lipunaratif.com
Feature/In-depth

Minimnya Peran Disabilitas pada Pemilu di Gorontalo

Ditulis oleh Ummul Uffiaturrahmah


“Saya pesan ini,” ucap saya menunjuk tulisan pada menu yang dicetak dengan baliho sedang berukuran 1×2 meter.

Penjual itu tersenyum dan menunjuk tempat yang saya tunjuk. Saya mengangguk. Dia balas mengangguk. Kami bersepakat soal pesanan makanan. Dia menggerakkan kedua telapak tangan secara terbuka menghadap bawah. Dua kali tangan itu turun naik. Sembari tersenyum, dia mengisyaratkan saya untuk sabar menunggu.

Berbicara jadi tidak krusial saat memesan makanan di Kedai Tuli.

Kedai di kawasan Poigar, Molosipat U, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo ini menawarkan menu berbeda dari masing-masing stan pedagang. Kedai Tuli merupakan penamaan tempat buat jajaran roda dan meja penjajal makanan serta minuman di trotoar jalan tersebut.

Sepanjang trotoar tempat kedai ini berdiri tidak nampak alat peraga kampanye atau bendera partai politik dan peserta pemilu. Saya datang jelang akhir bulan Desember 2023, masih dalam durasi masa kampanye pemilihan umum (pemilu) 2024.

Tidak lama, pesanan saya datang. Semangkuk jagung dengan kuah, potongan ikan dan parutan kelapa, semangkok milu siram.

“Teman-teman di sini tidak terlalu peduli dengan politik, karena mereka merasa mampu menghidupi diri sendiri saja sudah cukup, jadi politik bukanlah hal yang penting,” kata Raden Sahi, Ketua Yayasan Putra Mandiri yang mewadahi para penyandang disabilitas di lokasi ini saat berbincang dengan saya. 

Alasan lainnya, ungkap Raden, dia tidak berharap konsumen berpikir kalau kedai itu ditunggangi partai politik.

Di tempat yang sama, saya bertemu dan berbincang dengan Faisal Daud dan Ferlan Ibrahim. Mereka berdua penyandang rungu dan tuli. Untuk memudahkan komunikasi, kami menggunakan Transkripsi Instan, aplikasi aksesibilitas yang didesain untuk membantu penyandang tunarungu atau gangguan pendengaran.

Faisal dan Ferlan dapat mengetahui pertanyaan saya dengan mudah lewat aplikasi itu. Sementara jawaban mereka dalam bahasa isyarat diterjemahkan Raden kepada saya. Dengan segala keterbatasan tentunya.

Wawancara bersama Faisal Daud dan Ferlan Ibrahim, (30/01/2024) bertempat di Kedai Tuli.
Sebelah kiri Raden Sahi sedang memegang ponsel yang sedang menunjukkan transkip pertanyaan saya, di bagian tengah Faisal yang sedang menghadap ke arah Raden dan bagian kanan Feri yang juga sedang mendengarkan penjelasann Raden. Foto oleh: Jamia Bolota.

Terkait pemilu, saya bertanya kenapa penyandang disabilitas tidak tertarik untuk masuk dunia politik. Bukan sebagai pemilih tapi sebagai calon legislatif. Faisal dan Ferlan membuang muka dan sedikit tertawa, dengan bahasa isyarat mereka melambai-lambaikan tangan di depan wajah, dilanjutkan dengan beberapa gerakan tangan yang lain.

“Penyandang tuna rungu dan tuli tidak akan diterima di partai, makanya kami tidak mau mencoba,” kata Raden yang menerjemahkan isyarat Faisal.

Ferlan membagi pengalaman masa kecilnya saat pendidikan dasar di sekolah umum. Saat naik kelas dua, dia memilih pindah ke sekolah luar biasa (SLB). Alasannya, sulit menerima pelajaran di sekolah umum. “Tidak bisa menangkap pelajaran yang dijelaskan oleh guru,” kata Raden menerjemahkan Ferlan.

Terbatasnya akses bagi penyandang disabilitas untuk bersekolah dan berpartisipasi sebagai peserta pemilu ini menggambarkan minimnya perhatian pada mereka. Baik dari kalangan eksekutif atau legislatif yang dipilih lewat pemilu.

Hingga saat ini juga belum ada wakil dewan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional dari Gorontalo yang merupakan penyandang disabilitas.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo mencatat ada 881.206 pemilih pada pemilu 2024. Dari jumlah itu, sebanyak 7.923 pemilih dengan latar belakang disabilitas.  Hampir setengahnya adalah pemilih dengan disabilitas fisik, disusul tuna netra dan tuna wicara masing-masing seribuan orang, selebihnya tuna rungu, keterbatasan mental, keterbatasan intelektual, dan tuna wicara.

Jumlah pemilih dengan disabilitas ini lebih banyak dari raihan suara Partai Hanura (7.041 suara), Garuda (2.390 suara), Perindo (6.116 suara), PSI (3.491 suara), PBB (1.937 suara), dan PKPI (590 suara) pada pemilu 2019 di Provinsi Gorontalo.

Raden memaparkan, ada beberapa faktor yang menjauhkan orang dengan disabilitas pada politik. Salah satunya produk hukum yang dibuat oleh para wakil rakyat terpilih dan disetujui presiden atau kepala daerah terpilih dalam pemilu.

