lipunaratif.com
Feature/In-depth

Hak Terampas, Suara Teredam: Potret Jurnalis Perempuan di Gorontalo

Oleh: Faradila Alim

“Luka operasi caesar saya masih basah, baru tiga hari diperban, tapi mereka tetap menelepon, meminta saya meliput.”

Kalimat itu keluar pelan dari bibir Sarah (nama samaran). Wajahnya kuyu ketika kami bersua di sebuah warung kopi di sudut Kota Gorontalo, akhir Juli 2025.

Setelah menghela napas sejenak, kami memulai obrolan dengan saling bertanya kabar hingga dia mulai membuka kisah pengabdiannya selama satu dekade di Gorontalo Post, salah satu media lokal terbesar. Di sanalah dia menyadari bahwa menjadi jurnalis perempuan tak semudah yang dibayangkan. 

Kenangan yang paling menyesakkan adalah ketika dia harus tetap bekerja meski perut semakin membesar. Tiga kali mengandung, tiga kali pula dia merasakan momen tidak mengenakan saat penugasan liputan. 

Ketika mengandung anak pertama, ia pernah ditugaskan meliput pembunuhan di daerah yang jauh. Tak ada fasilitas yang diberikan kantornya. Saat hamil anak kedua, dia pernah ingin dipindahtugaskan ke provinsi lain tanpa alasan yang jelas. 

Yang paling menyesakkan adalah saat mengandung anak ketiga. Statusnya diturunkan dari karyawan tetap menjadi pekerja lepas alias freelancer.  “Alasannya target tidak terpenuhi, tapi bagi saya itu hanya cara perusahaan melepas saya,” ucapnya.

Harapan Sarah sejak pertama kali bergabung tahun 2009 tidak muluk-muluk: bekerja dan digaji sudah cukup.  Akan tetapi, gajinya tak pernah menyentuh Upah Minimum Provinsi (UMP). Memulai karir dengan gaji Rp600 ribu, slip gaji terakhirnya saat dipecat berhenti di angka Rp1,8 juta, di bawah UMP Gorontalo yang saat itu telah mencapai angka Rp2.3 juta.

“Saat saya menuntut untuk dinaikan gaji, perusahaan hanya berkata; kalau saya sudah banyak mendapatkan insentif ketika liputan,” katanya. 

Sarah hanya bisa pasrah dan tetap menjalankan penugasan yang diberikan. Tidak jarang, gajinya dipotong secara sepihak hanya karena iklan advertorial yang disajikan dalam bentuk artikel di website dan dikemas layaknya karya jurnalistik itu, belum dibayarkan dari klien yang memesan. Bahkan ketika uang tersebut akhirnya masuk, perusahaan tetap tidak pernah mengembalikan potongan gaji yang telah diambil sebelumnya.

Meski menghadapi ketidakadilan Sarah tidak punya pilihan lain. Anak-anaknya menunggu: susu, popok, dan biaya sekolah yang harus dipenuhi setiap bulan. Gaji suaminya tak cukup menanggung semua kebutuhan.

Namun titik balik datang ketika statusnya sebagai karyawan tetap dicabut dan ia hanya menerima pesangon yang jauh dari hitungan masa kerjanya. Dalam kegelisahannya, ia mendapat penguatan dari organisasi serikat pekerja yang bersedia mendampinginya. 

Dari situ ia memberanikan diri melapor ke Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Gorontalo. Prosesnya tidak sebentar, bahkan cukup berliku, karena yang ia hadapi adalah perusahaan besar. Tetapi perlawanannya membuahkan hasil.

Kasus Sarah akhirnya diselesaikan di meja Dinas Ketenagakerjaan. Perusahaan diwajibkan membayarkan pesangon sesuai masa kerjanya. Sarah pun telah menerimanya.

‘Sarah’, saat ditemui Lipunaratif di salah satu warung kopi di Gorontalo, 24 Juli 2025. Foto: Faradila Alim

Berulang dan Tak Ada Pilihan

Kisah serupa  terjadi pada diri Niken Mokoginta. Bahkan, lebih buruk lagi. Tidak hanya upah yang tak layak , tapi juga beban kerja ganda serta tidak ada pembelaan ketika menjadi korban pelecehan seksual.

