Reporter: Faradila Alim
“Wau mayakini mohinggi u haramu toli kiki’a botiya (Saya telah benar-benar yakin mengeluarkan yang haram pada anak ini).”
Mantra itu dirapalkan lirih dan khidmat oleh Ismiati Rasid Uloli, seorang hulango atau praktisi adat sunat anak perempuan atau mongubingo di Gorontalo. Ia merapalkan potongan mantra itu, saat tengah diwawancarai Lipu Naratif di kediamannya di Kecamatan Bone Pantai, Bone Bolango, Gorontalo, pada Minggu, 9 Maret 2025.
Hulango Ismiati mengisahkan, ketika memulai proses adat ia terlebih dahulu memanaskan pisau kecil yang akan dipakai menyunat, di atas bara api bercampur dupa. Di sekelilingnya ada piring-piring berisi beras beraneka warna, sebutir telur ayam, dan sebuah lemon. Bahan-bahan itu ditata rapi dan bukan sekadar alat bantu, tetapi bagian penting dari ritual.
Satu per satu doa diucapkan. Setelah mantra di atas dibacakan pada pisau, nama bayi yang akan disunat disebut, sebagai penanda dimulainya mongubingo. Jika sang hulango kesulitan menemukan titik yang dimaksud atau bagian kecil pada kelamin bayi yang diyakini sebagai daging haram yang harus diangkat, maka ia akan mengunyah cengkeh dan mulai menaburkan beras warna-warni ke udara.
Beras itu dilempar dari piring-piring kecil sebanyak tujuh buah, sebagai bagian dari usaha mengusir wawalo atau makhluk halus yang dipercaya menyembunyikan titik tersebut. Ketika titik itu akhirnya ditemukan, pisau diarahkan ke bagian tersebut, lalu sang hulango mengucapkan lagi mantra, “Aikikum daging dagung pinikun minkun“. Mantra ini diucapkan sebanyak tiga kali, tepat saat proses penyunatan.
Bayi perempuan yang menjadi subjek ritual biasanya berusia antara delapan bulan hingga satu tahun. Tangis bayi tak bisa dihindari, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena tubuhnya dikekang agar tak banyak bergerak.
Tidak ada luka terbuka, begitu keyakinan yang dianut para pelaku tradisi ini. Namun, selalu ada yang disebut sebagai titik putih kecil yang kemudian diambil dengan pisau. Titik itu langsung disimpan dalam kapas, lalu dimasukkan ke dalam lemon sebagai bagian dari ritual penyucian. Setelah proses itu selesai, sang bayi yang masih terisak-isak akan dimandikan. Air campuran daun lemon, pandan, dan aneka bunga telah disiapkan, dan ini disebut oleh masyarakat setempat sebagai mandi lemon.
Bayi akan didudukkan di atas dudangata atau bangku kecil yang terakit dengan besi bergerigi tajam, yang biasa dipakai untuk mencukur kelapa. Benda ini bukan sekadar tempat untuk duduk, melainkan ada pemaknaan simbol bahwa perempuan harus berada di belakang, tersembunyi, dan tidak menonjol di depan. Makna itu disematkan pada dudangata sesuai posisinya yang sering diletakkan di dapur, yang dikaitkan sebagai posisi perempuan dalam struktur sosial, bahwa perempuan lebih baik berada di tempat tersembunyi, menurut nilai adat yang masih dipegang erat.
Ismiati telah menjalankan praktik ini selama hampir tiga dekade dengan ratusan anak yang telah disunatnya. Ia menjadi hulango karena warisan. Gelar dan tanggung jawab itu ia terima dari ibu mertuanya, yang sebelumnya menerima gelar itu dari ibu dan neneknya. Maka, menurutnya, peran itu harus diteruskan kepada anak perempuannya kelak.
Pertama kali Ismiati menjalankan praktik sunat perempuan adalah kepada anaknya sendiri. Namun sebelum itu, ia yang masih ragu kemudian meminta penguatan kembali kepada ibu mertuanya, sang pewaris tradisi ini, untuk menjalani serangkaian ritual untuk meyakinkan dirinya. Dalam memenuhi ritual itu, ia diminta untuk membawa dua ekor ayam, menyembelihnya, dan darah dari ayam-ayam itu diusapkan ke tubuhnya sebagai simbol peneguhan.
Ia dimandikan oleh mertuanya, dibacakan mantra, dan setelah itu ia dianggap siap untuk menjalankan tugas sebagai hulango. Lalu ia mulai belajar dengan serius, setiap detail dalam ritual dicatatnya dan dihafal mulai dari mantra, perlengkapan, hingga urutan proses adat mandi lemon.
Sejak saat itu, Ismiati menerima panggilan dari keluarga-keluarga yang ingin menyunat anak perempuan mereka. Ia tidak pernah mematok tarif, tetapi selalu menerima pemberian dari keluarga yang mengadakan acara. Uang itu disebut sebagai sadakah (sedekah), biasanya berkisar antara Rp300.000 hingga Rp700.000 per acara. Kadang disertai dengan beras, jagung, dan koin pecahan seribu rupiah.
“Saya tidak meminta sadakah, tapi keluarga yang punya acara biasanya yang memberi,” katanya.
Namun, sejak 2001, Ismiati mulai bekerja sebagai guru honorer. Sepuluh tahun kemudian, ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan mulai menerima tunjangan sertifikasi. Sejak saat itu pula ia mulai mengurangi profesi sebagai hulango. Sekolah tempat ia mengajar memintanya untuk fokus mengajar dan tidak mengambil pekerjaan tambahan, yang bisa mengganggu tugas utama sebagai pendidik. Maka ia hanya memenuhi panggilan sebagai hulango pada hari libur yakni setiap Sabtu dan Minggu saja.

