Oleh: Arief Abbas
Saya pernah menghabiskan satu setengah jam hanya untuk menunggu sebuah diskusi dimulai. Diskusi itu awalnya dijadwalkan pada pukul 19.30 WITA dan saya adalah salah satu panelisnya. Saya waktu itu datang pukul 19.00 WITA sedang beberapa kawan saya sudah di lokasi sejam lebih awal. Ketika waktu menunjukkan pukul 19.45 WITA, diskusi belum juga dimulai. Berulang kali panitia yang saya tanyai soal ini bilang: salah satu narasumber, Presiden BEM belum datang, sedang ada urusan penting. Ini alasan paling absurd yang pernah saya dengar hanya untuk memulai diskusi. Teman-teman saya waktu itu menimpali “memang dia siapa? Sok sekali!”. Diskusi dimulai pada 20.45 WITA sesaat ketika si Presiden BEM itu datang. Tahu apa yang terjadi setelahnya? Teman-teman saya mengata-ngatai Presiden BEM itu pada sesi diskusi karena selain telat, apa yang keluar dari mulutnya hanya muter-muter, membual, serta memberi kiat-kiat menjadi penguasa. Saya berharap dia malu.
Kejadian di atas juga bukan yang pertama. Boleh dibilang, pada sebagian besar kegiatan di mana saya menjadi narasumber atau peserta, mau itu pada acara formal yang diselenggarakan oleh pemerintah atau organisasi kemahasiswaan, selalu terlambat. Sudah begitu, acaranya ingin dipercepat dengan alasan waktu yang terbatas. Jika waktunya terbatas, mengapa tidak datang lebih awal atau memulainya saja tanpa harus menunggu?
Tentu saja saya pernah terlambat. Namun tidak setiap waktu. Jika itu pertemuan formal, saya berusaha tidak lewat dari lima belas menit dengan sebisa mungkin juga mengonfirmasi. Benar juga memang bahwa kejadian ini tidak hanya terjadi di Gorontalo. Selama tiga tahun di Jogjakarta misalnya, keterlambatan juga terjadi. Namun tidak sering. Dari 10 kegiatan yang pernah saya ikuti misalnya, hanya 2–3 kegiatan yang terlambat dilakukan. Itupun tidak lebih dari 15 menit.
Salah satu kawan baik yang bukan orang Gorontalo namun telah bermukim di sini dan mengalami keterlambatan ini berkali-kali pernah bertanya:
“Di Gorontalo memang sering terlambat begini? Kenapa, ya? Apakah tidak ada penjelasannya?”
Sesungguhnya, waktu itu, saya tak punya jawaban atas pertanyaannya yang terdengar sepele itu! Saya juga bertanya-tanya, mengapa bisa demikian? Saya baru menemukan jawabannya ketika membaca detil karya Richard Tacco yang bertajuk “Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch” (Gorontalo Institut, 1935). Buku ini berisi kumpulan wawancara antara Marsaoleh dan Kontrolir Muda Belanda di akhir tahun 1800 tentang sejarah, kebudayaan, tradisi orang-orang Gorontalo masa lalu. Salah satu dari banyak pembahasaan di dalam buku tersebut adalah soal “mengapa orang-orang Gorontalo sering terlambat”. Alasan utama mengapa orang-orang Gorontalo terlambat, setidaknya pada masa lalu, dan kemungkinan bertahan hingga saat ini — meskipun tentu saja mengalami distorsi dan berubah seturut perkembangan sejarah — adalah karena mereka tidak mengenal konsep terlambat.
Tentang Wu’udu dan Bubalata
Boleh dibilang, orang-orang Gorontalo itu disiplin untuk urusan-urusan publik. Ini karena setiap tingkah laku mereka diatur oleh adat. Tata aturan adat yang mengatur sikap ini terbagi dua. Pertama adalah Wu’udu atau sikap “si pembesar terhadap rakyat” dan kedua adalah Bubalata, yakni “balasan yang dilakukan rakyat terhadap si pembesar”. Misal yang paling sederhana adalah soal memberi salam di antara dua kelas sosial yang berbeda, yakni antara kepala kampung dan rakyat. Jika yang pertama kali melihat rakyat adalah kepala kampung (Tauda’a) — dari arah yang berlawanan/dari sisi jalan yang berbeda — maka si kepala kampung harus mengangkat tangan, sebelum kemudian dibalas oleh rakyat dengan tindakan yang sama. Jika yang diangkat dua tangan, maka harus dibalas dengan dua tangan juga. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Sikap kepala kampung itu adalah Wu’udu, sedangkan sikap si rakyat yang membalas salam adalah Bubalata. Dalam adat Gorontalo, dua hal ini tidak terpisahkan dan siapa pun yang melanggar, akan mendapatkan sanksi adat.
