordintaor BPP Bualemo saat dihubungi via telpon (10-11-2022).
Menurut Sahbudin, selain memang karena terbuai dengan janji perusahaan sawit, masyarakat petani, khususnya yang ada di Nipa Kalemoa dan Malik, berhenti mengolah sawah, karena saat itu, sekira sepuluh tahun yang lalu pernah ada insiden jebolnya irigasi yang mengakibatkan berkurangnya suplai air ke persawahan. Imbasnya, sawah di Desa Malik yang awalnya seluas 50 hektare yang aktif berproduksi, kini hanya tersisa 10 hektare saja.
“Sekarang ini hanya ada 966 hektare sawah yang aktif di Kecamatan Bualemo. Para petani juga sudah tidak lagi menanam kedelai,” ucap koordinator BPP Bualemo tersebut.
Namun, menurut dia, walaupun tutupan hutan dan tegakan pohon berkurang akibat dari pembukaan lahan oleh perusahaan sawit di Bualemo, penyebab jebolnya irigasi karena berpindahnya aliran sungai adalah semata faktor alamiah.
“Masalah banjir dan kurangnya suplai air yang menyebabkan padi dan kedelai kurang ditanam oleh petani bukan akibat dari adanya ekspansi perkebunan sawit di wilayah Bualemo,” ujar Sahbudin.
Safi’i (48), warga Desa Nipa Kalemoa punya pendapat lain. Menurutnya, dengan adanya perkebunan sawit milik PT WMP-lah yang menyebabkan suplai air berkurang ke persawahan warga. Bahkan air sungai yang dulunya besar, sekarang mengalami penyempitan, mengakibatkan debit air berkurang.
“Dugaan saya karena sawit. Sawit ini tanaman yang rakus air setahu saya.”
Dia bilang, saat ikut program transmigran dan tiba di Desa Nipa Kalemoa pada 1990. Dia sempat ikut terlibat dalam program percetakan sawah yang diadakan oleh pemerintah kala itu. Dia adalah saksi langsung bagaimana persawahan kala itu masih berfungsi dan menjadi primadona masyarakat. Masih kuat di ingatan Safi’i juga, aliran sungai yang ada di Desa Nipa Kalemoa tersebut merupakan tempat pemancingan favoritnya, yang saat itu sanggup untuk memenuhi kebutuhan lauk bagi keluarganya.
“Banyak ikan dulu di situ. Saya sering memancing saat sore hari dan malam hari,” Syafi’I mengenang.
Guntur, lelaki yang berusia 32 tahun itu juga memperkuat ingatan Safi’i. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain bersama teman sebaya di pematang-pematang sawah.
“Masa kanak-kanak saya bermain di tepi sawah, tapi sekarang sawah sudah tidak ada,” kata Guntur.
Plasma yang Membingungkan
Semenjak mendapatkan izin lokasi di tahun 2009, pihak perusahaan mulai beraktivitas di Bualemo. Saat perusahaan masuk, janji plasma yang dibicarakan kepada masyarakat masih mengambang dan belum menemui titik jelasnya. Bahkan ada beberapa masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana skema kebun plasma itu sebenarnya.
“Kejelasan antara [batas] kebun plasma dan kebun inti perusahaan juga belum diketahui yang mana,” ujar Isal.
Menurut Isal, kejelasan soal skema kebun plasma itu seharusnya sudah diterangkan saat perusahaan masuk, harusnya telah selesai dibahas dengan warga desa yang berada di wilayah konsesi HGU perusahaan.
Agus R. Tattu, warga Desa Malik, yang tanahnya masuk dalam HGU perusahaan, mengaku belum mengetahui mana luasan kebun plasma yang diberikan kepada masyarakat. Walaupun dia juga hadir dalam sosialisasi yang dibuat oleh perusahaan saat mereka masuk. Dia masih bingung soal sampai mana saja batas lahan plasma dan kenapa hingga sekarang dia tidak merasakan hasilnya.
“Hanya pernah dibahas [disebut] saat sosialisasi perusahaan masuk, tapi sampai sekarang belum ada juga [hasilnya]. Harusnya saat panen kita sudah merasakannya,” ucap Agus.
Sementara itu, pihak perusahaan mengklaim sudah menerangkan soal skema plasma sejak perusahaan hadir di Bualemo. Bahkan berbarengan dengan pembentukan koperasinya.
