lipunaratif.com
Image default
Stories

Bermalam di Torosiaje: Bingo, Pengembara dan Orang Asing

Oleh: Arinda Gawa/Community Organizer

Orang-orang mengerumuni tumpukan papan kecil yang berukuran sebesar tangan orang dewasa. Saya hampir mengira, mereka sedang bertengkar, jika tidak melihat ekspresi mereka yang justru menunjukkan hal yang sebaliknya; tidak ada raut wajah orang sewot, atau kerutan tegang di antara kening dan bibir, tetapi mereka semua sedang bercengkrama dan bersenda gurau. Hanya saja memang suara mereka terdengar seperti orang yang sedang bertengkar dari sudut pandang saya yang tinggal di darat.

Kehadiran saya malam itu langsung menyedot perhatian. Kawan saya Vina, menerjemahkan tatapan bingung mereka dan memperkenalkan siapa bagei (orang asing dalam bahasa Bajau) yang ada di depan mereka. Saya lantas menyalami mereka yang duduk melingkar satu per satu, sambil memperkenalkan diri, “Saya Arinda dari Burung Indonesia.”

Sembari mengelilingi lingkaran dan memperkenalkan diri, saya melihat Vina yang sibuk memilih papan kecil dengan tulisan Bingo di atasnya, dan kumpulan angka acak dalam tabel. Setelah menentukan pilihan terhadap tiga papan Bingo, Vina lalu menyerahkan selembar uang dua ribu rupiah kepada seorang perempuan yang sepertinya berperan semacam panitia.

Sebenarnya kunjungan ke Torosiaje ini hanya mengisi kekosongan waktu saya dan Vina, selepas kegiatan diseminasi hasil pemantauan mangrove di Desa Torosiaje Jaya. Vina, yang juga fasilitator desa di Japesda, mengajak saya untuk berkenalan dengan kelompok dampingan Japesda yang ada di Torosiaje. Ia menyebut tentang permainan Bingo yang sedang digandrungi masyarakat akhir-akhir ini.

Saat itu, saya belum mendengar permainan Bingo, tapi saya pernah menonton live Facebook seorang nenek di Amerika yang sering bermain Bingo (dibaca Binggo). Saya berpikir, mungkin itu dua hal yang berbeda. Lagi pula, saya lebih menyukai berkenalan dengan warga di tempat-tempat non formal seperti itu, dibanding harus menggelar pertemuan formal yang kaku dan monoton, sehingga menciptakan jarak dengan warga.

Kumpulan bola-bola kuning yang bertuliskan angka dikocok beberapa kali, kemudian Siti, seorang yang berperan semacam pemandu permainan, mengambil satu bola acak dan membaca angka yang tertera di situ.

“Lima!” teriak Siti. Semacam aba-aba, semua pemain mencari angka lima pada papan Bingo.

Ada pemain yang mengambil benda pipih dan menutupi angka lima yang ada di papan, ada juga pemain yang bergeming. Begitu terus prosesnya sampai angka-angka di papan itu sejajar membentuk garis lurus, entah vertikal, horizontal atau diagonal. Permainan dianggap selesai jika ada pemain yang berhasil membentuk garis lurus pada papan Bingo.

“Putus!” saya dan Vina berteriak girang ketika akhirnya kami memenangkan permainan pada putaran kedua.

Uang yang terkumpul tadi, kemudian diserahkan kepada kami. Beberapa kali memenangkan permainan, kami menyelip selembar uang sepuluh ribu untuk dipakai bayar ojek perahu. Begitulah hidup, niat hati mau berkenalan dengan warga, tahu-tahu bisa dapat uang untuk bayar ojek perahu pulang pergi.

Belakangan saya baru tahu, bahwa Bingo dikategorikan sebagai judi. Bahkan di beberapa tempat mereka harus kucing-kucingan dengan aparat kepolisian biar tidak ditangkap. Padahal kalau dilihat lebih dekat, permainan semacam ini jadi ajang untuk merekatkan hubungan antar warga. Saya pernah mendengar cerita orang yang belajar membaca dari porkas. Itulah kenapa melabeli suatu hal dengan hitam putih, agaknya kurang adil. 

Sementara bagi saya yang seorang fasilitator desa, arena permainan Bingo jadi tempat untuk bisa mengenal lebih dekat orang-orang di desa. Bahkan semua informasi di desa, mulai dari info ecek-ecek seperti siapa yang ketahuan selingkuh, sampai info dinamika di desa, bisa didapatkan dari tempat-tempat kumpul seperti itu. Pun saya bisa melakukan pertukaran informasi dengan warga, salah satunya mengenai program konservasi mangrove yang sedang dilakukan Burung Indonesia. 

