Reporter: Muhammad Ziad Pilomonu
Seniman asal Bali, I Ketut Putrayasa menyuarakan isu ketahanan pangan lewat karya instalasinya yang dia beri judul “Oryzamorgana”. Karya tersebut terletak di gilingan padi Ka Miu, salah satu tempat pameran Pesta Seni Panen Padi: Maa Ledungga #4 yang dibuka sejak 29 April hingga 11 Mei 2025.
Dijelaskan Ketut, Oryzamorgana secara harfiah adalah gabungan dari dua kata: oryza diambil dari frasa oryza sativa yang yang merupakan nama latin dari padi; dan morgana diambil dari kata fatamorgana–sebuah istilah penggambaran akan sesuatu hal yang nampak nyata, namun faktanya hanya sebuah ilusi belaka.
“Judul itu dipilih sebagai penggambaran atas ingatan masyarakat yang disekap dalam ruang ilusi, yang mana ilusi tersebut nampak indah, namun pada kenyataannya tidak,” imbuhnya.
Selain itu, Oryzamorgana juga dibuat atas respon dari permasalahan terkait ketahanan pangan global (Global Food Security Index) tahun 2023, yang menjadikan Indonesia menempati urutan 69 dari 113 negara. Karya ini dibuat selama satu minggu dengan bahan menggunakan media berupa padi sebanyak 1 ton, plastik, kain, dan bambu.
“Setelah dari kegiatan Maa Ledungga, padi sejumlah 1 ton itu rencananya mau saya sumbangkan kepada masyarakat yang membutuhkan,” terang dia.
Ini merupakan kali pertama Ketut menjadi peserta pameran pesta seni panen padi Maa Ledungga. Mulanya dia dihubungi oleh penyelenggara, lalu menjadi sangat tertarik dengan tema yang diusung: Suaka.
Sebelumnya, ada beberapa karya Ketut yang terkenal, seperti patung mother and child dengan diameter 5 meter dan tinggi 3 meter, yang berdiri megah di Mandai Wildlife Singapura. Patung tersebut mengangkat pesan konservasi kepada masyarakat, mengenai pentingnya perlindungan terhadap Trenggiling Sunda yang semakin langka. Ada juga patung gurita raksasa di pantai Berawa, Bali.
Kecintaan Ketut Putrayasa terhadap dunia seni sudah terlihat ketika dirinya menimba ilmu di Sekolah Menengah Pertama Seni Ukir Tangeb, tahun 1994, dan serius mendalami seni patung saat Sekolah Menengah Kejuruan. Setelahnya, Ketut Putrayasa menempuh pendidikan sarjana seni rupa, hingga pascasarjana penciptaan seni di Institut Seni Indonesia Denpasar, atau yang biasa dikenal dengan ISI Bali.
Setelah perjalanan panjang, khalayak umum kemudian mengenalnya sebagai seniman patung yang acap kali mengangkat tema sosial, lingkungan, serta isu-isu kontemporer. Pada tahun 2014, dirinya mendapatkan sebuah apresiasi dari ISI Bali pada tugas akhirnya sebagai hasil karya terbaik di tahun tersebut.
Lipunaratif mewawancarai pandangan beberapa pengunjung yang menyaksikan karya Oryzamorgana. Ada yang menganggap karya tersebut sebagai penggambaranatas kesengsaraan seorang petani yang sulit untuk mengolah hasil panennya. Ada juga yang bilang tentang kesejahteraan masyarakat.
“Menurut saya, karya ini menjelaskan isu terkait kesejahteraan masyarakat, terlebih lagi mengenai ketidakseimbangan keuntungan dari hasil panen yang diperoleh petani,” ujar Nazwa (20).