Bergabung dengan 60detik.com  sebuah media lokal, pada tahun 2020 ia langsung ditawari sebagai editor, akan tetapi juga merangkap untuk liputan di lapangan. Sejak awal dia sudah merasakan sebagai perempuan, dunia jurnalistik tak selalu ramah pada suara mereka, namun dia berusaha berdamai dengan kondisi tersebut.

Niken bercerita hanya menerima Rp1,5 juta per bulan. Sebagai editor, setiap hari dia setidaknya harus menyunting minimal 20 berita. Tubuhnya kerap tumbang. Bahkan, di satu masa, ia bekerja dari ranjang rumah sakit, menyelesaikan suntingan di antara infus dan bau obat, tanpa perlindungan jaminan kesehatan dari perusahaan. 

Tak cukup di situ, sebagai editor, dia kerap diminta melakukan tambahan di lapangan tugas yang seharusnya menjadi pekerjaan wartawan lapangan, tapi harus ditanggung seorang editor. Pada awalnya, dia masih sanggup menjalani dua pekerjaan sekaligus karena jumlah editor saat itu masih dua orang, sehingga beban kerja dapat dibagi. 

Namun, tak lama kemudian rekannya mengundurkan diri, dan statusnya menjadi editor tunggal, tentu ia akan menyunting lebih banyak berita dengan tambahan tugas yang tidak diperhitungkan dalam gaji.

Menyadari beban kerjanya sudah tak sebanding dengan gaji yang ia terima, Niken meminta gajinya dinaikkan. Hal itu sempat terwujud. Gajinya setara dengan UMP Gorontalo, sebesar Rp2,8 juta. Akan tetapi, ketika pandemi Covid-19 datang, gajinya kembali dipangkas menjadi Rp1,5 juta. Dia mengaku kecewa, akan tetapi demi bertahan hidup, pekerjaan itu terus dijalaninya. 

Juli 2024, pesan singkat masuk ke gawai miliknya. Di sana tertera nama dan nomor pemimpin redaksi yang menyebut bahwa perusahaan sedang melakukan perampingan. Dan namanya masuk dalam daftar tersebut. Alasannya tak masuk akal: editor dianggap beban. Sedangkan wartawan di lapangan tidak bisa dikurangi. 

Pesan itu menyatakan Niken diminta berhenti, untuk sementara waktu. Dijanjikan dalam dua bulan akan dipanggil kembali

Namun, janji itu tak pernah ditepati. Dua bulan berlalu, alasan yang sama terus diulang. Hingga Januari 2025, kabar yang ditunggunya tak kunjung datang. Kini, nasibnya jelas: jadi korban pemutusan hubungan kerja sepihak. Tapi, urusan administrasi tak kunjung beres dalam sekejap. 

Hingga kini, setahun lebih sejak pemberhentiannya, Niken belum menerima kabar untuk kembali bekerja. Pesangon yang menjadi haknya tak pernah dibayarkan.  Niken tak kuasa menuntut karena tak punya bekal apa-apa. 

Hal serupa terjadi pada Waode Saritilawa. Setelah lima tahun bekerja Gopos.id, tiba-tiba namanya tak lagi disebut di grup redaksi. Walau masih tercatat sebagai karyawan tetap, tapi seperti hantu di ruang redaksi.

“Perusahaan belum juga memecat, entah untuk memberi kesempatan, entah sekadar menghindari kewajiban membayar pesangon,” katanya pada Lipunaratif, akhir Juli lalu. 

Walau sejak bergabung langsung diangkat sebagai karyawan tetap, gajinya jauh dari layak. Dari 2020-2023, ia hanya dibayar Rp15.000 per berita. Sempat naik menjadi Rp25.000–Rp40.000, lalu kembali turun ke Rp15.000 dengan alasan keuangan perusahaan sedang sulit. 

Untuk bisa mendapat gaji senilai UMP Gorontalo saat ini, yakni Rp3,2 juta, berarti ia harus memproduksi sekitar 200an berita per bulan. Meski sudah membanting tulang, bekerja sekuat tenaga, penghasilannya tak lebih dari Rp2 juta. 

Manajemen redaksi juga tidak mempertimbangkan siklus bulanan perempuan, yang dilindungi dan dijamin UU Ketenagakerjaan. Yang paling menyakitkan baginya, banyak jatah liputan kemudian dialihkan ke jurnalis laki-laki. Seringkali tanpa koordinasi. Ia dianggap lamban, tak cekatan, karena dia perempuan. Maka ia harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan diri di tengah diskriminasi yang jelas-jelas struktural.

