lipunaratif.com
Image default
Feature/In-depth

Silang Sengkarut Danau Limboto

Penulis: Christopel Paino

Di hamparan yang luas itu, Sutarjo Polontalo memperlihatkan peta. Tangannya menunjuk lokasi-lokasi yang sudah diberi angka dan dilingkari spidol. Gambarnya berisi kotak-kotak persegi, tentang kaplingan tanah milik warga. Tempat ia berdiri adalah kotak dengan angka dua dan dilingkari spidol berwarna merah. Lokasi ini mengatasnamakan dirinya sendiri. 

“Kita sekarang berada di sini. Total semuanya ada 116 lokasi dan 105 orang pemilik lahan,” kata pria paruh baya itu.

Hamparan ini merupakan area Danau Limboto yang telah berubah menjadi daratan.  Meski disengat panasnya matahari, Sutarjo antusias menjelaskan proses penguasaan lahan. Terutama yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Hutuo, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo. Ia hapal satu per satu siapa saja nama-nama pemilik lahan, lengkap dengan luasannya. 

“Menurut orang tua, tanah danau ini dikapling sejak tahun 1940-an. Lalu di susul tahun 1970-an. Namun di tahun 1980-an, penguasaan tanah di Danau Limboto mulai ramai dan memiliki sertifikat dari Badan Pertanahan yang ketika itu masih bergabung dengan Departemen Dalam Negeri,” ungkap Sutarjo. 

Di tahun 1980-an itu, Sutarjo menjabat sebagai Kamra (Keamanan Rakyat), yang bertanggung jawab pada polisi. Lalu pada tahun 1992, ia ditunjuk sebagai Koordinator Hansip. Tugasnya adalah mengawasi dan menertibkan penguasaan dan pengelolaan tanah yang ada di Danau Limboto. Sutarjo mencatat dengan baik nama-nama itu. Tak heran jika ia tahu siapa saja pemilik lahan, termasuk para pejabat-pejabat di desa tetangga yang ikut menguasai areal Danau Limboto dan dikonversi menjadi persawahan.

“Tanah di Danau Limboto ini subur. Tidak perlu pupuk untuk bercocok tanam,” katanya.

Selasa siang, 5 April 2016 itu, Sutarjo menelusuri perkebunan miliknya. Ia ikut memiliki lahan di Danau Limboto. Luasannya sekitar 10 hektar. Ia tak mengelolanya sendiri. Sebagian ia percayakan kepada saudara atau kerabat terdekat yang ingin bercocok tanam. Jenisnya macam-macam, mulai dari jagung, terong, kacang panjang, rica, tomat, hingga melon.

“Yang di sana, ibu-ibu sedang memetik rica. Mereka baru saja panen. Hidup mereka bergantung dari tanah di danau ini,” katanya menunjuk pada salah satu kebun.

Tidak jauh dari tempat Sutarjo berdiri, alat-alat berat sedang mengeruk tanah-tanah yang akan dikembalikan pada fungsi semula sebagai danau. Truk lalu-lalang mengangkut hasil kerukan dan pergi meninggalkan debu-debu. Tanah-tanah yang dikeruk itu memiliki SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah) dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang). Serta sebagian yang belum dikeruk memiliki sertifikat tanah dari BPN.

Menurut Sutarjo, ini menjadi masalah. Karena tanah yang dikeruk itu memiliki bukti kepemilikan tanah. Kemudian pemerintah provinsi melalui Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Gorontalo, mengaku akan membayar ganti rugi. Dengan hitung-hitungan jika tanah yang bersertifikat dari BPN akan dibayar Rp 50 ribu per meter, tanah dengan SKPT Rp 30 ribu permeter, serta tanah yang memiliki SPPT dibayar Rp 20 per meter.

“Tapi lihat tanah yang sudah dikeruk ini, sampai dengan saat ini belum dibayar,” kata Sutarjo menunjuk tanah yang sudah menjadi danau.

Karena ia adalah koordinator pengawas lahan di danau itu, maka warga yang memiliki tanah sering mendatangi dirinya. Bahkan pada akhir tahun 2015, katanya, nyaris terjadi bentrok dengan operator alat berat. Warga keberatan tanah yang belum dibayar sudah dikeruk.