“Setelah pensiun September [2025] nanti, mungkin saya akan kembali melakukannya rutin [menjadi hulango] seperti dulu,” ujarnya.
Meski begitu, Ismiati menyatakan bahwa praktik ini bersifat pilihan. Ia tidak memaksa siapa pun. Ia hanya menjalankan jika ada keluarga yang mengadakan acara dan memanggilnya. Menurutnya, tradisi ini adalah bagian dari warisan, jika ada yang ingin meneruskan, silakan, dan jika tidak, juga tidak apa-apa.
“Menurut saya, ini tradisi. Terserah orang mau lakukan atau tidak.”
Namun, meskipun sang hulango dan masyarakat yang melestarikan tradisi ini meyakini bahwa tidak ada darah yang keluar, bahwa yang diambil hanyalah “titik putih kecil”, tindakan tersebut tetap mengandung kekerasan yang tersembunyi. Pisau yang menggores, meski pelan, tetap bekerja pada tubuh anak yang belum dapat memilih. Tidak peduli sehalus apa prosedurnya, tetap ada bagian tubuh yang dihilangkan. Dalam pengertian umum, praktik ini dikenal sebagai Female Genital Mutilation (FGM), mutilasi alat kelamin perempuan.
Menurut definisi resmi dari World Health Organization (WHO), FGM adalah prosedur apa pun yang melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh organ genital eksternal perempuan, atau menyebabkan cedera lain pada organ kelamin perempuan karena alasan non-medis. WHO menyatakan bahwa tidak ada satu pun bentuk FGM yang memiliki manfaat kesehatan, dan semua bentuknya bahkan yang dianggap ringan atau simbolis adalah bentuk pelanggaran hak anak dan perempuan.
Berdasarkan klasifikasi WHO, tindakan seperti yang dilakukan oleh hulango mengambil bagian kecil dari kelamin bayi perempuan, walau hanya disebut “titik kecil” masuk dalam kategori Tipe IV FGM, yaitu: semua prosedur lain yang merugikan alat kelamin perempuan karena alasan non-medis, seperti tusukan, penggoresan, pemotongan, atau kauterisasi.
Sunat anak perempuan di Gorontalo tidak dipertanyakan secara terbuka. Tradisi ini bersembunyi di balik dupa, mantra, dan sadakah, kemudian diwariskan tidak sebagai kekerasan, tetapi sebagai warisan adat.
- Peringatan: Narasi dalam laporan berikut mengandung materi yang berpotensi memicu reaksi emosional yang kuat atau trauma pada orang tertentu, karena disampaikan secara ekspresif oleh para narasumber.
Suara-suara yang Terpendam
Lipu Naratif mewawancarai tujuh perempuan dewasa yang ketika kecil pernah menjalani praktik ini, atau yang oleh masyarakat Gorontalo dikenal sebagai mongubingo atau cubi kodo (cubit kelamin). Mereka adalah Ainun Fitria Suaib, Fatiya Adam, Jihan Anishakira, Kartika Arobi, Pratiwi, Karsum Habi, dan Nartin Pomontolo. Mereka bertujuh bercerita tentang pengalaman ketika menjadi korban praktik ini dan baru mempertanyakannya ketika dewasa, sebagian dari mereka mengingatnya dalam bentuk trauma masa kecil.
“Saya trauma. Saat itu saya tidak mau, tapi ditahan paksa. Saya masih kecil dan melihat silet tajam akan menyentuh kelamin saya. Saya takut, saya berontak, tapi tetap dilakukan,” kata Ainun Fitria Suaib, narasumber pertama yang dijumpai.
Ainun, sapaan akrabnya, menjadi orang pertama yang mau bercerita tentang pengalamannya sebagai korban praktik sunat pada anak perempuan. Ainun mengungkapkan kisahnya kepada Lipu Naratif lewat sambungan telepon, pada Senin, 10 April 2025. Ia berketurunan asli Gorontalo dan kini menetap di Kabupaten Gorontalo, Kecamatan Limboto. Latar belakangnya sebagai perempuan Gorontalo menjadikan ia harus menjalani praktik ini dan melestarikannya.
Praktik ini dianggap tradisi yang harus dilakukan oleh setiap anak perempuan. Tapi tak ada yang pernah tahu bahwa ia sebenarnya menyimpan luka dari masa kecilnya itu. Bukan luka yang tampak, melainkan memori yang menghantui dan tak lekang oleh waktu. Ia adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi bagian dari praktik sunat perempuan di Gorontalo.
Bagi Ainun, pengalaman itu bukan sekadar tradisi melainkan trauma yang membekas seumur hidup. Dalam penuturannya, Ainun menggambarkan bagaimana dirinya sebagai anak kecil yang tak memahami apa yang akan terjadi. Saat sunat berlangsung, tubuhnya ditahan oleh ibunya sendiri, dan di depannya ada hulango tengah memegang silet. Hulango bukan dokter, bukan tenaga medis, tetapi seorang perempuan tua dari kampung yang dipercaya memiliki ‘ilmu’.
“Kalau sunat laki-laki ‘kan dilakukan dokter atau perawat. Tapi perempuan, hanya orang kampung yang melakukannya,” ujarnya. “Saya ingat betul rasa takutnya. Silet itu sangat tajam. Saya tahu akan sakit, saya tahu itu akan menyentuh bagian paling sensitif di tubuh saya.”