“Redaksi selalu bilang, kalau malas turun, ya tidak dapat uang, karena menurut mereka saya bisa dapat tambahan dari lapangan,” katanya getir. 

Sari mengaku sudah lama menahan kesal, tapi takut kehilangan pekerjaan memaksanya bertahan.

Akan tetapi, tak semuanya seperti itu. Komang Kris Kamisma, jurnalis KompasTV biro Gorontalo mengatakan, administrasi media nasional tempatnya bekerja cukup jelas. Pendapatannya setara dengan standar UMP Provinsi. Begitu juga dengan segala insentifnya, termasuk insentif liputan langsung. Hal itu dinyatakan dalam kontrak kerja yang jelas, memuat hak dan kewajiban para pihak. 

Meski statusnya masih kontrak profesional per tahun, dalam dua tahun ke depan ia sudah bisa naik ke Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain insentif liputan langsung, perusahaan juga memberikan tunjangan hari raya hingga hak libur akhir pekan, sebuah kondisi yang jarang ditemui di media lokal.

“Kalau dibandingkan, memang jauh berbeda. Saya tahu ada teman-teman yang statusnya karyawan tetap di media lokal, tapi justru hak-haknya tidak dipenuhi,” kata Kris.

Sari sedang berbagi kisah saat Lipunaratif mewawancarainya di sebuah kedai kopi di Gorontalo, 23 Juli 2025. Foto: Faradila Alim

Ketergantungan pada Pemerintah 

Banyak perusahaan media di Gorontalo masih bergantung pada kontrak dan iklan dari pemerintah daerah, termasuk Gopos.id. Sekitar 80 persen pendanaan media ini bergantung pada pemerintah. Kalau anggaran pemda dipangkas, pendapatannya ikut tertekan. 

Meski sudah mencoba menggarap segmen lain dan ide bisnis baru, seperti kelas pelatihan jurnalistik berbayar, hal itu tidak cukup. 

Hasanudin Djadin, Pemimpin Redaksi Gopos.id tak menampiknya. Akan tetapi, dia berkilah calon jurnalis tahu bahwa gaji per bulan yang akan diterimanya berdasarkan produktivitas dan belum sesuai UMR. 

“Kami terbuka soal ini sejak awal. Gaji dibayarkan per bulan, tapi dihitung per berita. Rata-rata jurnalis menerima Rp1,5 juta sampai Rp2 juta,” katanya. 

Didirikan pada Januari 2019,  semula Gopos.id dirancang untuk menyasar pembaca muda, memanfaatkan media sosial sebagai kanal utama. Namun, realitas bisnis media lokal tak semulus rencana awal. 

Hasan mengatakan, mereka tetap mencoba mengupayakan kenaikan gaji. Tapi, untuk itu mereka juga harus memastikan kondisi keuangan perusahaan. Kalaupun tidak bisa menaikkan gaji, bonus sebagai apresiasi kerja diberikan setahun sekali, meski jumlahnya kecil.

Irfan Lussa, Direktur Kronologi.id, mengatakan hal yang mirip dengan Hasan. Bahkan, dia masih harus merogoh dana dari kocek pribadi untuk pengembangan media tersebut. Hal itu terjadi ketika database dan server Kronologi diretas. Dua kali serangan itu terjadi dan mengakibatkan seluruh pemberitaan hilang. Untuk mengembalikan fungsinya meningkatkan keamanan server, pemilik harus merogoh uang dari saku pribadinya. 

Saat ini, 50 persen pendapatan perusahaan masih dialokasikan untuk biaya server dan sisanya untuk membayar gaji wartawan serta biaya operasional lainnya. Meski masih belum mapan, Irfan menyatakan, gaji wartawan diupayakan selalu dibayar tepat waktu.  

Dengan kondisi seperti itu, gaji didasarkan pada beban kerja terukur, dalam hal produktivitas. Irfan mengakui belum bisa mempekerjakan karyawan dengan standar UMP. Dia beralasan banyak jurnalis belum mampu memenuhi standar kuota berita yang tetapkan. 

Dia juga mengklaim telah berdiskusi dengan para jurnalis soal mekanisme kerja dan pola pengupahan seperti ini. “Saya sering bertanya kepada jurnalis: apakah mereka mau menerima keadaan seperti ini? Mereka bersedia,” klaim Irfan. 