Sayangnya, Wuudu dan Bubalata ini tidak mengatur apakah orang harus datang secara tepat waktu atau apa sanksi untuk keterlambatan mereka. Alasannya sederhana: terlambat tidak dikenal dalam budaya Gorontalo (Tacco, 1935, hlm. 60). Itu sebabnya, datang terlambat pada suatu kegiatan adalah hal yang lumrah bahkan untuk kepala kampung, kepala distrik, dan raja sekalipun. Fenomena ini digambarkan secara detil oleh mantan Marsaoleh Gorontalo pertama ketika menyinggung hal-hal di luar Wuudu dan Bubalata, kepada kontrolir Belanda, yang bilang:
“…Sayangnya ini [keterlambatan] tidak berlaku untuk orang Gorontalo, karena sebenarnya telah sesuai dengan setidaknya satu kebiasaan mereka, yaitu bahwa para Kepala sering datang terlambat; ini bukanlah hal yang tidak biasa bahwa seorang Kepala datang pertama kali atau bahkan sebelum waktu yang telah ditentukan untuk pertemuan atau acara.
Semua sepakat bahwa dia, jika bukan yang terakhir datang, setidaknya harus salah satu dari yang terakhir. Terkadang, dia bahkan perlu dijemput dari rumahnya ketika semua tamu lain sudah hadir.” (Tacco, 1935, hlm. 60)
Dalam percakapan tersebut, Marsaoleh juga menambahkkan bahwa orang-orang Gorontalo bahkan “tidak peduli seberapa penting atau resmi acaranya” (Tacco, 1935, hlm. 61). Yang menurut saya aneh justru karena pada pra-pelaksanaan kegiatan, Wu’udu dan Bubalata mengatur soal tata cara mengundang orang dengan sangat ketat. Hal ini, oleh si Marsaoleh, dinyatakan sebagai berikut:
“… misalnya undangan kepada Kepala Kampung untuk menghadiri acara “slametan,” maka adat diikuti dengan ketat. (hlm. 40)
“…undangan tertulis tidak diperbolehkan menurut adat, karena dianggap kurang hormat.” (hlm. 41)
“Jika undangan juga ditujukan kepada istri Kepala Distrik, maka seorang wanita juga harus ikut, sebaiknya istri kepala kampung ibu kota Gorontalo.” (hlm. 41)
Jadi, mengundang orang, apalagi itu adalah kepala kampung dan kepala distrik, itu wajib; bahkan ketika para pembesar ini memutuskan untuk tidak hadir, mereka wajib untuk memberikan konfirmasi karena hal tersebut diatur dalam tata aturan adat (hlm. 42). Sebaliknya, yang tidak wajib adalah datang tepat waktu. Yang menarik, meskipun terlambat, mereka tidak pernah absen untuk menghadiri acara tersebut. Soal ini, Marsaoleh memberikan contoh lebih konkrit:
“Misalnya, jika waktu yang ditetapkan adalah pukul 12 siang, tamu pertama biasanya sudah datang di pagi hari dan terus berdatangan hingga pukul 8 malam. Bahkan, bukan hal yang aneh jika ada tamu yang datang keesokan harinya pukul 9 pagi, dan mereka tidak dianggap terlambat.” (Hlm. 61).
Alasan orang-orang datang terlambat atau bahkan setelah kegiatan selesai ini, menurut Marsaoleh berkaitan erat dengan budaya “mobilohe” orang-orang Gorontalo (hlm. 61). Mobilohe dalam konteks ini berarti “datang untuk melihat” apa yang terjadi. Meskipun ada yang merasa perlu memberikan penjelasan, ini juga bukan berarti semua orang yang datang terlambat juga membawa permintaan maaf saat melakukan mobilohu. Sayangnya, masyarakat Gorontalo tidak mengenal alasan minta maaf — jika mereka merasa tidak perlu— hanya karena mereka terlambat. Alasan paling sering disebutkan dalam mobilohe menurut budaya orang-orang Gorontalo adalah: asalkan mereka menunjukkan muka karena berhalangan datang pada hari sebelumnya (hlm. 63).
