Oleh: Syam Terrajana,
Perupa-Jurnalis. Orang Kabila Kiri.
Apa rasanya jadi pohon? Ditumbuhkan tanah hingga perkasa. Berakar menghujam bumi. Menjadi tua. Sendiri. Ditelan usia. Menjulang tinggi diterpa angin. Rapuh. Meranggas lalu gugur. Mari bertanya pada Rizal Misilu.
Sejak kecil, Rizal memang sudah rajin corat-coret. Saat SD, nyaris seluruh buku catatannya dipenuhi gambar. Dia ingat, betapa bersemangatnya dia menghabiskan kertas dan tinta spidol 12 warna pemberian seorang paman. Atau bagaimana dia diam-diam membuat komik strip di majalah dinding SMAN 1 Manado; sekolah tempat dia belajar. Suatu hari, seorang kawan sekolahnya dengan antusias menceritakan perihal komik itu kepadanya.
“Jago sekali yang bikin komik itu, kamu harus belajar sama yang bikin.”
Rizal hanya tersenyum kecil. Sampai suatu ketika, kawan itu mengumpatinya, begitu tahu komik anonim itu ternyata tak lain adalah karyanya.
Bersama bakat menggambarnya, Rizal tumbuh jadi anak yang penuh percaya diri. Sejak SMP, dia sudah mematok diri ingin kuliah di sekolah seni rupa. Dia mengenal nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta lewat sebuah buku pelajaran. Padahal tak ada satu pun keluarganya berkecimpung di dunia kesenian, apalagi seni rupa.
“Aku ingin kuliah seni rupa di Yogyakarta,” katanya.
Mulanya, Asma Liputo sang ibu yang berprofesi jaksa, ragu dengan pilihannya itu. Tapi Rizal kian gigih dengan cita-citanya. Tahun 1990, dia hengkang meninggalkan Manado. Itulah pertama kalinya Rizal merantau seorang diri, bercerai dari asuhan orang tuanya. Setiba di Yogyakarta, dia sempat kecewa. Kampus ASRI yang diidamkannya sudah tak ada lagi. Adanya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Rizal yang polos sebelumnya memang tak tahu, itu adalah kampus yang sama. Hanya bersulih nama saja. Mantaplah dia mendaftarkan diri. Mulanya, Rizal ingin mendaftar di Departemen Seni Lukis. Tapi kemudian dia malah memilih Desain Komunikasi Visual. Semata-mata karena penasaran. Tapi alangkah kecewanya Rizal, ternyata dia tidak terterima. Sedih, marah, dan kecewa bercampur jadi satu.
“Aku ingat, saking marahnya, aku sampai memenuhi lantai kos-kosan dengan tulisan: bodoh.”
Rizal mengumpati diri sendiri. Tapi dia tak mau sedih berlama-lama menghinggapinya. Rizal lalu memutuskan menunda kuliah setahun. Sebagai gantinya, dia bersiap diri. Tekun berlatih. Membuat sketsa, gambar bentuk dan lain sebagainya.
Suatu hari Rizal diperkenalkan dengan seorang seniman yang mendiami sebuah Rumah Toko (Ruko) di dekat kampus ISI, Gampingan. Ruko itu bernama “Logro”. Menjual lurik di lantai bawah. Sedangkan lantai atasnya menjadi studio sang seniman. Si seniman separuh baya itu dengan sukarela mengampunya. Di hadapannya, diletakkan berbagai macam benda; buah apel, kendi, botol, sampai sepeda ontel.
“Sekarang kamu gambar itu semua,” ujar sang seniman.
Ada dua bulan dia menempa diri di studio itu. Sementara dia berlatih, sang seniman melukis di tempat yang sama. Sembari memberi masukan kepadanya. Belakangan dia baru tahu, pria paruh baya yang mengampunya itu ternyata seniman besar dan legendaris, namanya: Joko Pekik.
Tiba saatnya tes dan praktik ujian masuk. Semuanya diikuti dengan mantap. Tak lama berselang pengumuman pun tiba. Rizal ingat, hari itu dia sibuk mencari koran yang memuat hasil tes masuk ISI. Dia mencari kemana-mana, tapi koran itu sudah raib diperebutkan orang yang senasib dengannya. Lalu dia diantar oleh seorang bernama Bang Onte, anak dari orang tua angkatnya. Ya, Rizal memiliki orang tua angkat asal Aceh yang bermukim di Yogyakarta. Idris Noor namanya. Rizal memanggilnya “Abah”. Rupanya Abah dulu teman sejawat ibunya di Manado
“Di kampus ISI, pasti koran itu dipajang.”
Benar saja, begitu tiba dia langsung menerobos kerumunan, mengawasi nama-nama yang terpampang satu persatu. Di bawah langit Yogyakarta yang cerah kala itu, dia bersorak begitu menemukan namanya tertulis di sana.