Ainun mencoba melawan. Tubuh kecilnya memberontak, tapi tak mampu melawan tekanan tangan ibunya dan dorongan keyakinan akan tradisi. Ainun menyebut, motivasi orang tuanya melakukan sunat bukan soal kesehatan, melainkan karena keyakinan bahwa sunat akan membuat seorang anak perempuan ‘lebih baik’.
“Orang tua saya percaya bahwa perempuan harus disunat agar tidak jadi perempuan yang bernafsu tinggi,” ujarnya.
Namun keyakinan itu tak pernah masuk akal bagi Ainun. Ia tumbuh besar dan semakin mempertanyakan, di mana letak manfaatnya?
“Saya tanya ke orang tua, tak ada jawaban yang memuaskan. Saya cari di literatur, tak juga menemukan alasan kesehatan yang logis,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut bahwa tak satu pun dokter atau lembaga kesehatan yang pernah ia temui, yang menyatakan bahwa sunat perempuan punya manfaat medis. Bagi sebagian orang, memori masa kecil sering kali kabur, hanya menyisakan serpihan. Tapi bagi Ainun, peristiwa sunat itu terekam jelas. Ada banyak kejadian masa kecil Ainun yang dilupakannya, tapi peristiwa itu diingatnya. Dari rasa sakit dan takut, bahkan cara ibunya menahannya dengan paksa hingga ia menjerit menangis, mencoba melawan dengan tubuh kecilnya yang tak sebanding dengan kekuatan orang dewasa.
Pengalaman itu meninggalkan trauma mendalam. Meski telah bertahun-tahun berlalu, rasa sakit itu masih hidup di memorinya. Ia bahkan merasa kesulitan mempercayai perawatan medis yang melibatkan alat-alat tajam sejak saat itu.
“Kalau saya bisa kembali ke masa lalu ….” katanya dengan suara sedikit gemetar, “… Saya akan menarik diri, saya tidak mau disunat.”

Perasaan yang sama diungkapkan oleh Fatiya Adam, perempuan asal Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, yang juga menjadi korban praktik ini. Ia dijumpai Lipu Naratif saat ia berkunjung ke Pesta Seni Panen Padi: Maa Ledungga #4 di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, pada Senin, 5 Mei 2025.
Ia mengaku tak pernah bisa melupakan satu potongan memori yang dipotret saat usianya baru tiga tahun. Sebilah gunting kuku yang biasa mengikis kerasnya kuku, dijadikan alat untuk menyentuh sesuatu yang paling lembut dan tersembunyi dari tubuhnya. Ia disunat, dengan tangis yang terekam jelas dalam selembar foto lama: pipinya tampak basah, serta wajahnya menyimpan isyarat luka yang tak tahu bagaimana cara mengucapkannya.
“Mereka bilang hanya simbol,” ujarnya. Tapi tubuhnya tahu, bahkan hingga kini. Ketika ia menatap kembali foto itu, tubuhnya menggigil oleh rasa ngeri yang menelusup hingga ke dimensi yang paling personal, paling sunyi: fantasi seksual. “Dicubit saja sakit ….” katanya pelan, “… Apalagi ketika nanti berhubungan seksual, saat perawan pecah.”
Ketakutan itu tak pergi. Ia juga datang setiap bulan, bersamaan dengan darah yang mengalir dari rahimnya. Menstruasi juga menjadi alarm yang menghidupkan kembali rasa takut akan luka yang lama itu bagi Fatiya.
“Bukan hanya takut berhubungan seksual, saya juga merasakan nyeri saat menstruasi.”
Fatiya berandai jika bisa mengulang waktu dengan pengetahuan yang ia peroleh saat ini, maka ia akan membela tubuh kecilnya kala itu untuk tidak disunat. Tetapi itu sudah terjadi pada dirinya, maka ketika ia kelak mempunyai anak perempuan dan akan dipaksa untuk menjalani praktik ini, ia akan membelanya dan berdiri paling depan untuk melindungi hak anaknya.
“Tidak ada yang bisa menyentuh anak saya, saya setuju jika hanya ritual tapi tindakan menyakiti dalam bentuk apa pun tidak ada pembenarannya.”
Jika Ainun dan Fatiya menghadapi situasi sebagai yang terlahir dari keturunan Gorontalo, maka Jihan Anishakira yang diwawancarai Lipu Naratif bukan berdarah asli Gorontalo, sebab leluhurnya berdarah Manado, namun ia juga tak luput dari tradisi itu. Ia berhasil dihubungi melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 15 April 2025. Jihan mengatakan, pilihan orang tuanya untuk menetap di Gorontalo membuatnya turut menjalani praktik yang bagi sebagian orang telah menjadi warisan, namun bagi yang mengalaminya meninggalkan jejak yang tak mudah terhapus.
Suaranya pelan, agak gemetar melontarkan sebuah kalimat, “Saya disunat pakai silet tajam.”
Ia mengenang masa kecilnya dan bertanya terkait tradisi sunat yang dilaluinya kepada sang ibu, “Apakah ujung siletnya itu digores di bagian kelamin yang menonjol itu tidak berdarah?” Ibunya tidak mengingat dengan jelas momen itu, hanya saja alat yang digunakan masih diingat oleh ibunya beserta tangisan Jihan.
Jihan pun terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, ia mengungkapkan sakitnya tidak terekam dalam benak, tetapi entah kenapa ketika ia melihat foto yang menggambarkan ritual itu, ia seperti merasa perih, meskipun katanya kala itu cuma sebentar saja dicubi kodo. Namun seiring waktu berjalan, saat ini secara perlahan Jihan dan ibunya mulai sering mendiskusikan hal tersebut, dan mempertanyakan kembali praktik yang dulu mereka anggap biasa dan sudah menjadi tradisi.