Irfan terbuka kalau jurnalisnya harus merangkap tugas sebagai marketing atau bahkan mencari tambahan penghasilan di luar gaji. Realita di lapangan, katanya, banyak yang menerima pekerjaan sebagai jurnalis meski hanya diupah Rp500.000 untuk sekadar bertahan hidup. Dia pun mengamini kalau independensi media akhirnya tergadaikan. 

Dari kondisi yang dialami Niken dan Sari sebagai jurnalis media lokal, ditambah dengan pernyataan tentang kondisi perusahaan media lokal, terlihat jelas kesenjangan mereka dengan Kris, jurnalis media nasional. Perbedaan ini menunjukkan adanya sistem kerja yang tidak sama. Media nasional cenderung memiliki modal besar, akses iklan komersial, serta standar kontrak kerja yang lebih jelas. Sebaliknya, media lokal kerap terseok karena bergantung pada iklan pemerintah daerah.

Ketika pemasukan seret, pekerjalah yang menanggung akibat: gaji dipotong, status kerja digantung, hingga hak normatif diabaikan. Lemahnya manajemen dan minimnya pengawasan membuat kondisi ini terus berulang, diperparah budaya kerja patriarkis yang menempatkan jurnalis perempuan pada posisi paling rentan.

Lipunaratif mencoba menghubungi dua media lainnya, yakni Gorontalo Post dan 60detik.com melalui kontak pribadi pemilik media dan  surat permohonan wawancara pada pemimpin redaksi atau perusahaan. Sampai tulisan ini ditayangkan, belum ada respons.

Hasanudin, pemimpin redaksi Gopos.id, saat diwawancarai Lipunaratif di kantornya , 29 Juli 2025. Foto: Faradila Alim

Tidak Dibenarkan

M Yodi Panto Biludi, Sekretaris Dewan Pengupahan Provinsi Gorontalo, Dinas Tenaga Kerja, ESDM, dan Transmigrasi Provinsi Gorontalo, menyatakan, alasan kondisi keuangan tidak pernah menjadi pembenar perusahaan media melakukan pelanggaran hak normatif pekerjanya. 

Dia mengatakan, regulasi ketenagakerjaan Indonesia telah menegaskan hak-hak setiap pekerja, termasuk wartawan. Upah minimum diatur agar tidak ada yang dibayar di bawah standar provinsi atau kabupaten, sesuai sektor dan wilayah, sebagaimana tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja, dan peraturan pemerintah terkait.  

Aturan ketenagakerjaan juga telah mengatur soal jam kerja. Maksimal tujuh jam per hari untuk sistem enam hari kerja, atau delapan jam per hari untuk sistem lima hari kerja. Pekerja juga berhak atas waktu istirahat, baik harian maupun mingguan, termasuk kompensasi atas kerja lembur.

Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan pun sudah diatur. Misalnya, cuti tahunan minimal 12 hari, cuti haid 1–2 hari setiap bulan, serta cuti melahirkan selama tiga bulan, yang dibagi menjadi satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan sesudah melahirkan. Selama menjalani hak-hak tersebut, perusahaan dilarang memotong gaji pekerja. Mereka tetap berhak menerima upah penuh.

Cuti sakit dan jaminan kesehatan pun wajib diberikan jika pekerja menghadapi kondisi medis tertentu. Lebih jauh, setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerja pada program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, termasuk Jaminan Hari Tua, Kecelakaan Kerja, Pensiun, dan Kematian. Jika hubungan kerja berakhir, pesangon sesuai masa kerja menjadi hak pekerja. 

“Pelanggaran terhadap hal ini bukan sekadar masalah internal perusahaan. Hal itu pelanggaran hukum yang memiliki konsekuensi pidana maupun administratif, dari denda hingga pencabutan izin usaha,” kata Yodi. 

Tapi, dia berkilah bahwa temuan-temuan di atas, seperti cerita Sarah, Niken dan sejumlah jurnais perempuan, tidak bisa ditindaklanjuti karena minimnya pelaporan dari penyintas. Ini terjadi karena keterbatasan jumlah penyidik pegawai negeri sipil yang dimiliki Dinasker Provinsi. “Penindakan akan cepat jika ada laporan dari penyintas,” katanya. 

Kalau tidak mau melaporkan langsung, pelaporan bisa dilakukan secara daring pada platform Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan Siap Kerja milik Kemenaker. Setiap laporan akan ditindaklanjuti, tanpa pengecualian, dan identitas pelapor dijamin kerahasiaannya. Di tingkat provinsi, Satgas Gakkumdu Ketenagakerjaan akan menindaklanjuti laporan itu.