“Kami mendatangi kantor Bappeda dan sudah tanda tangan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) bahwa kami menyerahkan foto copy bukti kepemilikan tanah kepada posko terpadu revitalisasi Danau Limboto,” katanya.

BAP tersebut menurutnya belum ada tindak lanjut. Warga terus mendesak Sutarjo agar menyelesaikan pembebasan lahan. Demi memperjuangkan itu, ia mengaku sempat beradu mulut dengan salah satu pegawai dari Bappeda.

Untuk mendapatkan tanah di Danau Limboto, prosesnya cukup gampang. Di Kelurahan Hutuo, katanya, cukup melapor kepada kepala kelurahan dan petugasnya, kemudian akan dilihat siapa pemohonnya, lalu disurvei lokas tanah. 

“Hingga saat ini masih banyak yang bermohon, tapi saya bilang saya tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dikemudian hari.”

Papan pembertahuan mengenai pengerukan sedimen Danau Limboto. Foto: Christopel Paino.

Penataan Danau

Siang pada 1 April 2016. Sutarjo mendatangi Ball Room Hotel Maqna, Kota Gorontalo. Ia menjadi peserta Forum Konsultasi Publik dalam rangka percepatan legalisasi Perda Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Danau Limboto. Kegiatan ini digelar Dinas Pekerjaan Umum. Pembicaranya Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, utusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Direktorat Jenderal Tata Ruang), utusan Badan Geo Spasial, serta konsultan RRTR Danau Limboto.

Sutarjo menyampaikan uneg-unegnya kepada kepala Bappeda. Ia mengaku membawa aspirasi warga dan menjelaskan awal mula penguasaan Danau Limboto hingga bisa memiliki sertifikat tanah dari BPN. Tak lupa, contoh-contoh sertifikat tanah ia bawa sebagai bukti.

“Masyarakat tahu tanah-tanah yang sudah dikeruk itu akan diganti rugi. Tapi hingga saat ini belum ada realisasinya,” protes Sutarjo.

Budiyanto Sidiki, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, langsung menanggapi. Menurutnya, pada saat pihaknya mulai menata zonasi, mereka ingin mendapatkan gambaran tentang masyarakat yang sudah memiliki sertifikat tanah di atas Danau Limboto. Sayangnya, tidak mudah mendapatkan sertifikat atau bukti pemilikan tanah jika diminta.

“Maka kami umumkan pada masyarakat lewat iklan media massa, bagi bapak ibu yang merasa memiliki atau menguasai tanah, segera disampaikan. Tujuannya untuk diidentifikasi. Kami tidak bilang akan diganti rugi atau dibayar. Kenapa diidentifikasi karena berkiatan dengan penataan, zonasi Danau Limboto,” tandasnya. 

Dengan cara seperti itu, kata Budiyanto, mereka jadi tahu siapa saja yang memiliki tanah di atas Danau Limboto, dan terbukti pihaknya mendapatkan 97 bukti kepemilikan tanah dengan beragam macam. 

Data Bappeda Gorontalo menyebutkan, kawasan perairan danau telah diperuntukan seperti sawah (637 hektar), ladang (329 hektar), perkampungan (1.272 hektar), dan peruntukan lainnya (42 hektar). Selain itu, pendangkalan Danau Limboto akibat sedimentasi dari 7 sungai utama yang bermuara ke danau. 

“Kurang tegasnya penegakan peraturan tentang garis sempadan danau mengakibatkan adanya penguasaan perorangan melalui sertifikasi tanah-tanah yang pada dasarnya merupakan areal kawasan danau.”

Sementara enceng gondok di Danau Limboto tumbuh meluas. Luas sebaran enceng gondok mencapai sekitar 30 persen dari luasan danau. Konsentrasi terbesar berada dibagian tengah. Sedangkan penurunan daya tampung danau, menyebabkan Danau Limboto hampir setiap musim hujan mengalami banjir. Area yang selalu tergenang pada saat musim hujan adalah di sekitar danau daerah hilir Sungai Biyonga dan Sungai Tapodu, serta area disepanjang sungai Alo Pohu.

Namun berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah Gorontalo, tutupan enceng gondok dan tanaman air lainnya mencapai 70 persen dari luasan danau. Sedang luas hutan di DAS Limboto 14.893 hektar atau 16.37 persen dari luas DAS. Hal ini sangat jauh di bawah persayaratan minimum sebesar 30 persen. 