Dia menyoroti aturan hukum terkait persyaratan berbadan sehat baik secara rohani dan jasmani bagi mereka yang hendak bertarung di kontestasi pemilu. Hal itu tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 11 Tahun 2023 Mengenai Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 10 Tahun 2022 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, pada Pasal 15 ayat (h) berbunyi, “sehat jasmani dan rohani, …”.

Faisal mengungkapkan persyaratan serupa menghambat dirinya saat hendak memasuki dunia kerja. “Susah bikin surat berbadan sehat karena rungu dan tuli dianggap tidak sehat,” katanya melalui Raden.

Ketua Divisi Teknis KPU Kota Gorontalo, Hairudin Polontilo mengungkapkan, aturan berbadan sehat itu tidak diindikasikan oleh kondisi fisik. Selama calon legislator mampu dan dapat berpikir dengan baik, maka mereka bisa mencalonkan diri. Namun itu tetap harus disertai dengan rekomendasi dokter.

“Para bakal calon ini dicek dulu di rumah sakit, kalau dokter bilang bisa berarti bisa, jadi walaupun tuli atau buta kalau masih bisa berpikir dengan baik itu bisa lolos,” ujar Hairudin.

Undang-Undang Kesehatan No 23 Tahun 1992, kesehatan didefinisikan sebagai kondisi di mana keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sejalan dengan hal tersebut sehat menurut World Healt Organization dapat diartikan secara luas, hal ini mencakup keadaan sejahtera secara fisik, mental dan juga sosial, bukan hanya sekadar tidak memiliki penyakit maupun cacat.

Jika menelaah kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sehat dapat meliputi beberapa aspek di antaranya badan, jiwa dan sosial. Dan menelaah pengertian terakhir bisa dikatakan bahwa mempunyai penyakit dan cacat masuk dalam kategori tidak sehat.

Kondisi ini menggambarkan ketidakberpihakan pada mereka yang hidup dengan disabilitas. Ketiadaan aturan atau regulasi yang mendukung mereka bisa jadi akibat kurangnya pengetahuan para pembuat kebijakan karena tidak melibatkan orang dengan disabilitas.

Dalam proses demokrasi, keterwakilan dari semua kalangan masyarakat pada momen perancangan kebijakan hingga pengambilan keputusan merupakan hal penting. Saat ini, setidaknya di Kota Gorontalo, belum ada perwakilan orang dengan disabilitas yang duduk di kursi legislatif.

Tantangan lain bagi mereka adalah fasilitas pendidikan yang inklusif atau bisa melayani semuanya.

Data Pokok Pendidikan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi mencatat ada 128 sekolah negeri dan 27 swasta dari tingkat SD hingga SMA di Kota Gorontalo. Dari jumlah tersebut, hanya ada 1 sekolah luar biasa. 

Tidak hanya itu, Pusat Layanan Autis Provinsi Gorontalo yang dibentuk pada 2014 oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie saat ini sudah dalam kondisi tidak layak.

“Atapnya sudah jatuh-jatuh, untuk hal paling dasar seperti membayar token listrik saja susah untuk dibayar, bahkan gaji tenaga pekerjanya kadang terlambat untuk dibayarkan,” ujar Koordinator Komunitas Peduli Autis Gorontalo, Ronald Bidjuni.

Ayah dari seorang anak penyandang autis ini memandang perhatian terhadap kelompok disabilitas, khususnya dalam bidang pendidikan masih belum memadai. Mulai dari keberpihakan, fasilitas, hingga kurangnya tenaga pengajar.

“Mau dimasukkan ke sekolah SLB tapi anak-anak berbeda kebutuhan dimasukkan dalam satu kelas jadinya tidak fokus ke kebutuhan masing-masing anak,” ungkap Ronald.

Menyikapi kekurangan tersebut, Raden dan Ronal memilih untuk membuat sekolah swadaya mereka sendiri. Raden bersama teman-teman relawan membuat sekolah luar biasa dan sekolah lansia sendiri dengan gurunya. “Sekolahnya gratis dan teman-teman yang mengajar belajar semuanya dari Youtube,” ujar Raden.

Ronald beserta istrinya membangun dan mengembangkan sekolah khusus autis secara profesional. Namun dia menyadari saat ini sekolah yang dikelola yayasan ini belum inklusif karena biayanya yang mahal. 

Beragam tantangan ini penting untuk direspon, khususnya oleh peserta pemilu.

Perwakilan partai politik tidak dapat mendeskripsikan langkah konkret untuk mendorong calon legislatif yang merupakan orang dengan disabilitas.

Ketua Fraksi Gerindra di Kota Gorontalo, Sulyanto Pateda, Wakil Ketua Komisi A DPRD Kota Gorontalo Darmawan Duming, serta calon legislator dari PPP, Sawaludin mengatakan hal serupa. Pada intinya, mereka menyatakan partai politik menerima dan membuka kesempatan yang sama untuk orang dengan disabilitas.

Namun sampai saat ini nampaknya orang dengan disabilitas masih jadi “barang jualan” bagi peserta pemilu.

Related posts

Pemulihan Ekosistem Kolaboratif: Jalan Tengah Konflik Pemanfaatan Ruang di Hutan TNBNW (Bagian 2)

Defri

Diskriminasi Pakaian pada Perempuan: Aku Ingin Lari Jauh

Defri

Kisah Waria di Gorontalo Melawan Corona

1 comment

Leave a Comment