Saya percaya, metode pembasisan seperti ini juga banyak dilakukan oleh fasilitator desa atau community organizer di berbagai tempat, untuk memberi penyadar-tahuan bagi masyarakat. Jika melihat ke belakang, menurut catatan sejarah, Yesus juga melakukan hal yang demikian; mulai dari satu orang pengikut, sampai jadi banyak seperti sekarang.

Malam semakin larut, saya dan Vina memutuskan untuk kembali ke darat. Kami menumpang perahu Om Kusno, ojek perahu lintas rahasia malam. Om Kusno adalah satu-satunya ojek perahu yang beroperasi di malam hari hingga menjelang pagi. Oleh karena itu, ia dan perahunya jadi saksi apa saja kejadian-kejadian rahasia yang dilakukan orang-orang ketika malam hari. Di atas perahu, saya dan Vina membuat janji untuk mengunjungi kembali Desa Torosiaje, saya ingin melihat aktivitas warga lebih dekat lagi.

Pengembara yang Dirumahkan

19 Oktober 2024 saya dan Vina sepakat menginap di Torosiaje. Sebelum menuju ke dermaga, saya menemani Vina mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak Torosiaje Jaya. Vina menggunakan metode yang sama sekali berbeda dari metode belajar mereka, di ruang bersekat yang kita sebut kelas; mengajak mereka bermain.

Sebagai orang dewasa yang pernah menjadi anak-anak, saya tidak menyukai metode belajar di kelas yang kaku, monoton dan membosankan. Saya bahkan tidak bisa menahan diri ketika anak-anak itu mengajak saya bermain tebak kata dalam Bahasa Inggris. Hampir sepanjang kelas kami habiskan dengan tertawa bersama.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, saya dan Vina beranjak menuju dermaga. Dalam perjalanan, saya melihat satu buah perahu yang tertambat. Perahu itu berbeda dengan ojek perahu yang saya lihat. Selain dilengkapi terpal sebagai atap, terdapat peralatan sederhana seperti alas untuk tidur, dan perabot untuk memasak. Menurut Vina, itu adalah perahu milik orang Bajau yang lebih sering menghabiskan kesehariannya di laut lepas. Mereka jarang pulang ke darat.

Saya jadi teringat Rafi, Obe, dan ibunya. Mereka adalah keluarga orang Bajau yang lebih sering menghabiskan hidupnya di lautan lepas. Saya bertemu Rafi karena ia mendapatkan bantuan operasi bibir sumbing dari pemerintah. Waktu itu, saya sempat ikut menjaga Rafi ketika di rumah sakit.

Saat itu saya dan teman-teman AJI Gorontalo membantu Rafi untuk memenuhi kebutuhan terkait administrasi agar ia bisa dioperasi. Ketika di rumah sakit, kami sempat kewalahan karena Rafi dan keluarganya tidak begitu nyaman tinggal di rumah sakit. Pernah suatu malam, ia terbangun dan menangis kencang. Beberapa keluarga pasien yang ada di satu ruangan dengan Rafi, ikut menenangkannya. Usaha itu gagal, sebab Rafi merindukan laut, ia ingin pulang ke rumahnya.

Orang Bajau dan laut adalah satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Jika melihat catatan mengenai asal usul orang Bajau, banyak perbedaan tergantung siapa yang menuturkan. Namun yang pasti, mereka adalah pelaut andal. Mereka hidup sebagai suku nomaden yang menjelajahi lautan luas. Lalu ketika batas-batas negara ditetapkan, mereka seketika menjadi asing. Bahkan di beberapa negara mereka pernah dianggap sebagai penyusup hanya karena tidak memiliki kewarganegaraan.

Pemerintah Indonesia sempat tidak mengakui orang Bajau adalah bagian dari Indonesia, meskipun mereka hidup tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Untuk bertahan hidup, mereka kemudian menyerah dan memutuskan untuk bermukim.

Di tahun 2003 Pemerintah Provinsi Gorontalo membangun pemukiman untuk suku Bajau, yang lokasinya sekarang berada di Desa Torosiaje Jaya. Namun karena beberapa dari mereka tidak betah, mereka akhirnya memutuskan untuk membangun pemukiman di laut dangkal, yang kemudian menjadi Desa Torosiaje.