“Kalau sekarang dipikir-pikir, orang tua saya, terutama ibu, merasa sebenarnya sunat itu tidak ada gunanya. Ibu saya bilang, dia menyesal pernah membiarkan saya dan adik saya disunat seperti itu,” tuturnya.
Terlebih, kekhawatiran ibunya semakin besar setelah menyadari bahwa alat yang digunakan saat itu bukanlah alat medis yang steril. “Ibu saya sering bilang, ‘Waktu itu saya tidak kepikiran kalau silet yang dipakai itu bisa bawa bakteri. Saya cuma ikut tradisi, tidak tahu risikonya’. Dia [ibu] takut kalau alat itu mengandung kuman yang bisa menginfeksi kelamin anak.”
Kini, pengalaman itu menjadi titik balik bagi keluarganya untuk lebih kritis terhadap tradisi yang menyentuh tubuh anak perempuan. Rasa penyesalan itu menyatu dengan harapan agar tidak ada lagi anak lain yang harus mengalami hal serupa. Pengalaman Jihan menjadi salah satu contoh perubahan pandangan yang perlahan tumbuh dalam keluarga-keluarga di Gorontalo terhadap praktik sunat perempuan.
Dahulu, ia dan ibunya menganggap praktik ini sebagai sesuatu yang wajar, bagian dari tradisi yang dijalani tanpa banyak pertanyaan. Namun seiring waktu berjalan, ruang diskusi mulai terbuka di antara mereka. Perlahan, Jihan dan ibunya mulai meninjau ulang pengalaman tersebut dengan sudut pandang yang lebih kritis.
Jika Jihan dan ibunya dapat berdiskusi secara terbuka dan kritis tentang hal tersebut, namun kesempatan itu tidak didapatkan Kartika, narasumber ketiga yang ditemui Lipu Naratif. Ia ditemui setelah kuliah pada Selasa, 15 April 2025. Wawancara dilakukan saat masih berada di lingkungan kampus. Kartika mengaku merasa lebih aman menceritakan pengalamannya di luar rumah, karena jika dilakukan di rumah, ia yakin akan menghadapi penentangan dari keluarga dan tidak akan bebas untuk berbicara.
Pengalaman Kartika memperlihatkan sisi lain dari dilema perempuan Gorontalo dalam menghadapi tradisi ini. Kartika tidak mengingat secara pasti proses sunat yang pernah dilakukan padanya. Namun, orang tuanya pernah bercerita bahwa ia disunat hingga mengeluarkan darah, menandakan bahwa ada bagian tubuh yang benar-benar terluka.
Meski begitu, sulit bagi Kartika untuk melepaskan pikirannya sendiri bahwa ini adalah sebuah tradisi yang harus ditaati oleh setiap perempuan Gorontalo. Praktik ini, menurut kepercayaan yang berkembang di keluarganya, dilakukan agar anak perempuan mengalami menstruasi dengan lancar dan tidak mengalami pubertas secara berlebihan. Maka sunat itu, diwajibkan kepada setiap anak perempuan di keluarganya.
Dalam bayangan Kartika, sebelum diberitahu oleh ibunya, ia merasa hanya akan menjalani proses adat simbolis. Ia menduga bahwa proses tersebut tidak menggunakan alat tajam karena dalam istilah lokal Gorontalo, sunat perempuan dikenal dengan sebutan cubi kodo, yang berarti “mencubit kelamin”. Ia sempat berpikir bahwa proses itu tidak lebih dari sekadar simbolis, tanpa benar-benar menyayat atau melukai. Namun, seiring bertambahnya usia, Kartika mulai mempertanyakan manfaat dari praktik ini, meski pertanyaan itu awalnya hanya lalu-lalang di kepalanya selama ini.
“Kalau katanya supaya menstruasinya lancar dan nafsunya tertahan, tapi banyak juga perempuan yang tidak disunat tetap normal saja. Jadi apa sebenarnya manfaatnya?”

Bagi Kartika, alasan-alasan yang sering dikaitkan dengan kesehatan dan moralitas tidak lagi terdengar masuk akal. Namun, sebanyak apa pun Kartika bertanya dan ingin melawan, ia menyadari bahwa adat memiliki kekuatan besar, bahkan lebih kuat dari suara hati. Ia melihat langsung bagaimana kakak perempuannya yang sudah memiliki anak pun tidak bisa menolak ketika ibu mertuanya mendesak agar cucunya segera disunat. Tekanan untuk mengikuti adat sangat besar, terutama bagi perempuan.
Hal serupa turut dirasakan oleh Karsum Habi dan Nartin Pomontolo, narasumber selanjutnya yang berasal dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Lipu Naratif menggali pengalaman mereka melalui sambungan telepon seluler pada Jumat, 11 April 2025. Mereka berdua merupakan saudara sepupu yang mengalir darah hulango secara turun-menurun di keluarganya, yang masih memegang teguh tradisi ini, maka mereka berdua tentunya akan disiapkan menjadi hulango atau dukun kampung yang akan bertugas melancarkan tradisi ini. Maka sangat dilematis bagi mereka, terlebih praktik sunat bagi perempuan juga selalu dikaitkan dengan tanda bahwa anak perempuan yang sudah disunat, berarti sudah masuk Islam dan bersih dari daging haram yang dikeluarkan dari kelamin.
Karsum Habi, yang akrab dipanggil Nur, mengisahkan masa kecilnya dalam potongan-potongan samar. Ia disunat ketika masih balita, bersama para sepupunya, dalam satu proses adat yang digelar bersamaan. Tak ada ingatan yang melekat kuat dalam benaknya tentang kejadian itu, hanya cerita dari orang tua yang kerap terulang.
