Oleh: Fairuz Mohamad
Dunia bergerak cepat dan bising oleh keangkuhan manusia. Tanpa sadar, ada banyak entitas yang merintih-meringis atas hilangnya tempat berlindung, hak dan mata pencaharian. Di tengah gemuruh mesin-mesin yang membelah perut bumi, di antara gedung-gedung yang menancapkan dirinya ke langit, di dasar sungai yang kehilangan bening, pertanyaan ini menggema: siapa yang sesungguhnya membutuhkan suaka?
Dengan semua hal yang maunya serba instan, gagasan keberlanjutan seringkali diabaikan dalam euforia ambisi pembangunan. Jangan jauh-jauh untuk melihat dampaknya. Saat ini, Gorontalo sebagai wilayah agraris yang mempunyai tradisi panjang dalam menghargai siklus alam, juga berhadapan dengan tantangan besar. Modernisasi dan industrialisasi telah menggeser cara pandang manusia terhadap lingkungan, menjadikannya sekadar objek eksploitasi, bukan lagi entitas yang harus dihormati. Krisis air, alih fungsi lahan pertanian, pertambangan, dan deforestasi menjadi realitas yang semakin sulit dihindari.
Dalam lanskap ini, seni tidak hanya hadir sebagai dokumentasi, tetapi sebagai lahan refleksi: bagaimana seharusnya kita sebagai manusia yang katanya makhluk paling mulia menempatkan diri dalam ekosistem yang semakin rapuh? Maa Ledungga #4, sebagai pesta seni panen padi di Gorontalo, mengusung tema S.U.A.K.A, yang banyak menelisik keterhubungan manusia, alam, dan kekuasaan. Panen bukan sekadar perayaan hasil kerja keras petani, tetapi juga pengingat bahwa alam memberi dengan syarat: ia harus dirawat, dilindungi, dihormati, dan tidak dieksploitasi secara serakah.
Salah satu gagasan penting yang muncul dari kegiatan ini adalah bagaimana seni dapat menjadi sebuah sarana yang menyebarkan keresahan-keresahan ekologis, HAM, perempuan, penyalahgunaan kekuasaan serta kesadaran tentang bagaimana mencipta tanpa menghilangkan esensi keberlanjutan
Karya seni dalam Maa Ledungga #4 mungkin tidak berbicara dalam bahasa yang gamblang, tetapi menawarkan tafsir yang beragam. Beberapa mungkin akan menangkapnya sebagai seruan ekologis, mengingatkan bahwa alam bukan sekadar sumber daya yang bisa diambil tanpa batas. Yang lain mungkin melihatnya sebagai refleksi sosial, di mana seni menjadi ruang bagi mereka yang termarjinalkan oleh sistem yang lebih besar. Ada pula yang mungkin akan menangkapnya sebagai kritik terhadap kekuasaan, dimana sering kali, bukan alam atau hewan biasa yang perlu suaka, tetapi justru antek antek dari sistem yang menciptakan ketimpangan itulah yang harus dikurung dan dikendalikan.
Saya penasaran, apakah Maa Ledungga #4 ini ingin menyeragamkan karya seni dari para seniman yang ikut berkontribusi pada satu isu tertentu? Awaludin, salah seorang penggerak kegiatan tahunan tersebut menerangkan, bahwa sejatinya itu semua menjadi hak seniman dan bagaimana mereka memaknai karya masing-masing.
“Akan tetapi kami sangat berharap bahwa para seniman yang berkontribusi bisa merepresentasikan berbagai keresahan-keresahan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Baik itu isu lingkungan, HAM, kekuasaan, atau Perempuan,” katanya, saat saya wawancarai, Rabu (19/3/2025).
Di tengah semua tafsir ini, ada satu hal yang jelas, yakni seni adalah ruang suaka bagi gagasan- gagasan yang mungkin tak lagi mendapat tempat dalam wacana negara ini. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh narasi-narasi citra dan gimik seperti pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi sumber daya, seni menawarkan narasi tandingan yang lebih halus, tetapi tetap kuat. Ia berbicara tentang batas, tentang harmoni, tentang bagaimana kita bisa bertahan tanpa harus mengorbankan yang lain.
Pada akhirnya, Maa Ledungga #4 bukan sekadar perayaan seni, tetapi juga pengingat bahwa kita sedang berada di persimpangan besar: apakah kita akan terus bergerak ke arah eksploitasi tanpa batas, atau mulai mencari jalan untuk mencipta tanpa merusak? Seni, dalam bentuknya yang paling murni, selalu menjadi pengingat bahwa ada cara lain untuk melihat dunia yakni cara yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan sesaat, tetapi juga pada keberlanjutan masa depan.
28 comments