Soal ini, bagi si pemilik hajat (pengundang), juga bukan masalah. Setidaknya, ada dua alasan untuk hal ini. Pertama, tak ada masalah selama tetap ada yang datang meskipun ini dilakukan bergiliran. Alasan pertama ini bisa jadi karena hajatan-hajatan Gorontalo di masa lalu dilakukan dalam waktu yang panjang atau masih bisa datang pada hajatan selanjutnya — yang masih berkaitan (misalnya: nikahan). Kedua, yang lebih penting adalah acaranya ketimbang berapa banyak yang datang. Sebab, oleh Marsaoleh dikatakan bahwa: “hal itu hanya akan membuat orang tersebut (pembuat hajat) terlihat terlalu peduli atau “sangat pietis” — meskipun mereka juga terkadang jengkel — yang bisa merusak kesan keseluruhan dari pesta tersebut (hlm. 63).
Waktu Jam dan Waktu Peristiwa
Alasan bahwa tak ada konsep terlambat dalam tata aturan adat Gorontalo pada masyarakat Gorontalo ini sebenarnya bukan hal yang baru juga. Antropolog Edward Hall di dalam The Silent Language (Doubleday Press, 1959) menyebut bahwa hal ini lumrah terjadi pada setiap komunitas masyarakat karena adanya pemahaman yang berbeda soal memaknai waktu. Paling penting, Hall menandai bahwa, meskipun terlambat adalah konsep yang datang belakangan, namun bukan berarti masyarakat zaman dulu tidak memahami waktu. Secara antropologis, waktu dipahami sebagai “fakta sosial”, tidak esensial, alih-alih dikonstruksi secara sosio-politik oleh setiap komunitas sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pada komunitas masyarakat lokal yang cenderung komunal, menurut Hall, waktu ditentukan berdasarkan “waktu peristiwa” (event time): sebuah cara untuk memahami aktivitas tanpa melihat jam. Hal ini dicontohkan ketika Suku-suku Indian melaksanakan ritual, berburu, makan, bernyanyi atau bahkan istirahat yang dilakukan tanpa sama sekali terjadwal (seperti saat ini), melainkan melalui kebutuhan, konsensus tertentu atau bahkan sekadar jika mereka telah merasa nyaman untuk melakukannya. Oleh Hall, ini disebut sebagai “waktu polikronik”, yang lebih menekankan pada budaya kolektif: relasi sosial, fleksibel dan fokus pada proses.
Di Gorontalo masa lalu, waktu polikronik seperti ini cukup diperhatikan. Misalnya, sebelum masa tanam, orang-orang Gorontalo akan berkumpul di rumah-rumah para Panggoba untuk memastikan agar penentuan “hari-hari baik” menanam dapat diprediksi. Hal tersebut juga berlaku untuk proses pembukaan lahan di mana Talenga terlibat untuk memberikan instruksi di mana dan berapa luasan lahan yang harus dibuka. Ketika musim panen tiba, orang-orang di masa lalu akan bersama-sama dengan Wombuwa untuk menghadiri berkontribusi pada ritual mopo’a huta. Yang paling penting, untuk melaksanakan berbagai tradisi ini, orang-orang perlu bersepakat untuk menentukan kapan suatu aktivitas dijalankan.
Pemahaman atas waktu di atas sangat berbeda dengan ciri yang kedua, yakni penentuan waktu berdasarkan budaya “waktu jam” (clock time) yang, menurut Hall, telah tersistematisasi sedemikian rupa berdasarkan pengaturan-pengaturan tertentu. Penentuan waktu ini muncul ketika hierarki masyarakat telah terbentuk, di mana konsentrasi kekuasaan telah berada pada satu atau segelintir orang yang memungkinkan mereka untuk melakukan berbagai macam pengaturan, khususnya dalam aspek pengerahan tenaga kerja. Berbeda dengan tipe polikronik, pemahaman atas waktu ini disebut oleh Hall sebagai “waktu monokromik” yang cenderung individual: linier dan terjadwal, fokus pada tugas, dan efisiensi kerja. Perubahan total dari waktu polikronik ke monokronik ini terlihat jelas di Gorontalo.