“Kalau itu sudah regulasi. Namanya kan kewajiban. Ada nama koperasinya di situ. nanti dicek lagi,” kata Lukito Wisnu Putro, External Affair Manager Kencana Agri.
Meski sudah dibentuk koperasi, Wisnu juga mengaku, koperasi itu tidak berjalan dengan baik.
“Sudah kita bentuk koperasinya, dengan harapan dapat mengakomodir identitas para petani plasma yang ada di Bualemo. Tapi sepertinya waktu itu masih mandek dan tidak berjalan dengan baik,” kata Wisnu lagi.
Penjelasan pihak perusahaan mengenai kebun plasma dan koperasinya, turut dibenarkan oleh Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Banggai.
“Persoalan kebun plasma dari PT WMP sudah ada. Bahkan koperasinya sudah dibentuk oleh perusahaan sejak lama. Nama koperasinya SMIL (Sawit Mekar Indah Lestari),” Dewi Wahyuni, Kabid Perkebunan, menjelaskan.
Menurut data yang mereka catat, perusahaan sawit PT WMP mulai melakukan panen buah pertama atau buah pasir di penghujung tahun 2014.
Dari luasan 8.773, 38 hektare HGU yang didapatkan oleh pihak perusahaan, PT WMP hanya mampu memaksimalkan 2.488,87 hektare ditanami sawit, dan yang aktif berproduksi hanya 1.482,56 hektare.
Sementara itu, menurut Koordinator BPP Bualemo, pihak perusahaan memang telah memiliki plasma, namun dengan luasan yang jauh lebih kecil, yakni total area plasmanya 17,02 hektare dan yang aktif berproduksi sebesar 5,60 hektare.
Selain perbedaan data, menurut Sahbudin, permasalahan kebun plasma di Bualemo adalah petani yang terlibat tidak mengetahui dengan jelas bagaimana skema plasma itu. Juga petani tidak mendapatkan untung sebagaimana janji manis perusahaan pada awal mereka masuk.
“Yang menjadi dilema petani saat ini ialah soal kejelasan lahan mereka yang telah menjalin kerja sama dengan perusahaan, namun belum ada hasil yang dirasakan.”
“Sudah sebelas tahun tidak jelas mengenai kesepakatan tersebut, maka dari itu mereka mau menarik lokasi [lahan] mereka yang kena HGU perusahaan,” ujar Sahbudin.
Walaupun menurut perusahaan dan pemerintah telah ada kesepakatan petani dan perusahaan untuk membentuk kebun plasma, Isal Khan berpendapat lain. Ia membantah adanya pembentukan kebun plasma di Bualemo, apalagi dengan kesepakatan dari petani. Dari dulu, sejak perusahaan masuk hingga sekarang tidak ada kejelasan soal plasma tersebut dibahas di tingkat masyarakat dan petani, katanya.
“Kalau sudah ada koperasi siapa ketuanya, mereka itu ada di mana?”
Menurut Lingkaran Gerakan Rakyat (Larra) sebuah organisasi masyarakat lokal di Banggai, juga bersikukuh bahwa PT WMP tidak menyediakan kebun plasma bagi masyarakat.
“Dari tahun 2008 masuk, sampai dengan tahun 2021 belum ada plasma,” ujar Syamsul Bahri Panigoro, Ketua Larra.
Bahkan dalam catatan Larra, data di lapangan berbanding terbalik dengan data yang diberikan oleh Dinas TPHP Banggai.
Data Larra menunjukan, luas HGU PT WMP yang terpakai seluas 2.505,88 hektare dan kewajibannya 20 persen kebun plasma yang harus dipenuhi oleh perusahaan di 10 desa lingkar kebun seluas 501,18 hektare.
“Di Desa Malik misalnya, ada 646,16 hektare HGU dan kewajiban 20 persen plasmanya adalah 129, 23 hektare. Desa Malik ini pusat perkebunan, dan tak ada sama sekali plasma, apalagi bagi hasil panennya.”
Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno, juga mempertanyakan soal koperasi petani sawit yang dijadikan indikator sebagai alasan telah dibentuknya kebun plasma oleh pihak perusahaan.
“Faktanya, tidak ada konversi lahan plasma. Hadirkan kebun plasma dulu. Untuk apa ada koperasi tapi tidak ada lahan kebun yang dikelola. Koperasi bukan indikator apakah ada kebun plasma atau tidak,” ucap Edi.
