lipunaratif.com
Image default
Mantra

Sinyal Besar dari Anjloknya IHSG

Oleh: Fairuz Mohamad

Setengah tahun berlalu Indonesia dipimpin oleh nahkoda baru, namun tampaknya harapan perubahan masih cukup abu-abu. Saat ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang mengalami tekanan hebat sehingga menimbulkan tren yang menghawatirkan dengan total penurunan sebesar 5%. Catatan penurunan signifikan ini memicu kepanikan di berbagai kalangan. Akan tetapi, kini pertanyaan yang muncul bukan lagi sekadar mengapa IHSG anjlok, tetapi apakah ini merupakan pertanda dari krisis yang lebih besar?

IHSG bisa dibilang sebagai cerminan kepercayaan investor pada stabilitas ekonomi di suatu negara. Jika indeks ini anjlok, maka bisa diartikan bahwa pelaku pasar melihat adanya resiko signifikan di negara tersebut, baik dari faktor domestik maupun global. Penurunan IHSG di Indonesia saat ini bukan cuma fluktuasi biasa, hal ini mengindikasikan bahaya ekonomi jika melihat serangkaian kebijakan, pernyataan juga kondisi negara yang carut marut sehingga mengguncang kepercayaan pasar.

Sekadar mengingatkan, Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung pada kegiatan Milad ke-112 Muhammadiyah yang digelar di universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (4/12/2024) menyampaikan bahwa dirinya mendapat ancaman bahwa IHSG akan turun jika menjalankan program makan bergizi gratis. Namun beliau tidak bergeming, karena merasa tidak dirugikan sebab bukan pemain saham.

“Kasih tau, ya, saya nggak punya saham, dan rakyat di desa-desa tidak punya saham,” ujar Prabowo.

Cukup ironis memang. Tapi tidak berhenti disitu, pernyataan kontroversial Prabowo dilanjutkan dengan menyatakan bahwa berinvestasi saham sama dengan sedang berjudi, di mana rakyat kecil pasti kalah dan rugi ketika bermain saham. Walau terlihat sepele, namun pernyataan-pernyataan tersebut dapat mengguncang kepercayaan investor. Pernyataan seorang pemimpin terkait dengan pasar saham pada dasarnya bukan opini pribadi semata, melainkan sebuah cerminan tentang bagaimana pemerintah akan menyikapi sektor ekonomi ke depannya.

Ketika seorang figur publik yang memiliki pengaruh besar seperti Prabowo membuat pernyataan yang dianggap merendahkan atau meragukan legitimasi investasi saham, tentunya dapat menciptakan persepsi negatif terhadap pasar modal secara keseluruhan. Investor, terutama yang baru atau kurang berpengalaman, mungkin menjadi ragu-ragu untuk berinvestasi atau bahkan memutuskan untuk keluar dari pasar serta memicu aksi panic selling.

Permasalahan ini diperparah dengan berbagai mega proyek yang minim hasil, beserta aspek kebermanfaatan yang masih dipertanyakan seperti Makan Bergizi Gratis, Ibu Kota Nusantara, serta Danantara yang menjadi contoh simbolis dari pengutamaan ambisi daripada solusi. Proyek-proyek ini telah mengganyang anggaran negara lebih dari triliunan rupiah, tetapi belum ada kejelasan terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian secara langsung dan berkelanjutan.

Sementara itu, kebutuhan yang jauh lebih fundamental seperti pendidikan, kesehatan serta kesejahteraan tidak mendapatkan porsi seimbang. Lagi-lagi hal ini bisa dilihat sebagai red flag bahwa negara lebih memilih sibuk untuk membangun citra semata.

Dengan banjirnya PHK, anjloknya IHSG, warisan hutang negara, melebarnya defisit APBN yang tekor mencapai 31,2 Triliun, kasus korupsi, konsumsi dan daya saing beli nasional semakin lesu membuat tekanan terhadap rupiah semakin meningkat. Mau tidak mau

pemerintah harus menghamburkan lebih banyak dana untuk menopang perekonomian dengan kondisi pemasukan yang semakin tidak stabil, sehingga menimbulkan risiko resesi yang semakin nyata. Jika kebijakan fiskal tidak segera dikendalikan, maka indonesia bisa kembali masuk dalam pusaran hutang piutang yang ibaratnya dilakukan untuk menggali lubang untuk menutupi lubang lainnya.

Argentina adalah contoh nyata bagaimana sebuah negara bisa jatuh dalam krisis kepanjangan, akibat kebijakan ekonomi yang tidak jelas serta hilangnya kepercayaan investor. Di tahun 2018, Argentina mengalami krisis karena ketidakjelasan kebijakan ekonomi yang menyebabkan pemodal menarik diri secara besar besaran hingga menyebabkan peso Argentina anjlok lebih dari 50% setahun, dan inflasi yang menyentuh angka 50%. Walaupun masih ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi, akan tetapi kita bisa melihat bahwa krisis ini bukan hanya sekedar tentang angka-angka, melainkan bagaimana kebijakan negara yang tidak konsisten bisa menjadi awal kehancuran.

Oleh karena itu, jika Indonesia tidak berhati-hati maka kita akan berada di jalur yang sama. Dengan anjloknya IHSG, kepercayaan investor yang terkikis, proyek besar yang menguras anggaran tanpa kepastian manfaat, serta kebijakan fiskal yang semakin tidak transparan, membuat sinyal bahaya semakin nyata. Ini bukan sekadar koreksi pasar, tetapi bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tegas, rasional dan berpihak pada rakyat.


Fairuz Mohamad adalah penulis lepas yang aktif menulis untuk media lokal maupun internasional. Ia saat ini tengah menempuh studi Magister di Universitas Gadjah Mada dengan latar belakang Hubungan Internasional. Ketertarikannya berfokus pada isu-isu transformasi digital, daya saing, serta dinamika kontemporer yang membentuk hubungan global saat ini. Lewat tulisan dan risetnya, Fairuz mencoba menjembatani perspektif akademik dengan realita sosial yang terus berkembang.

Related posts

Suaka, Tema Utama Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” 2025

Redaksi

Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

Redaksi

Rizal Misilu, Si Anak Hilang

Defri

4 comments

Leave a Comment