Jika ditarik lebih jauh, problem ini juga tidak hanya berhenti pada soal kepatuhan perusahaan terhadap aturan nasional.  Persoalan upah layak, jam kerja manusiawi, dan perlindungan pekerja sejatinya juga berkaitan erat dengan prinsip-prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Business and Human Rights/BHR) yang telah digariskan dalam panduan PBB.      

Negara memiliki kewajiban melindungi setiap warga dari praktik bisnis yang merugikan atau melanggar hak-hak dasar, sementara perusahaan berkewajiban menghormati hak pekerja sebagai bagian dari tanggung jawab etisnya, bukan semata kewajiban hukum. 

Di sisi lain, pekerja yang mengalami pelanggaran berhak mendapatkan pemulihan yang adil dan bermartabat. Mekanisme pelaporan, pendampingan hukum, hingga akses terhadap pemulihan adalah bagian penting dari prinsip BHR yang harus dipenuhi. 

Dengan demikian, melindungi jurnalis dan pekerja media bukan hanya soal penegakan hukum, melainkan juga bagian dari upaya memastikan dunia usaha berjalan sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Industri media, yang sejatinya menjadi garda depan dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM, mestinya tampil sebagai teladan dalam menjunjung tinggi hak-hak pekerjanya.

M. Yodi Panto Biludi, Sekretaris Dewan Pengupahan Provinsi Gorontal saat menjelaskan regulasi dan kondisi ketenagakerjaan di Gorontalo, 15 Agustus 2025. Foto: Faradila Alim

Perbaikan Iklim Kerja 

Verrianto Madjowa, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)  Provinsi Gorontalo mengakui situasi media lokal saat ini belum ideal. Perusahaan media anggota AMSI banyak menyatakan, jika pembayaran dilakukan per bulan dengan target tertentu, jumlah berita yang dihasilkan biasanya tidak sesuai target. Karena itu, model pembayaran per berita dianggap lebih realistis. 

Namun, agar mencapai gaji setara UMP, seorang jurnalis harus memproduksi sekitar 120–200 berita per bulan, angka yang dinilai sulit dicapai di Gorontalo. Apalagi dengan beban kerja yang sama antara jurnalis perempuan dan laki-laki, disparitas tetap akan terjadi. Rata-rata media di Gorontalo membayar jurnalis berdasarkan sistem per berita, dengan tarif sekitar Rp25.000 per berita. 

Verrianto mengkritik praktik verifikasi media oleh Dewan Pers. Persyaratan sebagai media terverifikasi Dewan Pers untuk memperoleh kontrak dari pemda mendorong pendirian media menjamur bak cendawan di musim hujan. Padahal, perusahaan media itu tidak memiliki cukup dukungan dana untuk menjamin kesejahteraan pekerjanya.

Tidak jarang pengusaha pendiri media berani memalsukan data admistrasi untuk memperoleh status terverifikasi DP. Salah satu caranya adalah dengan mentransfer uang senilai UMP ke karyawan sebagai bukti kuitansi yang kemudian dilampirkan saat proses pengajuan ke DP. Padahal, gaji tersebut tidak benar-benar diterima. Sebagian uang bahkan dikembalikan. Syarat administratif terpenuhi, tetapi realitas pengupahan jauh dari standar.

“Dewan Pers sebaiknya tidak hanya mengawasi dari sisi administrasi, tapi juga aspek substansi, termasuk perlindungan hak pekerja,” kata Verrianto.

Sebagai jalan tengah, Verrianto menyarankan agar media tidak membatasi pekerjanya selama mereka mampu menjalankan dua pekerjaan sekaligus yaitu mengambil pekerjaan diluar profesinya selama tidak melanggar kode etik jurnalis. Pendekatan ini membuka peluang bagi jurnalis menambah penghasilan tanpa meninggalkan profesi jurnalistik.

Sebaliknya, Franco Bravo Dengo, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, menyebut, beban pekerjaan ganda bagi jurnalis perempuan menjadikan mereka sebagai objek dan malah semakin rentan. 

Berdasarkan temuan AJI Kota Gorontalo sendiri, jurnalis perempuan kerap dialihkan dari tugas jurnalistik ke pekerjaan mirip sales marketing, mencari kontrak iklan dari pemerintah daerah. Situasi ini membuat mereka terjepit antara independensi profesi dan kepentingan bisnis. 