Kata Edi, keberadaan koperasi itu adalah wadah petani plasma sedangkan kebun plasma ialah kewajiban perusahaan. Kewajiban 20 persen sesuai peraturan perundang-undangan yang harus diwujudkan oleh pihak perusahaan, tapi dari dulu sampai dengan saat ini belum terealisasikan.
Edi bilang, pemerintah juga berhak mempertanyakan tentang keberadaan kebun plasma tersebut, tapi sayangnya hal ini tidak pernah dibicarakan. Pemerintah seperti tidak serius mengurusi masalah kejelasan kebun plasma tersebut.
“Intinya, hadirkan kebun plasma sebanyak 20 persen yang belum dilakukan perusahaan.”
Sengketa Lahan
Masda, warga Desa Nipa Kalemoa itu, kini hanya termangu membayangkan harapannya saat memutuskan datang ke Bualemo pada tahun 1991 melalui program transmigrasi. Dalam bayangannya, dia akan memiliki lahan legal yang siap untuk digarap, dia akan menjadi petani, menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Namun kenyataan berkata lain, lahan dua yang menjadi miliknya, masuk dalam kawasan HGU milik PT WMP. Bukan hanya dia sendiri, tapi hampir semua warga transmigran yang memegang sertifikat hak milik, masuk ke dalam konsesi perusahaan tersebut.
“Ada 15 hektare lahan saya dan keluarga yang masuk dalam kawasan HGU perusahaan,” kata Masda.
Menghadapi kenyataan itu, Masda berkecil hati, di pikirannya, dia hanyalah warga biasa yang tak kuasa menghadapi perusahaan. Maka, dia hanya rela melihat lahannya ditanami sawit oleh perusahaan. Perusahaan berjanji akan membagi keuntungan jika sudah waktunya panen.
“Perusahaan sudah berapa kali panen, tapi saya sebagai pemilik lahan belum pernah merasakan keuntungannya, sepersenpun,” ujar Masda
“Bahkan pajak lahan-lahannya ini masih aktif, saya bayar, tanpa menunggak.”
Safi’i juga senasib dengan Masda. Lahannya seluas satu hektare ditanami sawit oleh perusahaan. Padahal tanahnya itu memiliki sertifikat milik, tapi tetap saja diklaim masuk dalam izin HGU perusahaan.
“Saya ini heran, kami ini ikut program pemerintah tapi malah dipersulit,” ucap Safi’i ketus.
Menurut Syamsul, setidaknya ada 996 ha tanah bersertifikat dan 446 ha tanah warga yang memiliki SKPT masuk dalam konsesi perusahaan sawit PT WMP. Data yang dipaparkan Syamsul itu, ia kumpulkan dari warga dan perusahaan. Dia menilai, apa yang dilakukan oleh perusahaan merupakan penyerobotan hak atas tanah milik warga.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menegaskan, persoalan sengketa lahan dan perampasan hak atas tanah masyarakat oleh perusahaan sawit memang sering terjadi dan banyak modusnya. Mengenai lahan-lahan masyarakat transmigrasi yang masuk dalam kawasan HGU perusahaan adalah bagian dari perampasan.
“Kalau sudah ada sertitifikat dan diklaim masuk HGU itu melanggar hukum sebenarnya. Bisa dilaporan ke pihak berwenang, tapi kadang juga laporan seperti ini selalu tersendat dan butuh pengawalan,” ucap Surambo menjelaskan.
Menurutnya, lahan dua milik masyarakat transmigrasi itu statusnya HPL (Hak Pengelola Lahan) dan ini yang akan ditingkatkan pemda menjadi lahan-lahan yang bersertifikat.
“Pemda seharusnya memprioritaskan warga transmigrasi karena mereka ini butuh lahan dua mereka untuk bertahan hidup.”
Menurutnya, kebanyakan kepemilikan lahan HPL ini sangat lemah dan ini yang menjadi celah perusahaan sawit masuk dan merampas tanah masyarakat.
“Karena sudah dibersihkan atau dilakukan land clearing, makanya perusahaan dengan gampangnya masuk,” jelasnya.
Ironinya, komitmen para produsen perusahaan sawit yang memiliki sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) harus terbebas dari masalah-masalah lingkungan, agraria, dan permasalahan sosial.
“Kencana Agri itu memiliki sertifikat RSPO. Dan setiap penyuplai TBS dari anak perusahaan di bawah mereka bisa dilaporkan ke RSPO dan butuh pengawalan agar menjadi perhatian bersama.”