Kerusakan hutan memperbesar tingkat erosi tanah dan menyebabkan lahan-lahan yang ada menjadi kritis. Luas lahan kritis mencapai angka 26.097 hektar. Sementara tingkat erosi di DAS Limboto mencapai angka 9.902.588,12 ton per tahun atau rata-rata 108.81 ton perhektar  per tahun. 

Sementara data dari BP-DAS (Balai Pengelola-Daerah Aliran Sungai) Bone Bolango menyebutkan bahwa area tangkapan air di Danau Limboto berasal dari beberapa Sub DAS yakni Allo-Pohu (50.384 hektar), Bionga (6.934 hektar), Bulataa (6.363 hektar), Marisa (4.782 hektar), Meluopo (7.289 hektar), Olilumayango (4.885 hektar), Rintenga (4.044 hektar) dan Tolulodo (2.827 hektare).

Namun kontribusi terbesar dalam sedimentasi ke Danau Limboto yaitu sub DAS Allo-Pohu sebesar 40,8 persen, disusul Bionga 18 persen, Olilomayango 12,7 persen, dan Meluopo 10,8 persen. Sejak tahun 2010, hasil sedimen yang masuk ke Danau Limboto sekitar 10,55 jua ton per tahun. 

Masalah Zonasi Danau Limboto

“Danau Limboto ini adalah salah satu oasis terbesar yang ada di Gorontalo.”

Kalimat tersebut diucapkan oleh Iksan, konsultan untuk Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Danau Limboto. Ia memberikan materi dengan judul, “Danau Limboto The Great Oasis Gorontalo”, dan menjelaskan tentang zona penanganan Danau Limboto.

Menurut Iksan, berdasarkan RPJMN 2015 dinyatakan bahwa arahan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah Sulawesi adalah pengembangan kawasan perkotaan dan perdesaan, di antaranya pengembangan kawasan Danau Limboto untuk rehabilitasi dan revitalisasi waduk demi terwujudnya swasembada pangan. Juga penanggulangan bencana seperti banjir. 

Iksan juga menyebut Perda nomor 1 tahun 2008 tentang pengelolaan Danau Limboto yang telah menetapkan zonasinya, yaitu zona sempadan, zona budidaya, zona penyangga, dan zona lindung. Namun menurutnya, regulasi tersebut tidak secara rinci menjelaskan wilayah zonasinya sehingga perlu penyempurnaan Perda.

“Untuk itu kami membuat visi misi penataan kawasan danau, yaitu menciptakan kawasan Danau Limboto sebagai kawasan strategis dari sudut pandang lingkungan hidup, sebagai lokomotif dalam pengembangan ekonomi sosial budaya dan kawasan wisata di Gorontalo,” kata Iksan.

Ia mengatakan potensi-potensi yang ada di Danau Limboto antara lain suplai ikan air tawar, transportasi, permukiman perdesaan, lahan pertanian sawah, lahan pertanian hortikultura, ruang terbuka hijau, permukiman perkotaan, sejarah, pariwisata dan rekreasi. 

Sutarjo memperlihatkan tanah warga yang telah dikeruk dan berubah menjadi danau. Ia menagih pembayaran ganti rugi untuk tanah tersebut. Foto: Christopel Paino

Dalam pemaparannya, Iksan menampilkan gambaran ilustrasi Danau Limboto sebagai jalur pedestarian, taman kota, jalan lingkar danau, ruang terbuka hijau, ilustrasi wisata sejarah dan budaya, serta ilustrasi pola ruang kawasan pertanian dan perkebunan.

Irwan Bempah, Sekretaris Forum DAS Limboto menimpali penjelasan konsultan tersebut. Menurutnya, dalam proses kebijakan ia melihat ini adalah regulasi atau calon Perda gagal. Jika belajar dari Perda-perda sebelumnya yang gagal, Irwan melihat ada kemiripan dari proses yang dibangun. 

“Dari sisi substansi yang disampaikan, harusnya konsultan berikan naskah akademik, karena itu jantungnya regulasi. Tapi ini tidak ada,” tandas Irwan. 

Menurutnya dalam persoalan draft Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) ini, selain sebagai calon perda gagal, kemudian yang ia khawatirkan malah akan menjadi perda kanibal. Artinya malah akan membunuh perda-perda yang lain. Sebagai contoh, Irwan menyebut Perda Nomor 11 tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan DAS. 