Seperti bayi pada umumnya, kata mereka, ia menangis keras saat proses itu dijalankan, tubuhnya bahkan ditahan oleh sang ibu dan beberapa anggota keluarga yang menyaksikan dengan khidmat, seolah itu bagian dari kebajikan turun-temurun.
Namun berbeda dari Ainun yang mengalami trauma berat, Nur tidak merasa demikian. Ia tidak tahu persis apa yang menggugah amarah dalam hatinya, setiap kali mengingat bahwa ia pernah disunat. Amarah yang tumbuh diam-diam, bersamaan dengan pengetahuan yang perlahan terbuka dan akhirnya ia menyadari bahwa praktik ini tak pernah membawa manfaat bagi dirinya. Justru, sunat itu menghadirkan risiko yang menakutkan dan rasa tidak nyaman yang menetap di bagian paling intim dari tubuhnya, yakni vaginanya.
“Untungnya saya punya kesempatan mencari tahu sejak awal …” ujarnya lirih, “… Sebelum saya menikah, sebelum melahirkan, saya bisa memilih.”
Namun tidak semua perempuan punya ruang untuk menyadari itu tepat waktu. Nartin Pomontolo, misalnya, tak pernah sempat mempertanyakan tradisi yang sejak kecil diyakini sebagai bagian dari adat yang tak boleh diganggu. Ia kini telah menikah dan memiliki anak perempuan yang juga telah disunat.
“Dulu saya pikir itu biasa saja,” kata Nartin, matanya sejenak menerawang. “Kami cuma mengikuti apa yang orang tua lakukan. Tidak pernah ada yang menjelaskan, tidak pernah ada yang memberi tahu bahwa ini bisa menyakiti anak-anak kami. Baru sekarang saya tahu, setelah semuanya sudah terjadi.”
Nartin tidak menyimpan amarah, tetapi menyisakan penyesalan yang dalam. Bukan hanya karena ia tak mampu melindungi anak perempuannya dari pengalaman serupa, namun karena ia merasa telah menjadi bagian dari rantai yang mestinya bisa diputus lebih awal.
“Jika saja ada yang berbicara, jika saja ada yang mengajarkan bahwa adat tidak selalu harus dituruti tanpa tanya.”
Korban lainnya dari praktik ini, perempuan yang berasal dari ujung Gorontalo di Kecamatan Biluhu Timur. Lipu Naratif menemuinya di salah satu warung kopi di Kota Gorontalo pada Selasa, 6 Mei 2025. Ia menuturkan, kala itu usianya baru dua tahun ketika disunat. Pratiwi namanya, akrab disapa Tiwi. Baginya, sunat yang dialaminya sewaktu kecil merupakan sebuah kenyataan yang tak pernah disadari, sampai suatu hari ia melihat sebuah foto. Di foto itu, ia digendong oleh seorang hulango yang sedang melaksanakan proses adat. Tampak tubuhnya begitu mungil di foto dan sedang menangis. Orang tuanya kemudian membenarkan bahwa ia memang disunat.
Awalnya, foto itu tak menimbulkan efek apa-apa. Hanya potret ketika masa kecil. Tapi luka, rupanya tak hanya hidup di tubuh, ia hidup juga dalam memori kolektif. Ketika ia menyaksikan adik bayinya disunat, melihat daging kecil itu dicubit hingga tangis pecah dan menebal di seisi ruang, tiba-tiba rasa ngilu itu menyusup kembali ke tubuhnya. Ia merasakannya, seolah rasa sakit dari masa lalu itu datang lagi, lengkap dengan perasaan ngeri yang menyertainya.
Tiwi pun mengungkapkan sampai hari ini ia tidak pernah tahu alasan jelas, mengapa anak perempuan harus disunat dan mengapa praktiknya banyak dilakukan oleh dukun kampung bukan oleh tenaga medis profesional. Ia merasa praktik ini tidak ada manfaatnya namun masih terus dilestarikan.
“Ini tidak ada gunanya, memang apa alasannya mereka harus melakukan ini? Tidak jelas!”
Pengalaman beberapa perempuan itu, membuka tabir kompleksnya persoalan sunat perempuan di Indonesia. Banyak kasus dilakukan secara diam-diam, di balik rumah, atas nama adat istiadat, budaya, dan moralitas. Pelakunya bukan tenaga medis, tapi dukun atau tokoh adat. Tidak ada anestesi, tidak ada pertimbangan medis, hanya sebuah praktik turun-temurun yang membentuk luka fisik dan psikis.
Kisah para korban sunat anak perempuan adalah satu dari banyak suara yang belum terdengarkan. Sunat perempuan masih menjadi tabu untuk dibicarakan, apalagi dikritisi secara terbuka. Tapi suara-suara seperti ini penting sebagai pengingat bahwa di balik adat, ada tubuh dan jiwa anak yang bisa terluka, dan bahwa tidak semua tradisi patut dipertahankan jika membawa penderitaan.
Cerita-cerita seperti ini menunjukkan bahwa di balik kabut dupa dan lantunan mantra, ada tubuh-tubuh kecil yang dibungkam. Ada anak-anak yang tidak diberi ruang untuk bertanya, apa lagi menolak. Dalam masyarakat yang menganggap ini sebagai warisan adat, luka-luka itu tersembunyi di balik simbol-simbol kesucian. Tapi luka tetaplah luka meski dibungkus dalam adat, meski dibalut dengan doa.