Pihak perusahaan, melalui Wisnu, tidak ingin memberikan komentar yang pasti terkait masalah sengketa lahan ataupun masalah HGU yang terjadi di Bualemo.
“Kalau ditanyakan informasi soal lahan HGU jangan tanya ke saya, kurang tepat yah. Karena HGU itu yang memberikan adalah negara. Dan di dalamnya ada lain-lain, seharusnya jangan tanya ke saya. Karena yang menerbitkan alas hak itu bukan saya,” ujar Wisnu saat dimintai keterangan mengenai sengketa HGU perusahaan dengan masyarakat Bualemo.
Pemerintah Daerah Banggai, melalui Tim Pokja Percepatan Penyelesaian Permasalahan Sumber Daya Alam dengan nomor SK Bupati: 541/426/Bag.SDA tertanggal 29 Maret 2022, berkomitmen akan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Masalah yang masuk dalam penyelesaian itu salah satunya kasus sengketa lahan petani yang masuk dalam kawasan HGU milik perusahaan Wira Mas Permai yang berada di Bualemo, Banggai.
“Laporan warga tentang PT WMP itu sementara kami tangani, bersamaan dengan kasus yang masuk lainnya,” ucap Ferlyn Monggesang, Ketua Tim Pokja.
Ferlyn menjelaskan, konflik agraria yang terjadi di Banggai akan diseriusi meskipun belum ada target kapan selesai. Karena banyak kasus-kasus dan laporan yang masuk setiap harinya.
“Banggai belum darurat agraria, semua masalah masih bisa diselesaikan dan pemerintah masih bisa menanganinya,” kata Ferlyn dengan yakin.
Sementara itu pernyataan mengejutkan keluar dari Sunarto Lasitata, Kabag SDA. Menurut Sunarto Tim Pokja belum maksimal. Dia mengusulkan untuk dilakukan perbaikan struktur kerja di dalam Tim Pokja. Jika dibiarkan seperti ini, katanya, banyak kasus yang tidak akan tertangani.
“Pokja ini gemuk struktur, tapi minim fungsi. Perlu perampingan agar semua bisa bekerja dengan maksimal.”
Kewajiban yang Menjelma MoU
Tim Pokja yang diketuai oleh Ferlyn pada bulan Maret kemarin telah mempertemukan pihak perusahaan PT WMP dan perwakilan pemerintah desa. Dalam pertemuan itu, baik perusahaan dan tiga desa di antaranya telah mencapai kesepakatan penandatangan MoU mengenai kebun plasma. Tiga desa yang setuju itu di antaranya Desa Longkoga Barat, Desa Binsil K dan Desa Binsil Padang.
“Tiga desa itu yang kami fasilitasi bertemu dengan perusahaan. Sisa desa yang lain yang belum mengambil sikap,” jelas Ferlyn.
Menurut Wisnu, pihak perusahaan juga akan segera memberikan hasil panen sawit kepada desa-desa yang berada di lingkar perkebunan milik PT WMP.
“Intinya adalah, perusahan sangat mengharapkan desa-desa yang ada di wilayah lingkup kerja Bualemo itu yang belum menerima hasil sawit seperti desa-desa lainnya untuk disegerakan.”
Kata Wisnu, skema bagi hasilnya nanti akan dirasakan oleh masyarakat.
“Mulai dari 11 persen, sekarang bahkan 35 persen dan 65 persen. 35 itu artinya untuk desa binaan kita, dalam hal ini plasma,” katanya.
Menurut TuK, plasma itu bukanlah MoU, tapi kewajiban perusahaan dalam membangun 20 persen kebun yang belum dilaksanakan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat Bualemo.
“Jadi apa yang mau di MoU. Sedangkan faktanya sampai dengan saat ini tidak tegak kebun plasmanya, dan ini yang menjadi titik persoalan sebenarnya,” kata Edi menegaskan.
Agus juga telah mendengar tawaran kebun plasma yang telah dikumandangkan kembali oleh pihak perusahaan setelah sekian lama mengambang dalam ketidakjelasan. Tapi hatinya telanjur sakit, dia tak mau lagi berurusan dengan perusahaan. Saat ini, dia hanya ingin menanam jagung saja, dengan jagung dia bisa memberikan kehidupan bagi keluarganya di rumah.
“Saya tetap menolak kalau ada plasma, saya sudah nyaman dengan jagung sekarang.”