Bahkan, Franco menilai, ini mencerminkan diskriminasi gender yang lebih kuat dalam struktur industri media lokal. Indikasinya kontrak kerja tak jelas, kultur patriarki, dan peluang berkembang yang timpang. Tanpa perlindungan dan keberpihakan, jurnalis perempuan tetap di posisi paling rentan.

“Kerentanannya berlapis. Upah rendah, status kerja tak jelas, diskriminasi gender, semua menyatu,” kata Franco.

Hal ini juga di tekankan dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) sebagai dokumen panduan global yang menjelaskan bagaimana bisnis harus menghormati hak asasi manusia bahwa pentingnya human rights due diligence yang peka gender. 

Aksi jurnalis di Gorontalo saat menuntut kemerdekaan pers. Foto: Rahmat

Uji tuntas semacam ini berarti perusahaan harus mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi risiko pelanggaran yang mungkin dialami secara berbeda oleh pekerja perempuan. Dalam industri media, hal ini relevan pada isu diskriminasi upah, pengabaian cuti haid atau cuti melahirkan, serta kerentanan jurnalis perempuan terhadap pelecehan dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. 

Mekanisme pengaduan karenanya harus dirancang agar aman, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan, sehingga pekerja perempuan dapat berani melapor tanpa takut stigma maupun kehilangan pekerjaan.

Contoh nyata keberhasilan pendekatan semacam ini dapat dilihat dari pengalaman di sektor garmen Bangladesh, pasca runtuhnya Rana Plaza–sebuah Gedung yang dipakai untuk pabrik garmen (pakaian), bank, dan toko. Saat itu, mekanisme pengaduan independen dibentuk dengan jaminan perlindungan identitas dan melibatkan pihak ketiga. Model itu terbukti mendorong pekerja, khususnya perempuan, untuk melaporkan pelanggaran. 

Di Indonesia, upaya serupa juga mulai tumbuh lewat inisiatif serikat pekerja media bersama AJI dan LBH Pers yang membuka kanal pengaduan independen untuk kasus diskriminasi, pelanggaran kontrak, dan pelecehan seksual di ruang redaksi. 

Jalur alternatif ini menjadi bukti bahwa akses terhadap pemulihan tidak harus terbatas pada mekanisme hukum formal, melainkan juga dapat diperkuat melalui kolaborasi multi-pihak yang memberi ruang aman bagi pekerja.

Kisah Sarah, Niken, dan Sari membuka realita bahwa bekerja di ruang redaksi media lokal bukan hanya soal idealisme, tetapi juga perjuangan panjang menghadapi upah rendah, kontrak kerja yang tak pasti, hingga diskriminasi yang membelenggu jurnalis perempuan. Mereka yang seharusnya menjadi penyalur suara publik, justru kerap kehilangan suara untuk membela diri.

Karena itu, perlindungan terhadap pekerja media tidak bisa lagi ditunda. Pemerintah mesti menegakkan hukum ketenagakerjaan secara tegas: memastikan upah layak, kontrak kerja yang jelas, dan perlindungan gender yang nyata. Perusahaan media juga harus berani melakukan uji tuntas HAM yang sensitif gender, menjamin ruang kerja yang aman, setara, dan bebas diskriminasi.

Dewan Pers pun memegang peran penting dengan memperkuat standar verifikasi media, memasukkan aspek perlindungan hak pekerja sebagai syarat mutlak. Sementara itu, kanal pelaporan yang aman dan anonim perlu disediakan agar pekerja berani bersuara tanpa takut kehilangan pekerjaan.

Lebih dari itu, keberlanjutan media hanya akan terjaga jika model pendanaannya tidak bergantung pada kontrak pemerintah semata. Sebab, kemandirian pers lahir dari redaksi yang bebas, dan kebebasan hanya mungkin berdiri tegak bila jurnalis diperlakukan secara adil. Tanpa itu, kisah seperti Sarah, Niken, dan Sari akan terus berulang menjadi cermin getir tentang betapa rapuhnya perlindungan bagi para penjaga suara publik di daerah.

Related posts

Kisah Tambak Garam di Cagar Alam Tanjung Panjang

Defri

Di Daerah Mega Agropolitan, Hidup Masyarakat Tani Jumpalitan

Redaksi

Petani Bualemo Memungut Asa di Kerak Lahan Perkebunan Sawit

Leave a Comment