Medis dan Hukum Melarang Sunat Perempuan
Menurut data dari berbagai studi, termasuk laporan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF), praktik sunat perempuan tidak memberikan manfaat kesehatan dan justru memiliki dampak buruk seperti infeksi, gangguan seksual, hingga trauma psikologis. Pandangan medis dan hukum pun semakin tegas menolak praktik ini. Di Indonesia, beberapa lembaga seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah mengeluarkan pernyataan bahwa sunat perempuan tidak dianjurkan dan tidak memiliki dasar kesehatan. Namun dalam praktik, pengawasan di lapangan masih lemah.
Di mata hukum internasional dan lembaga-lembaga seperti WHO, UNICEF, dan Komnas Perempuan, praktik tersebut tak dibenarkan, tak peduli seberapa “ringan” atau “simbolik” bentuknya. Bahkan menusuk atau menggores dengan pisau kecil, hanya untuk mengeluarkan “titik putih” sekalipun, tetap tergolong sebagai mutilasi alat kelamin perempuan. Sebuah pelanggaran terhadap hak anak, hak atas tubuh, dan hak atas masa depan yang utuh tanpa trauma.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Gorontalo, dr. Yana Yanti Suleman, ketika ditemui Lipu Naratif di rumah jabatan Gubernur Gorontalo setelah mengikuti kegiatan di tempat tersebut pada Selasa, 25 Maret 2025, menyatakan bahwa praktik sunat perempuan tidak lagi dibenarkan berdasarkan regulasi kesehatan nasional. Menurutnya, Peraturan Menteri Kesehatan sudah mengatur bahwa sunat perempuan tidak dibolehkan lagi, karena tidak ada satu pun unsur dari organ genital perempuan yang harus dikeluarkan.

Yana menganalogikan dengan sunat pada laki-laki, yang memang secara medis ada jaringan kulit yang perlu dipotong untuk alasan kebersihan dan kesehatan. Sebaliknya, tidak ada organ atau jaringan di alat kelamin perempuan yang harus dikeluarkan untuk tujuan serupa.
“Oleh karena itu, dalam pendidikan kedokteran di Indonesia pun tidak diajarkan praktik sunat perempuan secara prosedural, tidak pula dalam bentuk praktik klinis.”
Ia juga menekankan bahwa pelarangan sunat perempuan telah menjadi kampanye bersama lintas kementerian, termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Mereka sepakat bahwa praktik ini tidak boleh dilanjutkan karena dapat menimbulkan infeksi, bahkan cacat jika terjadi kesalahan pengirisan, yang tentu akan berdampak serius pada kesehatan reproduksi anak perempuan.
Namun untuk melakukan penyadaran akan bahaya dari praktik ini masih menjadi sebuah misi besar dan jalan perjuangan yang cukup panjang di Provinsi Gorontalo. Menurut data yang dimilikinya, Gorontalo masih menjadi wilayah dengan prevalensi praktik sunat perempuan tertinggi keempat di Indonesia. Oleh karena itu, upaya advokasi dan sosialisasi terus dilakukan, meskipun belum sepenuhnya masif. Pemerintah daerah bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi perempuan seperti Wire-G, Aisyiyah, komunitas Gusdurian, Nahdlatul Ulama, serta lembaga-lembaga adat dan keagamaan. Tujuannya satu, untuk memastikan hak atas tubuh dan kesehatan reproduksi anak perempuan tetap terjaga.
“Sunat perempuan ini masuk dalam kekerasan terhadap anak, karena menimbulkan nyeri dan berbagai dampak psikologis,” jelas Yana.
Ia menambahkan bahwa data sudah dikumpulkan melalui Kementerian Kesehatan, termasuk survei oleh apoteker terkait cara dan dampak praktik ini. Dalam kerangka perlindungan anak, tindakan ini kini dipandang sebagai pelanggaran hak, baik secara fisik, medis, maupun psikologis. Maka pemerintah melalui dinas-dinas terkait berkomitmen untuk terus menyuarakan pemenuhan hak anak dan perempuan, agar tidak ada lagi tubuh kecil yang diam-diam dimutilasi, agar tak ada lagi luka yang dibungkus adat, dan agar suara perempuan tak lagi tenggelam di balik dupa dan mantra.
Sementara itu, Agung Setiawan, seorang peneliti dengan latar belakang hukum kesehatan, ketika berkesempatan diwawancarai virtual lewat Zoom pada April 2025, memandang praktik sunat perempuan melalui kacamata bioetika medis yang mengacu pada empat prinsip utama: otonomi, manfaat (beneficence), non-maleficence (tidak merugikan), dan keadilan. Dari keempat prinsip ini, menurut Agung, prinsip otonomi menjadi yang paling sentral. Dalam konteks anak-anak, prinsip ini menjadi kompleks karena anak perempuan yang belum mampu mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri, otonominya secara hukum diwakilkan oleh orang tua atau wali.
“Di sinilah celah yang memungkinkan praktik ini tetap berlangsung: persetujuan diberikan bukan oleh anak sebagai subjek, melainkan oleh orang tua sebagai pengampu hak hukum.”
Agung mengungkapkan kekhawatirannya terhadap fakta, bahwa praktik sunat perempuan saat ini sebagian besar dilakukan oleh pihak nonmedis, seperti dukun atau hulango, yang tidak memiliki pelatihan medis, tidak memahami standar prosedur sterilisasi, dan tidak menggunakan peralatan yang layak. Padahal pada 2006, Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran yang melarang praktik sunat perempuan oleh tenaga medis. Larangan ini kemudian menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Sebagai upaya untuk mencari jalan tengah dari perdebatan tentang sunat perempuan, pemerintah menerbitkan Permenkes No. 1636/MENKES/PER/XI/2010, yang memberikan panduan teknis tentang bagaimana tenaga medis dapat melakukan sunat perempuan. Namun peraturan ini tidak bertahan lama. Pada 2014, melalui Permenkes No. 6 Tahun 2014, pemerintah secara tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukanlah tindakan medis dan tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan, sehingga mencabut peraturan sebelumnya.
