lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Potret Sekolah Pedalaman pada Masa Pandemi

oleh Defri Sofyan

Pada perjalanannya, sejak Gorontalo menjadi provinsi terakhir di Indonesia yang terpapar Covid-19 pada 10 April 2020 silam, Gorontalo pernah berada di posisi tertinggi kasus baru dan tingkat kematian penderita Covid-19, hingga sebaliknya, yakni posisi tertinggi tingkat kesembuhan dan terendah kasus positif baru.

***

Aisyah Raima Kasim, Wali Kelas I di SDN 10 Kabila Bone sedang mengajarkan siswanya membaca. Foto: Defri Sofyan

Sekolah dan Posisinya di Tengah Pandemi

Menurut Satgas Penanganan Covid-19 Provinsi Gorontalo, pada pekan awal November misalnya, Gorontalo berada di posisi pertama terendah kasus aktif Covid-19 dari seluruh provinsi, yakni dengan persentasi kasus yang hanya 1,2 persen secara nasional. Sedangkan tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di provinsi ini mencapai 96 persen dan tingkat kematian 2,7 persen.

Belum ada yang bisa memastikan apa penyebab naik atau turunnya kasus Covid-19, namun banyak pihak sepakat hal itu terkait dengan seberapa banyak masyarakat taat dengan protokol kesehatan.

Pada era adaptasi kebiasaan baru ini, sejumlah aturan telah disesuaikan, PSBB tidak lagi menjadi satu-satunya metode untuk mengontrol penyebaran Covid-19. Aktivitas sosial tidak lagi dibatasi selama menggunakan protokol kesehatan, instansi-instansi pemerintah dan badan pelayanan publik pun telah dibuka dengan syarat yang sama.

Namun bagi instansi pendidikan diberlakukan kebijakan yang berbeda. Kebijakan ini terkait sistem zonasi yang diterapkan pemerintah dengan menganalisis risiko kenaikan kasus di masing-masing daerah. Berdasarkan zonasi ini, daerah dengan zona merah (risiko tinggi) dan orange (risiko sedang) tidak diizinkan untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka.

Menurut Peta Risiko di laman covid19.go.id yang diakses pada 9 Desember 2020, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo berstatus zona orange, walaupun beberapa waktu lalu di seluruh kabupaten/kota kecuali Kabupaten Gorontalo sempat menjadi zona kuning.

Hal ini mengakibatkan sekolah-sekolah di Gorontalo tujuh bulan lamanya sejak April kemarin harus melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring.

Pembelajaran daring di daerah risiko tinggi dan sedang ini dinilai menjadi satu-satunya solusi agar lingkungan pendidikan tidak menjadi cluster penularan. Keputusan bersifat darurat ini tampaknya belum siap dilakukan oleh semua kalangan, terutama satuan pendidikan yang berada di daerah-daerah pelosok.

Dilema inilah yang harus dihadapi lingkungan pendidikan di pelosok daerah dengan status merah dan orange, dengan keterbatasan fasilitas mereka harus menyesuaikan dengan sistem pembelajaran daring yang mustahil terlaksanakan dengan maksimal, sementara pada saat bersamaan, hak untuk mendapatkan pendidikan tidak bisa diabaikan begitu saja.

***

Marwah (kiri) dan seorang temannya yang tetap belajar meski tak ada guru yang datang. Foto: Defri Sofyan.

Masalah Klasik

Kamis pagi (26/11/2020) kondisi Tamaila Utara tidak jauh berbeda dengan saat sebelum pandemi datang: Para petani sudah lebih dulu berada di lahan; di beberapa rumah terlihat para tetangga berkumpul tanpa batasan jarak yang kaku; orang-orang yang tak begitu banyak lalu lalang di jalan memulai aktivitas mereka di hari itu. Sesuatu yang berbeda adalah masker yang bergelantungan di leher mereka, kecuali bagi pengendara motor, masker terpasang dengan baik menutupi hidung hingga mulut.

Sekolah dan kantor desa yang saya datangi juga tidak ada pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat, kami sama-sama berjabat tangan dan melepas masker ketika berbicara.

“Di sini tidak ada corona, Pak!” canda seorang kepala dusun di desa itu yang saya temui.