“Ini Perda Provinsi Gorontalo tentang Pengelolaan DAS, namun tak satu pun disebut dan tidak diakomodir. Harusnya yang dibahas sebuah ekosistem yang utuh dan keterkaitan antara hulu, tengah, dan hilir. Bukan hanya bicara genangan saja.”

Menurut Irwan lagi, delianasi atau rancangan yang dibahas masih bersifat administratif dan kondisinya tidak menggambarkan sebuah ekosistem danau. Ia lalu menyarankan zoning harus berdasarkan kriteria dan indikator sosial, ekonomi, dan ekologi. Paling tidak, katanya, zona lindung harus berinteraksi dengan zona yang ada di sekelilingnya. Sehingga punya alasan kuat mengapa menetapkannya sebagai zona lindung. 

“Jika hanya berdasarkan eksisting genangan danau, saya pikir masih mentah. Karena dalam imajinasi arsitektur, saya melihat zona lindungnya tidak saling berkaitan. Bahkan saling membunuh antara satu zona dengan zona yang lain, ” kata Irwan yang juga sebagai akademis pada Universitas Gorontalo, itu.      

Rosyid Azhar, fotografer dari MFG (Masyarakat Fotografi Gorontalo) ikut menambahkan bahwa penanganan Danau Limboto tersebut tidak memberikan ruang pada upaya menyelamatkan biodiversity danau. Dari hasil identifikasi awal mereka, Rosyid mengaku telah menemukan ada 36 jenis burung migran yang berasal dari Siberia, Alaska, dan dari belahan dunia lain yang setiap tahun singgah ke Danau Limboto. 

“36 burung migran itu hanya identifikasi awal, artinya masih banyak lagi yang belum ditemukan. Sementara burung residen atau sudah menetap di danau ada banyak spesiesnya, dan sebagian masuk satwa dilindungi. Itu baru dari sisi burung, belum satwa yang lainnya,” ungkap Rosyid. 

Menurutnya, jika melakukan sesuatu di Danau Limboto, paling tidak pemerintah ikut mempertimbangkan alasan biodiversitasnya, karena ini adalah kekayaan Danau Limboto. Selain itu, wilayah danau merupakan salah satu yang paling penting dan mereka mulai mencoba memperkenalkannya sebagai kawasan pengamatan burung internasional. 

“Ini bisa dijadikan sebagai potensi wisata. Mulai tahun kemarin sudah ada catatan dari kelompok pengamat burung migran di dunia. Dan beberapa data dari foto kami sudah diakses di Australia.” 

“Saya sendiri sudah mendokumentasikan seekor burung Kedidi Gol-gol yang ada benderanya di Danau Limboto. Ternyata burung itu merupakan tanda dari burung Victoria di Australia,” ujar Rosyid.

Dana Rp 3 Triliyun

Usai pertemuan di hotel Maqna itu, keesokan harinya, Minggu, 2 April 2016, digelar lagi pertemuan di ruang audotorium Bappeda Provinsi Gorontalo. Pertemuan itu bertajuk Rapat Koordinasi Grand Strategy Penanganan Danau Limboto melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan tematik.

Wempie Waroka, dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi II, menjelaskan tentang perencanaan greenbelt atau sabuk hijau Danau Limboto dan detail desain bangunan penangkap sedimen. Wempi memperlihatkan bagaimana pekerjaan pengerukan danau dan pembuatan tanggul. Namun menurutnya, rencana pembangunan tanggul tersebut sudah banyak difungsikan sebagai lahan perkebunan, dan masyarakat pada umumnya meminta ganti rugi lahan.

Dalam diskusi itu, Rahman Dako, aktivis lingkungan mengatakan, sebaiknya revitalisasi danau ini juga harus transparan dan dibuka ke publik berapa anggaran untuk Balai Wilayah Sungai, karena terlalu banyak tuduhan kepada balai sebagai pemegang proyek, sementara instansi lain mengeluh. Selain itu, menurutnya, Balai wilayah sungai tidak hanya sebatas sosialisasi saja, tapi juga ikut melakukan pendampingan pada masyarakat. 