”Ini harus dirayakan, kamu punya duit berapa? Bawa sini,” ujar Bang Onte tersenyum.
Hari itu Rizal bersama kawan-kawan abangnya patungan membeli dan menyembelih seekor mentok. Mereka pesta pora, masak mentok rica-rica merayakan kemenangan.
“Kamu yang paling bahagia hari ini, kamu juga yang paling muda di antara kami. Jadi buat kamu cukup ini saja,” tutur sang abang sambil menyorongkan potongan leher kepadanya.
Rizal tertawa terbahak-bahak dan segera melahapnya dengan bahagia. Hari itu, Rizal resmi jadi mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Di kalender tertulis tahun 1991.
Begitulah, selanjutnya kehidupannya diisi dengan gambar, gambar dan gambar. Teramat menyenangkan. Tapi baru beberapa bulan dia kuliah di kampus legendaris itu, kabar duka datang dari seberang pulau: ayahnya, Anwar Misilu meninggal dunia. Rizal begitu terpukul.
Dia kembali ke Manado, berdiam diri di pusara ayahnya. Rizal patah arang. Kepada ibunya, dia menyatakan tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta. Dia tak ingin menambah beban ibunya. Masih ada kakaknya yang kuliah, ada juga adiknya yang masih sekolah.
“Tidak, kamu harus kembali. Ibu ingin lihat kamu kelak pakai toga,” seketika ucapan ibunya itu melecut Rizal. Akhirnya dia kembali ke Yogyakarta.
Rizal menamatkan pendidikannya enam tahun kemudian (1996). Lalu bekerja di bidang advertising-event organizer selama kurang lebih 21 tahun. Penguasaan beragam teknik rupa yang pernah dia lahap di bangku kuliah, tentu sangat membantu pekerjaannya itu. Dalam kurun waktu selama itu, dia tak nyaris pernah meninggalkan minatnya yang tumbuh bersamanya sedari kecil: menggambar. Dia menggambar di sela-sela kerja, dengan media seadanya. Paling banyak di kertas bekas yang banyak berserakan di kantornya. Sayang, sebagian besar karya-karya itu tak terdokumentasikan dengan baik. Tercecer. Kalau tidak terbuang begitu saja.
“Itu salah satu penyesalan terbesarku,” ujarnya kepada saya, pada sebuah malam senyap dan dingin di kediaman sekaligus studionya, Sidoarum, pinggiran Kota Yogyakarta.
Baru pada 2006, Rizal mulai sadar dokumentasi. Dia mulai tertib; menggambar di buku sketsa. Sialnya, buku itu sampai sekarang belum penuh-penuh juga. Malam itu dia memperlihatkan buku tua itu kepada saya. Obyek-obyek yang digambarnya beragam dan sangat ilustratif. Juga komunikatif. Soal teknik, Rizal sudah selesai. Dia matang untuk soal itu.
Tahun lalu, kawan-kawan di Riden Baruadi Gallery menantang Rizal untuk berpameran tunggal di Gorontalo, kampung halamannya yang tidak dia begitu kenal dengan baik. Sejak tantangan ini ditawarkan kepadanya, ada beberapa kali Rizal curhat kepada saya perihal hal ini: tentang betapa berjaraknya dia dengan Lipu’unya.
Apa boleh buat, meski kedua orang tuanya Gorontalo totok, boleh dibilang dia hanya numpang lahir saja di Gorontalo. Satu tahun kemudian, ayah ibunya memboyongnya ke Manado. Di sana dia tumbuh hingga remaja. Setelah itu, dia merantau hingga menikah Yogyakarta, beranak pinak dan bekerja di Jakarta lalu kembali ke Yogyakarta.
Rizal nyaris tak punya memori kuat tentang Gorontalo. Saat bercakap-cakap dengannya, kami menggunakan sedikitnya tiga bahasa dan dialek: Manado, Betawi dan Jawa. Istrinya, Laila Tifah yang juga seorang perupa pun demikian; mendiang ayahnya, Nasjah Jamin adalah perupa cum sastrawan berdarah Minang, sedang ibunya asli Bantul, Yogyakarta. Laila Tifah lahir dan besar di Yogyakarta. Mereka adalah pasangan yang berdiri di perbatasan. Produk dari betapa kaya raya dan beragamnya suku-bangsa di Indonesia. Saya membayangkan, di meja makan mereka bisa saja tersaji dabu-dabu, rendang dan gudeg sekaligus. Serupa Hispanik, Mestiezen-Cultuur.
Cukup lama Rizal mencari daya ucap untuk pameran tunggal perdananya ini. Saya berulang kali memancingnya untuk mengais-ngais, bila perlu menggeledah ingatannya. Tapi menurutnya tak ada yang berkesan. Sedikitnya, dia masih nampak Gorontalo karena masih doyan ikan bakar, dabu-dabu dan Binthe Biluhuta,-itupun dia baru tahu dari resep saya,-bahwa dabu-dabu lebih enak jika dicelupkan potongan bara tempurung hasil bakaran ikan. Atiolo…!