Kedatangan saya ke Tamaila Utara bermaksud untuk melihat kondisi Kelas Jauh dari SDN 12 Tolangohula yang berada di Dusun Tumba, dusun terjauh desa itu. Saya ingin tahu bagaimana aktivitas belajar mengajar yang mereka lakukan saat pandemi seperti saat ini, karena untuk belajar secara daring seperti yang dilakukan sekolah-sekolah di perkotaan tentu hampir mustahil mereka lakukan.

Saya menemui Ishak Abdullah, Kepala Sekolah SDN 12 Tolangohula, di sekolah induknya untuk bertanya apakah ada model pembelajaran khusus di Kelas Jauh. Di sekolah induk itu, saya melihat siswa dan guru masuk seperti biasanya. Siswa-siswa mengenakan seragam lengkap bermain di halaman sekolah sementara para guru rapat di ruang dewan guru.

“Cara pembelejaran kami selama ini luring, kalau ada kendala-kendala, guru-guru yang akan mendatangi rumah siswa. Tidak boleh daring karena kan jaringannya tidak ada,” kata Ishak.

Walaupun luring, pembelajaran yang mereka lakukan adalah dengan cara membagi siswa per gelombang untuk mengurangi perkumpulan. Dia berharap pemerintah bisa segera mengizinkan mereka sekolah seperti biasa. Karena menurutnya kondisi di sekolahnya aman dari corona, tidak ada guru, siswa maupun keluarga mereka yang pernah tetular.

Selain membatasi jumlah siswa per gelombang, aturan lainnya yang diterapkan sekolahnya adalah tidak mengejar kurikulum yang telah ditetapkan, sesuai dengan yang disosialiasikan dinas pendidikan kepada mereka.

“Pemberian tugas itu boleh juga hanya tiga nomor sampai lima nomor, yang penting masing-masing siswa itu mendapat tugas.

Sedangkan untuk kelas jauh yang berada di Tumba menurut Ishak aktivitas belajar mengajar seperti biasanya, tak ada yang berubah.

“Jumlah siswanya kan cuma satu dua orang, ada empat orang, jadi boleh masuk. Tatap muka. Kebetulan di Tumba kan zona hijau,” kata Ishak.

Setelah mengunjungi sekolah induk SDN 12 Tolangohula itu, besok harinya saya pergi ke Tumba, ke Kelas Jauh dari sekolah itu. Jalan ke Tumba memang cukup jauh dari desa, dusun itu letaknya berada jauh melewati bebukitan, pemukiman terakhir sebelum masuk kawasan hutan konservasi Suaka Margasatwa Nantu.

Hanya ada 128 jiwa yang menghuni dusun ini. Sumber listrik hanya mengandalkan panel surya dengan daya yang tak seberapa ditambah pembangkit listrik piko hidro yang tidak berfungsi baik. Jaringan seluler sama sekali tak terjangkau, sedangkan internet yang belum lama dipasang tidak menjangkau seluruh wilayah dusun dan dengan kondisi yang tak stabil.

Kesulitan infrastruktur itu menurut warga sekitar tidak lain karena kondisi jalan yang ekstrem. Saya sendiri harus menahan rasa was-was setiap kali naik ojek ke Tumba, karena jalannya yang berbatu, licin dan sempit, sementara di satu sisi jalan terhampar jurang yang curam.

Saya sampai di Tumba pada pukul 9.00, langsung menuju bangunan Kelas Jauh SDN 12 Tolangohula yang ada di sana. Sampai di sekolah saya hanya menemui dua orang siswa tanpa seragam yang sedang belajar sendiri tanpa guru.

“Tidak ada ti Ibu (Ibu guru tidak ada),” kata Marwah siswa kelas tiga di sekolah itu.

Marwah dan seorang temannya itu setiap hari akan datang ke sekolah, persoalan hadir atau tidaknya guru mereka itu adalah soal kedua. Rita Mahajani, ibu Marwah, yang menyuruhnya untuk selalu datang ke sekolah.

“Pokoknya harus datang, walaupun tidak ada guru saya menyuruh mereka belajar sendiri. Soalnya saya takut dia ketinggalan pelajaran,” kata Rita.

Ada atau tidak ada guru memang bukanlah kejadian satu dua kali yang dialami Marwah dan teman-temannya. Maka Rita pun menyuruh anaknya agar datang saja setiap hari sekolah, kalau tidak ada guru bisa belajar sendiri.

“Biasanya Ibu Guru memberi kabar kalau mau turun (dari Tumba), kecuali mungkin ada urusan mendesak seperti sekarang,” kata Rita.