Bagi Agung, perubahan kebijakan ini justru menciptakan kebingungan hukum. “Saya pribadi lebih setuju ada aturan teknis seperti sebelumnya, agar jelas siapa yang boleh dan bagaimana prosedurnya. Sekarang seperti menggantung,” tuturnya. Ia menyoroti bahwa pelarangan tanpa panduan pengawasan membuka ruang luas bagi praktik-praktik informal yang lebih berisiko.
Titik terang baru muncul pada akhir 2024, ketika Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menyampaikan bahwa sunat perempuan tidak diwajibkan dalam ajaran Islam, dan bahkan bisa berdampak negatif terhadap kondisi biologis maupun psikologis perempuan. Pernyataan ini menjadi angin segar bagi upaya pelarangan total terhadap praktik tersebut, sekaligus mengoreksi pandangan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi utama keberlanjutan praktik FGM di banyak komunitas.
Menurut Nur Hikmah Biga selaku Koordinator Gusdurian Gorontalo, saat diwawancarai di Kota Gorontalo pada Minggu, 27 April 2025, menyampaikan praktik sunat perempuan di Gorontalo awalnya masuk melalui interpretasi terhadap syariat Islam. Namun, seiring waktu, praktik ini mengalami pembalakan oleh adat yang kemudian dikuatkan dengan narasi-narasi keagamaan. Sunat perempuan dianggap sebagai bagian dari proses “pengislaman” seorang anak perempuan atau cara untuk mengeluarkan sesuatu yang haram dari tubuh anak perempuan.
Pernyataan dari Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang menegaskan bahwa sunat perempuan tidak wajib dalam Islam memang telah menjadi angin segar bagi upaya perlindungan terhadap hak-hak anak perempuan. Namun demikian, menurut Nur Hikmah, dampaknya akan jauh lebih signifikan jika pernyataan tersebut dilembagakan dalam bentuk peraturan resmi dari Kementerian Agama.
“Dengan adanya peraturan tersebut, kantor-kantor Kementerian Agama di daerah, termasuk di Gorontalo, dapat mengambil peran aktif dalam mencegah praktik sunat perempuan.”
Hal ini menjadi penting karena, meskipun telah ada berbagai gerakan yang menolak praktik ini baik dari masyarakat sipil, Kementerian Kesehatan, maupun dinas-dinas terkait, namun tidak sebanding dengan kekuatan legitimasi agama yang selama ini justru memperkuat keberlangsungan tradisi tersebut. Dengan kata lain, agama memiliki posisi yang sangat kuat dalam membentuk persepsi masyarakat, termasuk dalam hal praktik sunat perempuan.
Nur Hikmah juga menambahkan bahwa akan sangat baik jika muatan pelarangan sunat perempuan dimasukkan dalam materi bimbingan pranikah yang disampaikan oleh para penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam sesi pranikah tersebut, selain membahas kewajiban suami-istri, juga dapat disisipkan pemahaman tentang dampak negatif dari sunat perempuan.
“Para calon orang tua dapat diberikan pemahaman sejak dini agar tidak menyunat anak perempuan mereka, demi perlindungan hak serta kesehatan fisik dan mental anak,” katanya.
Dari sudut pandang hukum positif di Indonesia, negara sebenarnya telah memberikan sinyal yang cukup kuat. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis. Sunat perempuan yang dilakukan tanpa dasar medis, tanpa persetujuan anak, dan dilakukan oleh tenaga tak terlatih dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan fisik yang disengaja. Pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana dengan hukuman hingga 15 tahun penjara apabila terbukti menyebabkan luka atau trauma serius.
Tenaga medis yang terlibat dalam praktik ini juga dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin praktik, sebagaimana diatur dalam Permenkes 2014. Namun, ketika pelaku bukan berasal dari lingkungan medis melainkan dari tokoh adat atau dukun tradisional, upaya penegakan hukum menjadi jauh lebih kompleks. Praktik ini tersembunyi dalam ruang-ruang domestik, dilegitimasi oleh adat dan doa, sehingga sulit dijangkau oleh tangan hukum formal.
Perempuan Dewasa Tak Luput dari Praktik Sunat
Fakta lainnya, praktik sunat perempuan di Gorontalo ini selain banyak menyasar anak-anak, juga ternyata dialami oleh perempuan dewasa. Lipu Naratif menemukan kisah pilu dari Natalia Tintingon, seorang perempuan berusia 25 tahun yang merupakan mualaf. Ia ditemui di kafe pribadinya di Kota Gorontalo pada Maret 2025.
Ia mengaku dipaksa untuk melakukan tradisi ini agar dapat dipastikan ia benar-benar sudah menganut agama Islam. Proses adat ini awalnya ditolak olehnya, karena ia mengaku tidak mendapat penjelasan rinci sebelum sunat berlangsung. Namun karena bujukan keluarga suaminya, dalam hal ini adalah kakak perempuan dari mertuanya yang mengatakan bahwa sunat tersebut sekadar mo cubi atau dicubit, dan akan dibaiat sebagai bagian dari penyambutan adat. Dalam bayangannya, itu hanya simbolis, sekadar disentuh atau dipegang sebentar.
