lipunaratif.com
Stories

Buruh Underprivilege di Kampus Gorontalo: Kesejahteraan Kurang, Beban Kerja Lebih

Buruh underprivileged di kampus adalah mereka yang jauh dari hak istimewa dan kurang terlayani. Mereka bekerja di sudut-sudut kampus, memastikan proses belajar mengajar berjalan lancar dan nyaman. Tapi, sudahkah mereka mendapatkan hak yang layak?

Om A adalah pria dewasa berpenampilan sederhana. Dia bekerja di kampus A sejak bulan Juni tahun 2024. Dia diterima bekerja dengan sistem kontrak, dan sejak itu, hari-harinya berjalan dalam ritme 12 jam kerja: dua hari shift pagi, dua hari shift malam, dan dua hari libur. 

“Saya merasa cukup dengan tugas yang diberikan” ujarnya, tenang.

Namun, di balik ketenangan itu, ada realitas yang dia hadapi. Dengan gaji Rp1.500.000 perbulan, Om A merasa tugas yang dia kerjakan belum sepenuhnya sebanding dengan gaji yang dia terima. Dia pun menyadari bahwa jumlah itu bahkan masih di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo.

“Kalau mau dibilang, memang tidak sesuai dengan tugas,” tegasnya.

Tetapi dengan penuh kesadaran, Om A memilih untuk menerima keadaan. Dia paham betul soal regulasi kampus yang mengikat dan mengurungkan niat untuk tidak banyak bertanya tentang gaji, walaupun itu adalah kepahitan. Tidak hanya itu, Om A saat kami wawancarai seperti mengorek ingatan pahitnya saat dia ingin meminta cuti kerja, tapi memilih menunda, karena ada tanggung jawab di kampus pada waktu yang sama.

Diceritakannya, waktu itu momen Idul Fitri, hari yang selalu menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga, bersilaturahmi dengan keluarga, berziarah kubur, bermaaf-maafan dengan keluarga, dan ritus-ritus lain umat muslim. Gegap gempita yang pada akhirnya mesti diurungkan Om A karena tuntutan kerja.

“Saya harus bergegas mengenakan pakaian dinas lengkap dan menuju kampus. Sebab shift pagi telah menunggu dan itu tidak bisa kosong,” katanya, kondisi itu dia alami saat momen lebaran tahun 2025, berapa bulan yang lalu.

Tapi Idul Fitri bukan satu-satunya pengorbanan. Setiap hari, rasa rindu untuk berkumpul dengan keluarga selalu menjadi momok bagi pikirannya. Sebagai bagian keamanan kampus, dia mesti mengamankan kampus terlebih dahulu dibanding keluarga.

Kisah Om A adalah potret nyata tentang keteguhan hati. Tentang bagaimana kerja keras, rasa syukur, dan kesetiaan bisa hidup berdampingan di tengah keterbatasan. Dan pagi itu, di balik seragam satpam yang sederhana, Om A melangkah gagah, menjaga keamanan sebuah kampus yang dia anggap sebagai rumah kedua.

Waktu menunjukkan pukul 20.04 WITA, Jumat (25/4/2025), ketika kami bertemu seorang pria paruh baya yang sedang membersihkan antar-ruangan di kampus tersebut. Namanya Om B. Dengan sapu di tangan dan senyum ramah, dia menyambut kedatangan kami. Setelah menyelesaikan pekerjaannya sejenak, dia duduk di sudut ruangan dan mulai berbagi kisah hidupnya. Sejak tahun 2014, dia bekerja sebagai cleaning service (CS) di kampus itu.

“Sudah tujuh tahun saya di sini,” ujarnya, sambil menghela nafas panjang, mengenang perjalanan panjang yang telah dia lalui di kampus ini. 

Awalnya, pekerjaan itu bukan miliknya. Dia diminta menggantikan kakaknya yang berhenti bekerja. Sejak saat itu, ia meneruskan tugas tersebut dengan penuh dedikasi hingga hari ini. Setiap hari, Om B mulai bekerja sejak pukul 06.00 pagi hingga 18.00 sore menjelang malam. Dia bertugas membersihkan seluruh ruangan dan area sekitar kampus. Jika ada kegiatan di kampus, ia menyesuaikan jadwal pembersihan pada keesokan harinya.

