lipunaratif.com
Straight News

Dari Panggoba Hingga Lumbu’a, Dua Seniman Perkental Identitas dan Pengetahuan Lokal di Maa Ledungga #4

Reporter: Imel Hunawa

Pameran Maa Ledungga #4 diikuti oleh lebih dari 40 pegiat seni. Masing-masing menampilkan karya yang dibungkus dengan tema besar: “Suaka”. Dua seniman, Suleman Dangkua dan Talib Eka, menampilkan karya seni rupa berupa lukisan yang menggambarkan sebuah ajakan untuk tidak melupakan pengetahuan lokal.

Suleman Dangkua mendalami seni lukis sejak menempuh pendidikan strata satu pendidikan seni rupa dan kerajinan di IKIP Manado (sekarang UNIMA). Dia mulai mengikuti pameran seni rupa sejak tahun 1990-an. Melalui karya-karyanya, Pak Eman–begitu dia sering disapa, sering kali merespons fenomena sosial, kehidupan, sejarah, dan kebudayaan.

Pada Maa Ledungga kali ini, dirinya menampilkan lukisan yang dia beri judul “Panggoba”. Lukisan yang tidak hanya indah secara visual, tapi juga sangat sarat makna.

Panggoba merupakan sebutan untuk seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam, memilih jenis tanaman, serta menghindari kegagalan panen akibat musim kemarau, hama, atau penyakit. Ilmu ini berpedoman pada peredaran matahari, bulan, dan bintang, serta disertai ritual dan mantra. Pengetahuan tersebut diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad, namun kini mulai tergantikan oleh pendekatan pertanian modern.

“Secara visual menampilkan sosok rekaan sebagai panggoba hanya berupa kepala saja. Di tangan kiri memegang alat ritual berupa tempurung berisikan sesuatu yang mengeluarkan asap, di tangan kanan memegang tasbih sebagai tanda kepercayaan pada sesuatu, termasuk bercocok tanam yang beralih menggunakan syariat Islam, sejak masyarakat mengenal Islam,” kata Pak Eman.

Bagian bawah, dirinya melanjutkan, divisualkan hasil pertanian sebagai makanan pokok masyarakat Gorontalo. Kemudian, warna hijau menggambarkan tanaman yang belum masak (mentah). Sedangkan warna kuning menandakan bahwa tanaman tersebut sudah masak.”

Alasan utama Pak Eman pada akhirnya membuat lukisan “Panggoba” ini, karena dirinya resah dengan generasi sekarang yang telah melupakan tradisi tersebut. Dia ingin memperkenalkan, terlebih lagi mengajak untuk tidak lupa dengan pengetahuan lokal Gorontalo itu.

“Saya ingin anak-anak tahu kebudayaan lokal Gorontalo. Saya ingin local genius ini dipahami, bukan hanya dianggap sebagai pengetahuan masa lalu yang ditinggalkan. Jejak-jejaknya masih bermanfaat dan tidak seharusnya dianggap tabu,” tegasnya.

Saat ini Pak Eman aktif sebagai dosen di jurusan seni rupa dan desain, program studi seni rupa, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Gorontalo. Sebelumnya, dia pernah menjadi dosen seni rupa di Manado, Sulawesi Utara, tahun 1987 sebelum akhir pindah dan menetap di kota kelahirannya, Gorontalo. 

Pak Eman menjadi peserta pameran Maa Ledungga sejak Maa Ledungga pertama kali digelar. Pada tahun 2022 lalu, dirinya menggelar pameran tunggal bertajuk “60+”. Iven itu lebih dari sekadar pameran, ia menjadi penanda dan potret perjalanan panjangnya dalam mengarungi dunia seni rupa.

Lukisan berjudul Lumbu’a karya Talib Eka di Maa Ledungga #4. (Foto: Alya Dumbi)

Selain Panggoba, ada pula karya luar biasa lainnya yang turut mencuri perhatian. Sebuah lukisan hitam putih karya Talib Eka, seniman asli Gorontalo dan anggota komunitas Hartdisk berhasil menghadirkan nuansa lokal yang kuat meskipun hanya menggunakan dua warna. Karya tersebut diberi judul Lumbu’a–yang berarti “lumbung” dalam bahasa Gorontalo.

“Lukisan ini bertemakan suaka, dan saya angkat istilah lokal Lambu’a sebagai judulnya. Ini adalah tempat penyimpanan gabah saat musim paceklik zaman dulu,” jelasnya. “Akhir-akhir ini saya menyukai warna monokrom, hitam putih.”

Lukisan tersebut memperlihatkan berbagai elemen masa lampau seperti Lambu’a (lumbung), Wombohe (pondok), serta petromaks lampu yang digunakan masyarakat dahulu. Ketiganya menjadi simbol perlindungan, penerangan, dan ketahanan semangat yang sejalan dengan makna suaka.

Dia pun menambahkan, bahwa proses berkaryanya tidak instan. Sebelum melukis, ia mendalami tema terlebih dahulu, menuliskannya dalam bentuk cerita, membuat sketsa, lalu mulai melukis dengan penuh perasaan.

“Tapi kalau temanya bebas, saya mengikuti alur kreativitas saya sendiri,” tutupnya.

Talib Eka atau lebih dikenal dengan panggilan Ti Pak Guru Ibu. Nama yang membingkai kisah hidup seorang selalu membawa makna kebudayaan Gorontalo. Satu sosok di Gorontalo yang tetap berjalan pelan namun pasti, membawa semangat manula yang tak pernah padam.

Ti Pak Guru Ibu adalah suara masa lalu yang merangkul masa kini. Lewat alat musik tradisional polopalo, ia memanggil kenangan, membangunkan identitas, dan membuktikan bahwa warisan tak pernah usang. Meski kerap disebut “jadul”, ia justru berada di garis depan pelestarian budaya, menyandingkan pola lama dengan teknologi baru.

Semangatnya, seperti kain yang dijahitnya sendiri: kuat, detail, dan penuh warna. Ti Pak Guru Ibu adalah bukti bahwa usia bukan batas untuk berkarya, bahwa akar tradisi bisa tumbuh bersama zaman, dan bahwa jiwa seniman sejati tak pernah pudar.

Pada tahun 2007, Ti Pak Guru Ibu mengikuti pagelaran seni budaya inggkat nasional di tugu mandala Makassar, sosialisasi Komunitas Adat Nasional di Makassar, 2006 mengajar seni rupa di sekolah kelas akselerasi di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Selanjutnya, 2005 dirinya juga mengikuti pendidikan seni rupa di Yogyakarta. Sejak 2001 sampai sekarang ia juga menjadi tim juri seni budaya di jajaran dinas pendidikan dan kebudayaan Provinsi Gorontalo.

Related posts

Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

Redaksi

Kematian Mahasiswa IAIN Gorontalo: Polisi Tahan Tersangka dan Janjikan untuk Menyeret Pihak Kampus

Defri

Suaka, Tema Utama Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” 2025

Redaksi

Leave a Comment