Menurut Zatiya, salah satu guru di Kelas Jauh di Tumba, mereka hanya mempunyai 25 orang siswa dan 3 orang guru. Seringkali mereka para guru harus turun ke sekolah induk, ke dinas untuk rapat dan semacamnya, atau ketika ada urusan keluarga, sehingga mereka terpaksa meliburkan sekolah.

Kondisi seperti itu sudah lama terjadi, jauh sebelum pandemi datang. Praktis tak ada yang berubah dengan aktivitas belajar mengajar di Kelas Jauh di Tumba. Para siswa tidak dituntut berseragam lengkap, jam belajar yang fleksibel dan masalah klasik tentang keterbatasan fasilitas.

***

Rumah Marwah. Mereka biasanya akan kembali setelah menunggu hingga pukul 10.00 guru tak kunjung datang, itu berarti hari itu guru tak akan masuk. Foto: Defri Sofyan

Sama Saja

Setelah dari Tumba saya pergi ke Waolo, dusun yang sama terpencilnya dengan Tumba. Waolo adalah salah satu dusun di Desa Molotabu, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Bedanya di dusun ini, sekolahnya sudah berstatus sekolah negeri sejak tahun 2010, yakni SDN 10 Kabila Bone. Tapi status tinggallah status, kondisinya masih serupa dengan kelas jauh yang ada di Tumba.

Sambutan yang sama juga saya terima dari warga di sana saat menanyakan tentang corona,

“Tidak ada corona di sini, Pak. Corona capek kalau naik ke sini,” canda seseorang yang kebetulan juga Kepala Dusun.

Jika di Tamaila Utara, desa di bawah Tumba saya masih melihat banyak orang memakai masker meskipun hanya bergelantungan di leher mereka, namun sama dengan di Tumba, di Waolo saya tidak melihat satu pun orang menggunakan masker, protokol kesehatan sama sekali tidak diterapkan. Berada di Tumba dan Waolo membuat kita lupa dengan pandemi dengan segala protokolnya.

Beruntung ketika saya ke Waolo saya menemui anak-anak yang belajar ditemani guru mereka. Anak-anak belajar dengan ceria, tidak ada masker dan jaga jarak, guru mereka pun demikian, begitupun saya, masker hanya saya biarkan menggantung di leher.

Melihat momen anak-anak belajar itu saya ingin mengambil foto, bukan bermaksud mengekspos pelanggaran protokol kesehatan, tapi semata untuk mengambil momen anak-anak belajar dengan kondisi apa adanya.

“Pak tidak mo kase pake masker dulu anak-anak? (Pak tidak dipakaikan masker dulu anak-anak?)” sergah seorang guru yang tampaknya khawatir.

Namun begitu ada model pembelajaran khusus yang mereka terapkan yang membuatnya sedikit berbeda dengan kelas jauh yang ada di Tumba.

“Jadi kami tidak belajar di sekolah, tapi di rumah-rumah siswa. Kami membaginya sesuai dengan jumlah kelas, enam kelompok,” kata Aisyah Raima Kasim, salah satu guru.

Selain pembagian kelompok, juga ada jam mengajar dan kurikulum yang mereka sesuaikan. Setiap kelas hanya berlangsung dua jam tiap harinya, dan tugas-tugas juga dikurangi.

”Kemarin kami dapat bantuan pulsa, siswa dan guru-guru dapat, tapi, yah, tidak ada gunanya, Pak,” kata Apipa Ilyas, seorang guru yang menemani Aisyah mengajar pagi itu.

Waolo dan Tumba juga sama mengenai kondisi jalan, jaringan seluler, internet dan listrik yang menjadi prasyarat belajar daring bisa diterapkan. Masalah klasik tentang kekurangan fasilitas membuat adaptasi terhadap pandemi semakin sulit dilakukan oleh mereka.

Padahal melihat kondisi para siswa yang rumahnya berjauhan hingga berkilo-kilo meter dan melewati medan yang sulit itu, sistem belajar jarak jauh terlihat sangat cocok untuk diterapkan terlebih pada masa-masa pandemi seperti sekarang ini. ***

Related posts

Rafiq dan Penolakan Pasien Corona 44

Admin

Aroma Kopi dan Nestapa Masyarakat Pinogu 

Admin

Dengan Bambu Runcing, Mereka Menolak Tambang di Sungai Saddang

Admin

103 comments

Leave a Comment