Orang Asing

Angin laut berembus cukup kencang, menembus celah-celah dinding hingga menyelinap sampai di balik selimut tipis yang saya kenakan. Debur ombak dan suara Vina yang bernyanyi kecil turut membangunkan saya. Tapi ada ritual yang harus saya lakukan tiap pagi, yang lebih mendesak dari rencana kami untuk jalan-jalan; buang hajat.

Untuk urusan yang satu itu, Vina meminta saya menyelesaikannya di toilet masjid yang hanya berjarak beberapa langkah dari sekretariat kelompok yang kami pakai untuk menginap malam itu. Sebenarnya di sekretariat terdapat toilet standar yang digunakan masyarakat Torosiaje, namun karena airnya sedang surut, feses yang akan saya buang itu tidak akan terbawa oleh air laut, sehingga buang hajat di masjid lebih baik dilakukan.

Ada dua hal yang membuat saya terkesima. Pertama, tak jauh dari masjid, ada hamparan hutan mangrove dengan cahaya matahari yang jatuh pada setiap daunnya dan burung-burung yang terbang rendah menambah magis suasana pagi itu. Kedua saya melihat satu rumah yang lantainya dilapisi ubin pada bagian atasnya, padahal di bawah lapisan ubin itu terdapat kayu yang menjadi penyanggah bangunan. Saya buru-buru menepis perdebatan kecil yang terjadi di pikiran saya saat itu. Saya harus segera buang hajat supaya bisa jalan-jalan mengelilingi desa.

Lanskap Desa Torosiaje sudah sering saya lihat di sosial media. Rumah-rumah berbahan kayu yang dibangun berdekatan satu sama lain. Saya dan Vina mulai menyusuri desa dengan berjalan kaki tanpa alas. Tatapan penuh tanya sering saya jumpai pada mata setiap orang yang saya temui sepanjang jalan. Saya merasa seperti benar-benar menjadi The Stranger milik Albert Camus, dan memang begitu.

Pandangan saya lalu tertuju pada satu bangunan toilet yang runtuh milik warga. Toilet itu dilapisi ubin pada bagian atasnya sama seperti salah satu rumah yang saya lihat sebelumnya. Seakan bisa membaca kebingungan saya, Vina menjawab bahwa toilet itu tiba-tiba runtuh. Tapi saya percaya tidak ada yang tiba-tiba, semua terjadi karena proses yang berjalan. Pemandangan itu membuat saya yakin, melapisi ubin di lantai kayu rumah adalah ide yang buruk. 

Beratus meter setelahnya, kami melihat sebuah kotak penyimpanan yang terbuat dari besi teronggok berkarat di depan rumah warga.

“Alat-alat yang terbuat dari besi, di sini jadi cepat berkarat. Sepertinya karena uap air laut,” celetuk Vina.

Kalau dipikir lagi, apakah alat-alat seperti kotak besi tadi, atau lantai kayu yang dilapisi ubin, adalah benar-benar dibutuhkan oleh orang-orang Bajau yang kini mendiami Desa Torosiaje? Sepertinya tidak. Bukan berarti saya menolak perubahan gaya hidup satu kelompok, atau menafikan pendapat langsung dari warga.

Menurut saya menggunakan ubin pada lantai kayu sangat beresiko. Kayu yang mengalami pelapukan, tidak bisa segera disadari karena ada ubin di atasnya. Hipotesis ini mendukung toilet yang ‘tiba-tiba’ roboh. Atau kebiasan baru yang menumpuk alat-alat yang sebenarnya tidak cocok dengan iklim di tengah laut. Lalu kenapa mereka melakukan itu?

Tuduhan terberat saya jatuhkan kepada konsep ‘orang asing’ yang bertahun-tahun dilabeli kepada mereka. Karena merasa menjadi orang asing, mereka perlu untuk melakukan penyesuaian. Mereka kini menggunakan kacamata orang darat, di laut. Untuk apa ada lantai ubin itu, kalau bukan menyambut ‘orang asing’ yang datang berwisata di desa mereka.

Pukul sepuluh pagi, kami memutuskan untuk kembali ke darat. Dari kejauhan kami melihat ada ojek perahu yang melintas. Salah satu warga yang melihat kami memanggil ojek perahu, ikut membantu memanggil ojek perahu itu. Ia menggunakan Bahasa Bajau, yang tidak sepenuhnya saya mengerti, kecuali ia menyebut kata bagei sambil menunjuk ke arah kami. 

Related posts

Beri Harapan Dahulu, Batal Kemudian

Defri

Menikmati Ramona Melancholic, Band Folk dari Pohuwato

Defri

Melintasi Gorontalo-Buol, Membayangkan Amerika-Meksiko

Defri

Leave a Comment