“Hari libur saya cuma hari Minggu,” katanya, sambil tersenyum.

Namun, di tengah rutinitas itu, Om B tetap merasa bersyukur. Menurutnya, pihak kampus tidak pernah memotong gajinya meskipun dirinya terlambat atau sakit. Om B menceritakan bahwa saat pertama kali bekerja, ia menerima gaji Rp1.000.000 yang dibayarkan tunai. Pada tahun 2015, gajinya naik menjadi Rp1.500.000. 

Om B berasal dari luar Gorontalo, di sana keluarga orang tua, sanak saudara tinggal dan bermukim. Tapi bagi dirinya bekerja jauh dari keluarga tidak membuatnya merasa dia kesepian. Manajemen memberinya tempat tinggal di dekat kampus. Dia hanya membayar biaya listrik setiap bulannya. Itu menurut penuturannya “sangat membantu sekali”.

Selama lebih dari satu dekade bekerja, Om B hanya pernah mengambil cuti sekali, yaitu pada tahun 2016, untuk pulang kampung merayakan Idul Fitri bersama keluarga besarnya. Kebersamaan dan perhatian dari pihak kampus membuat Om B merasa nyaman. Bahkan, ketika dia pernah berniat untuk berhenti bekerja, Rektor kampus menolak keinginannya.

“Saya ingin keluar, tapi Ibu Rektor tidak mengizinkan,” katanya, tersenyum terharu mengingat kejadian itu. 

Kini, di usia yang mulai senja, Om B tetap setia pada tugasnya. Tak banyak ambisi, tak banyak tuntutan. Hanya satu harapan sederhana yang disimpan dalam hatinya: bisa terus bekerja dengan sehat dan diberkahi rezeki yang cukup. 

“Saya tidak muluk-muluk. Asal sehat dan tetap diberi kesempatan kerja, itu sudah cukup,” ucapnya, tulus.

Malam semakin larut. Lampu-lampu di sudut kampus mulai dipadamkan satu per satu. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara sapu yang bergesekan dengan lantai. Om B kembali mengambil sapunya, melanjutkan pekerjaannya. Dengan langkah perlahan, dia membersihkan ruang demi ruang, seolah sedang menjaga mimpi-mimpi generasi muda yang belajar di kampus ini. 

Di balik tugas sederhana itu, tersimpan pengabdian besar. Seorang pria yang tak pernah lelah menjaga kebersihan, menjaga harapan, dan menjaga mimpinya sendiri dalam diam.

Ketulusan, dedikasi dan kerja para buruh di kampus nyatanya masih belum bisa menaikkan taraf hidup mereka. Hidup dengan gaji dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP) membuat hidup buruh terjepit. Ironi ketika kampus ingin mencetak sebanyak-banyaknya kaum terdidik, tapi mengabaikan buruh yang punya peran besar dari proses mencetak kaum terdidik tersebut. 

Pembayaran Upah Sering Telat

Tante A sudah bekerja sebagai petugas kebersihan di kampus B sejak tahun 2024. Sejak awal bekerja, upahnya tidak pernah bahkan mendekati setengah Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo. Lebih dari itu, pembayaran upahnya bahkan sering terlambat berbulan-bulan.

“Kalau gaji awal itu 800. Tapi dua bulan ini baru sudah naik jadi satu juta.” terang Tante, saat diwawancarai Kamis, 24 April 2025. “Gaji biasanya sering terlambat sampai dua bulan.”

Tante dulunya bekerja sebagai petugas kebersihan di kantor pemerintahan. Waktu pertama kali diterima bekerja, dia sudah diberitahu kalau pembayaran gaji di sini nanti diterima tiga bulanan. Dia menolak sistem itu. Menurutnya itu tidak adil, dan lebih baik istirahat. Tapi pada akhirnya keterlambatan gaji itu masih diberlakukan, dan tanpa pilihan harus dia terima.

Dia diberi tanggung jawab bekerja dari pukul 05.30 hingga sore bahkan malam hari. Libur hanya hari Minggu. Setiap hari, dia wajib membersihkan lebih dari lima kelas. Bahkan sebelumnya dia harus membersihkan belasan kelas. Tante memang bertugas di area kelas, mereka dibagi per area kelas dan fasilitas kampus lainnya.