Namun, kenyataan jauh dari harapan. Pada hari pelaksanaan, alat kelaminnya justru dilukai dengan pisau. Natalia mengaku sangat terkejut karena hal tersebut sama sekali tidak sesuai dengan yang telah disampaikan sebelumnya. Ia bahkan menyebut bahwa pisau yang digunakan tampak berkarat, yang menambah ketakutannya terhadap potensi bahaya dari prosedur tersebut.
“Saya pikir, praktik ini tidak ada manfaatnya karena saya tidak tahu apa yang ditusuk dan dikeluarkan dari kelamin saya,” ujarnya.
Kekecewaan bertambah karena ritual ini dilakukan oleh hulango atau pelaku adat, bukan oleh tenaga medis profesional. Ia menyoroti ketimpangan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam praktik sunat ini. “Kalau laki-laki disunat, pasti oleh dokter. Tapi perempuan? Hanya orang adat yang tidak tahu prosedur medis. Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab?”

Rasa sakit yang ditimbulkan bukan hanya dari luka tusukan, tetapi juga dari tindakan selanjutnya. Luka bekas tusukan tersebut langsung digosok dengan lemon, yang oleh pelaku adat dipercaya dapat menghentikan perdarahan. Natalia menyebut rasa perih dan sakitnya luar biasa, namun ia tidak berdaya menolak karena tekanan kuat dari keluarga suaminya. Proses ini dibenarkan atas nama adat yang harus dijalankan menjelang pernikahan.
Padahal, ayah mertua Natalia sebenarnya sudah enggan melaksanakan proses adat tersebut. Tetapi desakan datang dari tante suaminya yang mengultimatum bahwa pernikahan tidak akan dilanjutkan jika sunat tidak dilakukan. Natalia mengaku tidak diberi ruang untuk memahami atau mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Ia hanya dihadapkan pada pilihan sulit dan dibujuk agar mengikuti.
Pascasunat, ia mengalami nyeri hebat yang bahkan membuatnya harus menahan buang air kecil, karena khawatir lukanya semakin perih jika terbilas air. Rasa sakit itu bertahan selama dua hari sebelum mulai mereda. Namun hingga kini, ia merasa ada yang berubah pada tubuhnya.
“Saat pisaunya dicabut dan langsung ditusuk ke lemon, saya tidak sempat melihat apa yang diambil. Tapi saya merasa ada yang hilang dari tubuh saya.”
Suaminya sendiri baru mengetahui detail kejadian tersebut setelah proses adat berlangsung, dan mengaku menyesal. Natalia menyebut bahwa jika ia tahu sebelumnya akan diperlakukan demikian, ia lebih memilih menunda pernikahan hingga seluruh keluarga menyepakati bahwa praktik itu tidak wajib.
“Tapi apa boleh buat, semua sudah terjadi.”
Kini, berdasarkan pengalaman tersebut Natalia menegaskan untuk mengambil sikap, jika suatu hari nanti ia memiliki anak perempuan, ia tidak akan mengizinkan praktik tersebut dilakukan. Ia menolak menjadikan adat sebagai pembenaran atas tindakan yang berpotensi membahayakan.
“Bahkan jika orang tua suami, kakek, atau nenek anak saya memaksa, saya tetap tidak akan izinkan. Karena ia anak saya, dan ia punya hak atas tubuhnya. Tugas saya sebagai orang tua adalah melindunginya.”
Kisah Natalia memperlihatkan bahwa praktik sunat perempuan bukan hanya persoalan adat, melainkan juga soal hak asasi, kesehatan, dan integritas tubuh perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan baik anak-anak maupun dewasa tidak mendapat penjelasan, tidak diberi pilihan, dan tidak memiliki kendali atas tubuh mereka sendiri.
Sunat perempuan dilakukan tanpa indikasi medis, sering kali dalam kondisi yang tidak steril, dan dengan alat yang tidak layak, seperti pisau berkarat dan bahan tradisional yang berisiko menimbulkan infeksi. Dalam konteks hukum dan kesehatan, praktik ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Ketiadaan tenaga medis dalam pelaksanaannya tidak hanya membahayakan fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam. Negara sudah memberikan sinyal larangan melalui kebijakan dan regulasi, namun penegakan di lapangan masih menghadapi tantangan besar, terutama karena praktik ini dibungkus oleh dalih adat dan tekanan sosial. Terlebih, praktik ini meski sudah dilarang namun belum ada sanksi hukum secara spesifik yang diatur undang-undang terhadap praktik sunat perempuan.
Pengalaman seperti yang dialami Natalia dan perempuan-perempuan Gorontalo lainnya menjadi pengingat bahwa setiap individu, terutama perempuan dan anak-anak, memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari praktik yang membahayakan. Tradisi tidak seharusnya mengorbankan keselamatan dan martabat seseorang. Dalam upaya perlindungan hak perempuan, terutama dalam konteks sunat, edukasi, penegakan hukum, dan keberanian untuk berkata tidak atas nama adat, harus terus diperjuangkan.
Terlebih yang perlu ditegaskan adalah bahwa sunat perempuan sejatinya merupakan bentuk mutilasi genital perempuan (Female Genital Mutilation/FGM). Ini adalah tindakan melukai, mengubah, atau menghilangkan sebagian organ genital perempuan tanpa alasan medis yang sah. Menyebutnya sebagai bagian dari tradisi hanya memperhalus kekerasan yang sebenarnya terjadi. Sunat perempuan adalah mutilasi pada vagina yang dibungkus dalam nama adat dan simbolik, tetapi nyatanya meninggalkan luka yang dalam baik fisik maupun psikis, kepada mereka yang mengalaminya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo | Ilustrator: Yayat Gokz
3 comments