“Warga harus dititipkan masalah ekologi disetiap desa. Sekarang tidak bisa lagi bicara politik, kita harus sepakat pendekatannya adalah ekologi bukan administrasi,” ujar Rahman.  

Sementara itu, anggaran pembangunan revitalisasi Danau Limboto, berdasarkan booklet Danau Limboto yang dikeluarkan oleh Balai Wilayah Sungai, menyebutkan angka total sebesar Rp 3.968.192.060.120 atau sekitar Rp 3,9 triliyun.      

Sedang rincian pekerjaan yang sudah dilaksanakan yaitu pada tahun 2012 pembangunan groundsill 10 buah. Pekerjaan pda tahun 2013; pembangunan check dam Sungai Bulota 1 buah, pembangunan check dam Sungai Pohu 1 buah, pembangunan groundsill 3 buah, pembangunan revetment dan parafet sepanjang 960 meter, pembangunan tanggul 1.250 meter, pengerukan Danau Limboto seluas 10 hektar, perbaikan alur sungai Barakati sepanjang 149 meter, perbaikan alur sungai Tabongo sepanjang 1950 meter, perbaikan alur sungai Widya Krama sepanjang 1000 meter, dan perbaikan tebing sungai Alo sepanjang 90 meter di Desa Botumoputi

Pada tahun 2014, pekerjaan yang dilakukan dalam proyek itu adalah pengerukan danau seluas 10 hektar, tanggul danau sepanjang 5,6 kilometer, pembangunan groundsill 2 buah, pembangunan chek dam 1 buah, pembangunan revetment tanggul danau 600 meter, pembangunan revetment sungai Alopohu sepanjang 700 meter, pembangunan plat dekker 1 buah.

Sementara pekerjaan yang dilaksanakan tahun 2015 yaitu, pekerjaan tanggul danau, pekerjaan drainase, pekerjaan finishing pintu Tapodu. Pekerjaan yang dilaksanakan 2015-2017 (Multi Years Contract) adalah pengerukan Danau Limboto, pekerjaan kanal outlet Danau Limboto 2 kilometer, pekerjaan tanggul Danau Limboto, pekerjaan bangunan pengendali sedimen 3 unit, pekerjaan pembangunan jembatan 2 unit, serta pemeliharaan jalan akses.

Rustamrin Haris Akuba, Direktur Politeknik Gorontalo yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan, apa yang dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai tersebut lebih pada pendekatan tata ruang kota, bukan tata ruang danau, karena tidak memperhatikan aspek ekologinya. 

Dalam pertemuan yang melibatkan akademisi itu menghasilkan rekomendasi, yaitu membentuk Unit Kerja Gubernur Badan Otorita Danau Limboto. Badan ini diketuai oleh Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, dan ketua hariannya adalah Kepala Bappeda. Tugasnya adalah mendorong terbentuknya Badan Otoritas Nasional Danau Limboto. 

Rekomendasi lainnya adalah memberlakukan status Danau Limboto menjadi daraurat bencana ekologi. Juga mendorong perbaikan Perda Nomor 1 tahun 2008 tentang Pengelolaan Danau Limboto sambil menunggu Perda KSP (Kawasan Strategis Provinsi). Mendorong penganggaran khusus penyelamatan Danau Limboto bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kementerian terkait. 

Rekemondasi selanjutnya yaitu percepatan ground check lapangan untuk tapal batas Danau Limboto dan mendesak pihak BPN Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk segera menyerahkan foto copy peta induk kepemilikan lahan di kawasan Danau Limboto. Serta peninjauan kembali semua perizinan di wilayah DAS Limboto dan moratorium alih fungsi lahan.    

Bagi Sutarjo Polontalo, pembahasan Danau Limboto itu sudah sangat bagus, dan ia sangat setuju jika penetapan zonasi segera dilakukan. Namun, yang terpenting baginya adalah pemerintah juga bisa menyelesaikan persoalan tanah di atas Danau Limboto yang memiliki bukti kepemilikan lahan.

“Setuju dengan apa yang telah dibuat oleh pemerintah, tapi juga harus menyelesaikan persoalan lahan yang ada bukti sah kepemilikan oleh rakyat,” katanya.***

 

Related posts

Porseni Terakhir

Defri

Kisah Waria di Gorontalo Melawan Corona

Defri

Kesaksian Benteng Otanaha

Admin

Leave a Comment