Kalau ada kegiatan wisudah, diceritakannya, beban dan durasi kerja makin berlipat. Waktu kerjanya bisa sampai dua hari penuh.

“Tidak macam di kampus lain, dari pagi sampe sore. Tapi kalau kita di sini kan… tapi gajinya beda.”

Tanpa Kontrak dan Tanggal Merah

Seorang petugas kebersihan duduk di bawah rindangnya pepohonan di sekitar Gedung Belajar Fakultas Ilmu Sosial (FIS), kampus C. Dalam suasana santai tersebut, kami berbincang ringan tentang bagaimana kondisi pekerja di lingkungan kampus. Tante B, namanya–ia telah mengabdi sebagai petugas kebersihan di kampus ini selama lebih dari satu tahun.

“Saya senang bisa bekerja di sini. Meskipun rumah saya jauh, dari Bone Bolango sana, tapi itu tidak membuat saya sedikit pun merasa jenuh bekerja, harus semangat,” ujar Tante B, dengan senyum ramah.

Tante B bekerja sejak pukul 06.00 hingga 16.30. Dari hari Senin sampai hari Sabtu. Bahkan jika hari kerja misalnya bertepatan dengan tanggal merah, dia harus tetap bekerja, meskipun waktu dipangkas hanya bekerja sampai siang hari. Untuk sistem kerja, Tante B menjelaskan bahwa mereka menjalani sistem rolling atau rotasi area kerja. Hal ini diberlakukan agar petugas tidak merasa jenuh dan bisa saling berbagi tanggung jawab di berbagai sudut kampus.

Perihal kontrak dan jenjang kerja, menurutnya selama ini tidak ada dokumen atau dalam bentuk apapun yang disodorkan kepadanya. Jadi, Tante B bisa diberhentikan kapan saja, begitupun jika dia ingin berhenti kapan saja. 

“Tidak ada kontrak. Jadi kalau sewaktu-waktu kami berhenti bisa kapan saja,” tuturnya.

Sebelum jadi pekerja di kampus, dulu Tante B pernah bekerja di sebuah rumah makan. Dia memiliki dua orang anak. Meskipun pekerjaan ini menuntut fisik, belum lagi jarah rumahnya yang cukup jauh dari Bone Bolango, dia tetap berusaha membagi waktu sebaik mungkin untuk keluarganya. 

Untuk penghasilan, meskipun tidak besar, gaji yang diterima dari pihak kampus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dirinya dan keluarga di rumah. Kalau lembur, katanya, pasti ada tambahan. Begitu juga mengenai cuti, petugas kebersihan juga diberikan dispensasi untuk itu.

Sebagai petugas kebersihan, Tante B juga menitipkan pesan kepada mahasiswa untuk menjaga kebersihan. Misalnya menjaga ruang kelas supaya tidak kotor, juga tidak membuang sampah sembarangan. Mestinya dua hal itu adalah pengetahuan dan kewajiban dasar.

Setiap pekerjaan tentu menguras energi. Tante B juga seringkali merasakan itu. Namun bagi dirinya, semangat harus tetap dijaga.

“Capek itu ada tapi kan kita harus rajin, harus semangat.”

1 Mei, diperingati sebagai hari buruh sedunia. Akan tetapi apakah 1 Mei tahun ini hanya akan dirayakan lagi secara seremonial semata? Masih banyak buruh yang terjepit dengan gaji yang rendah, dengan durasi kerja yang lebih.


Catatan: semua narasumber dan nama kampus di-anonim-kan untuk alasan keamanan narasumber.

Tulisan ini merupakan liputan dengan topik bersama yang dilakukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari tiga kampus di Gorontalo: LPM Humanika Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Gorontalo, LPM Merah Maron Universitas Negeri Gorontalo (UNG), dan Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Universitas Bina Taruna Gorontalo.

Related posts

Menikmati Ramona Melancholic, Band Folk dari Pohuwato

Defri

Perjuangkan Kebebasan Pers, Wartawan Muda dari Medan Raih Pogau Award 

Defri

Bermalam di Torosiaje: Bingo, Pengembara dan Orang Asing

Redaksi

Leave a Comment