Antropolog Irma McLaurin menekankan bahwa keharusan orang untuk mengikuti “waktu jam” ini semakin parah di abad 18–19 pada masa Revolusi Industri yang mendorong adanya peningkatan besar-besaran terhadap pekerjaan pabrik dan diikuti oleh pertumbuhan jalur kereta api agar dapat saling mendukung untuk kepentingan pasokan bahan mentah, distribusi bahan jadi, sampai ekspansi industri ke tempat-tempat yang baru (Levin, 2024). Konsekuensi dari ketiga komponen ini menjadi penting untuk perkembangan kapitalisme yang, tidak hanya merubah lanskap tenaga kerja (mulai dari jumlah yang sangat besar, mekanisme, sampai berpindahnya orang dari desa ke kota atau sebaliknya), melainkan juga merubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat sehari-hari yang sebelumnya, memahami pekerjaan dengan berdasarkan peristiwa (event time), menjadi budaya waktu jam (clock time).
Beberapa Catatan Tambahan
Saya menduga, adanya regulasi yang mengatur soal “kewajiban” mengundang suatu kegiatan dengan segala komponen-komponennya yang “njelimet” bagi orang Gorontalo adalah hal yang datang belakangan. Hal ini, selain telah disebutkan di atas, juga karena pada dasarnya terjadi pelembagaan hukum adat, ketika seluruh tindakan masyarakat di dalam ruang publik di atur sedemikian rupa, di masa puncak kejayaan Raja Eyato (1646–1674) — sebagaimana juga dituturkan oleh Marsaoleh di dalam catatan Tacco tersebut. Sayang sekali, saya tidak menemukan alasan selain “menghindari penantian yang membosankan” (hlm. 64) dari keterlambatan atau bahkan ketidakhadiran mereka pada catatan Tacco tersebut. Artinya, tak ada alasan “revolusioner” tertentu pada sikap tidak datang pada pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan, utamanya yang dilaksanakan oleh para pembesar.
Hal ini persis ditunjukkan oleh Marsaoleh:
“Mengingat kebiasaan [terlambat] yang sudah lama berlangsung ini, bisa dimengerti jika seorang kepala kampung dan masyarakat memilih untuk tidak terlalu ketat dalam mengikuti “kesopanan para Penguasa” untuk menghindari penantian yang membosankan.” (hlm. 62)
Meskipun demikian, sebenarnya ada kecenderungan untuk “memberi peringatan” pada setiap pembesar yang datang terlambat pada hajatan-hajatan rakyat karena hal tersebut merupakan bagian dari Bubalata yang menjadi hak rakyat. Hal ini sama persis dengan memenuhi undangan pada waktu yang tepat karena hal tersebut merupakan salah satu bagian dari “kesopanan” yang harus dipatuhi oleh penguasa karena itu merupakan bagian dari Wu’udu yang wajib. Sayangnya, bagi si Marsaoleh, “hal-hal ini masih terbatas pada kepala kampung dan beberapa tamu terhormat lainnya dan belum menjadi fenomena yang luas” (hlm. 63).
Saya pikir, penting juga untuk mencermati bahwa bukti-bukti sejarah yang dipaparkan dalam tulisan Tacco ini bisa jadi belum bisa merangkum asal-usul tradisi orang-orang Gorontalo. Itu sebabnya, diperlukan pembacaan yang lebih mendalam serta konfirmasi sumber-sumber lain yang lebih kredibel. Meskipun demikian, alasan tak mengenal terlambat yang demikian ini bagi saya, bukanlah hal yang baik untuk dipertahankan apalagi sudah membuat janji sebelumnya. Benar bahwa bisa jadi kita punya alasan-alasan tertentu mengapa harus datang terlambat atau bahkan tidak bisa datang sama sekali. Tapi saya pikir, itulah pentingnya komunikasi sejak awal agar dapat memberitahu kendala. Jika tidak bisa dan harus mengulur banyak waktu, mengapa tidak mengambil keputusan untuk memulainya saja, bukan? Meskipun begitu, saya tetap tidak bisa menolerir jika kita butuh satu setengah jam hanya untuk menunggu seorang Presiden BEM untuk memulai diskusi sedang yang keluar dari mulutnya hanya kiat-kiat menjilat untuk jadi penguasa.***
3 comments