Masda apalagi, dia dengan keras menolak tawaran plasma masuk ke dalam lahannya.
“Pohon kelapa dan mete saya sudah besar, saya tidak mau mengganti mereka dengan sawit,” kata Masda dengan raut penuh keyakinan.
Melawan dengan Menanam
Hujan Oktober membasahi lahan-lahan petani. Tanah yang awalnya keras berubah menjadi lembut dan lunak. Agus R. Tattu tak perlu repot-repot lagi menyewa traktor untuk membajak lahannya yang begitu luas. Alam sudah meringankan pekerjaan lelaki paruh bayah tersebut.
“Saat memasuki musim penghujan seperti sekarang ini, adalah waktu yang pas untuk menggemburkan tanah. Bagus untuk menanam kembali,” kata Agus saat beristirahat di bawah pohon mete yang sudah menginjak remaja.
Selama kurun waktu sepuluh tahun Agus harus menahan pelik, sebab janji bagi hasil yang dijanjinkan perusahaan tak kunjung datang. Ekonomi keluarga Agus saat itu mulai sulit, dia dengan terpaksa bekerja sebagai buruh. Namun, bekerja sebagai buruh juga tak seperti yang diinginkan. Agus tak bertahan lama dan memilih keluar.
Ketidakpastian yang dialami Agus, membuatnya berubah pikiran. Lahannya yang sudah ditanami sawit perusahaan direbut kembali. Dia berinisiatif, mengganti sawit dengan jagung dan tanaman lainnya untuk penghidupan keluarga di rumah.
“Kalau tidak berani mengolah kembali tanah, saya mungkin tidak bisa menghidupi keluarga saya sekarang ini,” ujarnya.
Agus juga bersyukur, panen jagungnya lima tahun belakangan ini melimpah. Bisa membuat rumah dan menghidupi keluarga.
Tak jauh beda dengan Masda. Dia menyulut api, dengan arti harfiah. Dia membakar seluruh tanaman sawit yang berada di lahannya. Tindakan Masda ini dinilai melanggar aturan. Dia pun mendapatkan surat panggilan oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan.
“Saya ingin mengolah lahan saya sendiri. Ini tanah saya, pajak saya yang bayar.”
Kabar Masda dipanggil polisi sontak tersiar ke seluruh desa. Bukannya membuat efek jera kepada para petani, tapi menyulut semangat beberapa petani yang lain. Petani lain mengikuti jejaknya, dengan satu alasan yang kuat, “tanah milik petani bukan milik perusahaan.”
“Beginilah bentuk marahnya petani. Ini bukti perlawanan kami kepada pihak perusahaan,” ucap Safi’I sambil menunjuk bekas-bekas lahan yang dulunya lebat dengan sawit yang kini hangus terbakar.
Agus juga ikut membereskan tanaman sawit di lahannya.
“Saya ingin hidup di tanah sendiri, tidak mau bergantung pada sawit yang tidak tahu kejelasannya. Hidup makin melarat jika bersandar pada sawit,” ucap Agus.
“Saya ingin menanam kembali jagung, kelapa, dan pohon mete. Jagung pernah membantu saya hidup sedangkan sawit tidak,” ucap Masda.
Agus dan petani lainnya kini sudah bisa merasa lega karena tanah mereka sudah bisa digarap secara mandiri dan bisa memberikan mereka penghidupan. Meski begitu, sengketa lahan dengan perusahaan masih terus membayangi pikiran warga dan petani yang ada di Bualemo.
Kata Masda, satu-satu cara yang harus dilakukan dalam posisi tersudut seperti dirinya adalah melawan. Di mana kebutuhan hidup terus meningkat, tapi tanah yang diharapkan dapat memberikan penghasilan hanya menguntungkan perusahaan.
“Menanam adalah cara para petani untuk melawan. Menanam apa saja yang dapat memberi kehidupan,” ucap Masda dengan lirih.
[1] Lahan dua adalah istilah yang merujuk ke “lahan usaha” yang menjadi salah satu item dari bantuan pemerintah untuk warga transmigran. Menurut UU Nomor 29 tahun 2009, ada dua jenis lahan yang diberikan ke warga transmigran, yakni lahan usaha dan lahan tempat tinggal.
Catatan: Liputan ini bagian dari Fellowship Liputan Sawit Mongabay Indonesia dan Perkumpulan Telapak