Sebagian besar dari 30 karya pada pameran tunggal perdananya ini, berobjekkan pohon, daun dan akar. Kenapa bisa begitu?
Itu bermula dari duka kecil. Suatu hari pada 2018 silam, Rizal bereksperimen membuat hidroponik. Menanam sayur mayur. Tanaman itu lantas layu dan mati ketika dia tinggal pergi ke luar kota. Dia menyesal. Tapi dari peristiwa itulah dia menemukan jawaban.
“Sekarang aku tahu apa yang akan aku gambar.”
Sejak saat itulah, dia mulai tekun mengamati pohon, meraba kulitnya yang keras, batang-batang yang krowak. Dia bisa berlama-lama melihat ranting-ranting kering, daun daun gugur dari pohon rambutan, melinjo yang tumbuh di halaman rumahnya.
“Aku merekamnya lekat-lekat dalam ingatan, aku menghindari untuk memotretnya dengan kamera. Apa yang terekam lantas aku tuangkan dan kembangkan di atas kertas dan kanvas.”
Anatomi, komposisi pohon pada torehan ballpointnya di atas kertas terasa penuh gelora dekora. Saya menangkap kesan, sekira begini; sepi, teguh, kokoh sekaligus rapuh. Rizal sengaja meminjam analogi pohon untuk mengumpamakan banyak hal. Ya keteguhan, rindu yang akut, hidup dan mati. Juga Harapan. Mari tengok karya kecilnya di atas kertas “gairah kecil di dalam sepi” (22 x 22 Cm) sepotong kayu tua yang hendak mampus menumbuhkan pucuk daun hijau. Teknik ecoprint yang dia bubuhkan, bersanding dengan teknik drawing pen. Sangat ilustratif, loud and clear. Ada kenakalan tersembul di sana. Juga harapan.
Sebagai jebolan desain komunikasi visual, Rizal menyuguhkan karya-karya visual yang bertradisi single objects, single messages. Pada sebagian besar karya-karyanya yang dia pamerkan, Rizal menyelipkan pesan dalam arti sebenarnya; tulisan dan kalimat tumpat padat yang disamarkan. Pesan yang sia-sia untuk dibaca. Barangkali, itu adalah bagian-bagian rahasia dalam hidupnya yang dengan malu-malu ingin dia pamerkan. Bisa jadi, penyamaran itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan pesan yang dia inginkan. Di hadapan publik, sudah sepatutnya karya-karya itu tumbuh kembang biak tafsirnya di lain mata dan lain kepala orang-orang.
Pada karya lainnya, dia menggambar dengan vulgar. Itu adalah penampakan sepotong perahu motor pecah, di badan depannya tertulis “Bone Da’a”. Lewat gambar ini, Rizal ingin mengenang seterang-terangnya. Itu adalah kisah perahu motor milik ayahnya.
“Waktu aku kecil, ayah punya perahu motor dan rumpon. Suatu hari perahu itu dihantam ombak lalu pecah, aku masih ingat, bagaimana sedih di raut muka ayah waktu itu.”
Lewat garis, Rizal ingin menceritakan sesuatu kepada kita. Saya menyebut pameran tunggal perdananya ini sebagai “proyek anak hilang”. Pameran ini berpangkal dari rasa rindu yang mencari obatnya. Sebagai manusia Gorontalo yang menapaki laku seni visual di belantara Yogyakarta-Jakarta, lama Rizal jadi pejalan sendiri. Terberai dari segelintir memori kampung halamannya. Tak heran dia teramat girang, ketika kami tak sengaja jumpa untuk pertama kalinya pada sebuah pameran di Ruangdalam Art House, Yogyakarta 2018 silam.
Terlebih setelah dia tahu, di kampung halamannya kini sedang bertumbuh medan seni rupa yang sampai sekarang terus dipupuk secara kolektif oleh komunitas “Tupalo”, Riden Baruadi Gallery, Huntu Art Distrik, dan banyak simpul lainnya.
Si anak hilang itu kini datang, sekaligus pulang ke Gorontalo. Semoga keping-keping lama terserak itu dapat ditemukan kembali. Dirangkai menjadi sesuatu yang semoga tidak hanya jadi melankolis. Tapi menjelma energi yang ikut menerangi jalan sepi bernama seni rupa Gorontalo.
Selamat berpameran tunggal, Rizal Misilu!
Foto utama: Rizal Misilu (Dok.Facebook)
1 comment
[…] menuju Yogyakarta untuk kuliah seni rupa pada awal tahun 1990-an. Rizal yang dianalogikan sebagai anak yang hilang, seolah telah ditemukan kembali atau kembali pulang, melalui geliat seni rupa yang telah dibangun […]