lipunaratif.com
Stories

Lewat Karya Instalasi “Pelimpahan”, Mohammad Katili Angkat Pegon Gorontalo dan Sumpah Seremonial

Batu-batu terpecah belah berserakan di bawah. Satu batu besar berdiri kokoh hampir di tengah. Sementara batu-batu lain bergelantungan bersama huruf-huruf dengan warna keemasan. Huruf-huruf itu adalah pegon Gorontalo yang dikutip dari teks syair tudja’i–ucapan atau lisan yang disampaikan selama upacara adat Gorontalo:

Huta, huta lo ito eya (Tanah, tanah milikmu tuanku)

Taluhu, taluhu lo ito eya (Air, air milikmu tuanku)

Tulu, tulu lo ito eya (Api, api milikmu tuanku)

Dupoto, dupoto lo ito eya (Angin, angin milikmu tuanku

Bo ito eya diya poluli hilawo eyanggu (Tetapi jangan sewenang-wenang tuanku)

Bagi Mohammad Katili, karya “Pelimpahan” ini tidak hanya menjadi karya instalasi pertamanya yang ikut pameran, tapi juga sebagai medium pelimpahan keresahannya terkait realitas. Rangkaian kegiatan MTN Lab 2025 Residensi Gorontalo banyak mengubah mindset-nya dalam berkesenian. Utamanya untuk lebih berani mengangkat hal-hal personal ke dalam karya.

Ipay, sapaannya, mengangkat pegon Gorontalo karena menurutnya selama ini tidak ada yang mengarsipkan dan mendokumentasikan pegon Gorontalo sebagai bagian dari budaya dan sejarah. Tidak banyak yang tahu bahwa banyak kitab-kitab adat di Gorontalo itu mulanya berbasis pegon Gorontalo. Lantaran budaya Gorontalo yang lebih ke lisan, makanya aksara dan arsip-arsip itu hilang terabaikan.

“Arab pegon di Indonesia itu banyak. Tapi yang belum terekam itu salah satunya di Gorontalo. Kalau kita teliti kitab-kitab seperti teks miraji, dikili, dan lain sebagainya itu ditulis pakai arab pegon. Saya punya misi khusus untuk mengangkat ini,” kata seniman yang memang identik dengan kaligrafi tersebut.

Sementara itu, batu menjadi material paling dominan pada karya “Pelimpahan” di pameran Sangkut Paut ini. Menurutnya, batu dipilih sebagai representasi alam yang belakangan rusak karena sering dijadikan sebagai objek. Ipay menyebut, jarang sekali kita memposisikan alam sebagai subjek. Namun, sebagai orang yang sejak kecil hidup berpindah-pindah, Ipay juga menggambarkan batu sebagai bentuk paling dasar dari rumah.

Batu besar itu disimbolkan Ipay sebagai penguasa atau pemerintah atau pemimpin. Batu-batu yang berserakan dan terpecah belah di bawah adalah rakyatnya. Batu-batu yang bergelantungan adalah elit-elit, menteri-menteri, pendengung-pendengung, oligarki  yang lebih didengar penguasa ketimbang rakyat.

Secara pribadi. Ipay sangat tertarik dengan simbol-simbol sebagai elemen visual untuk menyampaikan makna dan pesan. Khususnya untuk sesuatu yang tidak terucapkan. Dia percaya bahwa simbol memiliki kekuatan untuk menghubungkan manusia dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri,

“Kita bisa lihat apa yang terjadi sekarang, seperti banjir di Sumatera. Itu adalah realitas yang ingin disimbolkan dari karya ini. Di Gorontalo juga sama,” katanya.

Teks tudja’i yang ditampilkan Ipay dalam karya itu adalah sumpah yang sering dibacakan ketika ada pemimpin Gorontalo yang dilantik. Biasanya berisi sanjungan, nasihat, dan petuah. Namun belakangan, menurut Ipay, sumpah sakral ini hanya jadi kegiatan seremonial belaka. Mereka yang dilantik tidak memaknai dan mengimplementasikan sumpah itu dalam kebijakan-kebijakannya.

Itu juga yang menjadi alasan kenapa Ipay mengacak-abstrak huruf-huruf pegon Gorontalo tersebut tanpa struktur yang jelas. Sebab, pada realitanya, hal itu juga sudah tidak ada artinya lagi.

“Disusun dengan rapi dan eksplisit juga buat apa? Sudah tidak berharga lagi.”

Related posts

Pameran Ditimoli #2: Jejak Mudarat Program Hilirisasi Nikel Lewat Karya Seni Rupa “Zat Besi”

Redaksi

Pesta Seni Panen Padi Maa Ledungga #4 2025 Resmi Dibuka

Redaksi

Menjemput Ramadan Bersama Komunitas Yahudi 

Defri

Leave a Comment